Other Share Your Poem Here (No Comment Just Poem, 1 day max 1 post) - Part III

aku tak pernah terbiasa jadi yang pertama
kerna tidak segalanya bisa dirasa hanya dari pengalaman pertama
tapi setidaknya, kau selalu jadi yang pertama
dan barangkali jadi yang terakhir, nantinya
jawabmu, "kita lihat saja nanti"
sambil mengerlingkan mata
aku, "..."
tidak bisa berkata kata

 

SESAK

Nafasku terengah.
Langkah kakiku tidak lagi berirama.
Deras peluh memburu.
Tersungkur lalu aku.

Masih kukejar dirimu.
Jauh tak terlihat.
Bahkan tidak bayanganmu.

Bangkit aku tak menyerah.
Logikaku masih mengharap.
Dadaku tak sanggup.
Tersungkur lalu aku.

Kuatur nafasku, kuangkat kakiku, kubasuh peluhku.
Lamun.
Semakin engkau jauh.

 

Sang puan di ujung sana
Termenung dan merana
Menanti gagak membawa karma
Atas apa yang jadi dosanya

Mencoba untuk tetap acuh
Tapi tetap hatipun terenyuh
Gapaian hendak menyapu peluh
Tak kuasa menahan luluh

Dialah sundal, tetaplah sang puan
Yang mengharap ada pangeran
Menjemput tanpa kiasan
Mengangkat gores penderitaan

 

USAI

~
lunglai
ringkih
sepenggalah waktu senyap
panahkan biru di relung
ribuan genang kenang
selusupi luka hati
mengoyak hamparan mimpi
: duh
~

 

Apa yang kau lihat dari langit malam ini?
Sepi.
Ya, itu sepi.
Bulan sebagai primadona hanya ditemani dua bintang,
yang saling berjauhan.
Awan, menggumpal jarang-jarang,
dan akan hilang diterbangkan angin.
Lalu, bagaimana malam kita?
Ah, maaf, hanya ada aku yang merindu.

Tangsel, 2020

 

Lidah Tetangga

Mau sekolah, ditanya ranking berapa, sama tetangga
Mau kuliah, ditanya mau lulus kapan, sama tetangga
Mau kerja, ditanya udah punya apa aja, sama tetangga
Apa-apa dengerin omongan tetangga
Sebenernya yang menjalani hidup, Anda atau tetangga ?

 

Hari minggu dibuat menunggu
Menunggu kamu yang tak mau diganggu
Gangguan apa aku tak tahu
Tahukah kamu di hatiku cuma kamu

Berjalan ke ujung senja
Sendiri
Tapi otakku yang berdialog dengan hatiku
Tentang kamu

 

Hari ini hari senin, Waktunya beraktifitas lagi
Setelah sabtu-minggu rekreasi

Tumbuhkan semangatku lagi
Sudah bangun ku pagi ini

Langsung saja ku mandi
Sudah juga berpakaian rapi

Sarapan lezat tuk awali hari ini
Mari semangat mencari rezeki

 

satu

semuanya dimulai dari nol
kemudian munculah satu
satu
berpencarlah
menyatulah
kemanapun kau pergi
kau akan tetap kembali
menjadi satu

 

Gagal sudah semua rencana
Pulang kampung di bulan puasa
Untuk menemui orang tua
Memberi hadiah kepada saudara-saudara.

Sedih di hati mulai terasa
Menitik pula air mata
Dengan saudara tak bisa bersua
Padahal rindu menggebu di dalam dada.

Kalau pulang kampung dipaksakan
Akan tersebar virus corona
Mata rantai tak terputuskan
Pandemic Corona tak sudah-sudah.

 

Hari Matinya Musik

Keheningan tiba dengan tenang,
Seorang pencuri di malam hari,
Mencuri suara dan kegembiraan
Tanpa perlawanan.

Tidak ada petikan gitar,
Tidak ada ketukan drum,
Hanya keheningan yang menyesakkan
Mati rasa itu menjadi.

Semua catatan telah hilang,
Melodinya juga,
Meninggalkan kekosongan yang kosong
Dan langit berwarna keabu-abuan.

Sebuah band tanpa nada,
Sebuah lagu tanpa suara,
Sebuah ratapan yang menyedihkan dan tanpa harapan
Apakah sekarang satu-satunya pilihan.

Siang hari masih datang
Tapi kegelapan tetap ada,
Karena musik dan warna telah hilang
Dari hari-hari kita yang mulai menua.

Ratapan kesepian ini
Hanyakah yang tersisa,
Untuk hari dimana musik mati
Yang tersisa hanya refrein sedih.