1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerita kecil dalam kehidupan

Discussion in 'Dear Diary' started by corddeztroyer, Aug 16, 2012.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. corddeztroyer Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 26, 2010
    Messages:
    106
    Trophy Points:
    31
    Ratings:
    +58 / -0
    Ke Korea cuma mimpi di siang bolong? Mustahil pergi ke Korea dengan biaya gratis? Masih zaman percaya sama segala yang katanya mustahil? Mustahil karena kamu belum mencoba!

    Mending, daripada kamu galau sampai garuk-garuk tembok, lebih baik persiapkan dirimu dan percantik dirimu untuk mengikuti: K-POP ObseSHE

    Enggak tahu K-POP ObseSHE? Oke, bakal gue kasih tahu. Kompetisi ini seru abis! Bagi elo yang suka gia-gilaan bareng temen-temen, elo pasti enggak segan-segan buat ikut acara yang super asik ini. kompetisi ini diselenggarakan oleh SHE. Kamu dan teman-teman kamu bisa meng-upload kreasi video KPOP ke dalam Youtube Account yang terkoneksi dengan Facebook SHE.

    Mereka yang menjadi pemenang akan diberangkatkan ke Korea dan menikmati K-pop Holiday experience. Gila! Keren banget kan! Mimpi elo ke Korea enggak akan jadi sekadar mimpi doang! Kompetisi ini berlangsung pada 15 April 2012 – 31 Juli 2012. Jadi, enggak ada kata terlambat buat bikin video dan meng-upload-nya.

    Hadiahnya juga ada yang berupa gadget loh! J



    Perjalanan ke Korea itu asik banget! Ada lokasi wisata yang oke punya. Selain penduduknya yang ramah, kita juga bisa melihat lokasi-lokasi syuting artis-artis K-POP lho! Dengan mata kepala sendiri! Atau mungkin kamu senang belanja-belanja baju-baju yang lucu-lucu di Korea? Bisa banget!

    KOREA lho! Bayangin! K-O-R-E-A! Siapa coba yang enggak mau ke sana? Gue aja masih pengen banget merasakan makan kimchi sambil melihat pemandang cowok-cowok Korea yang ganteng dan kece itu. makanya, kalau elo punya keinginan kayak gue, ikut aja kompetisi ini! Dijamin enggak rugi! Selain bisa mempererat persahabatan, siapa tahu aja kamu terpilih jadi pemenang! Who knows? Yang penting usaha dulu kan daripada sekedar mimpi doang?
    Bisa ke Korea adalah hal yang amaze banget!

    Daripada bingung, mending info jelasnya bisa dilihat di FB dan follow Twitter @SHElalaland J

    Atau, gue bakal kasih tahu caranya. Gimana caranya? Gampang banget!

    1. Bikin video ala K-POP semenarik mungkin bareng temen-temen elo
    2. Gunakan produk SHE di dalamnya
    3. Setelah itu, upload di youtube dengan format judul: K-POP ObseSHE - Nama Grup kamu.
    4. Pemenang utamanya ditentukan oleh peserta yang mendapatkan vote terbanyakKalau kurang jelas, kamu bisa klik http://www.youtube.com/watch?v=HWBwoV9jogA dan http://www.facebook.com/note.php?note_id=426491914034618

    Masih mikir-mikir dan mimpi-mimpi buat ke Korea? Ini saatnya elo mewujudkan mimpi elo! Korea di depan mata!:idws:
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. corddeztroyer Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 26, 2010
    Messages:
    106
    Trophy Points:
    31
    Ratings:
    +58 / -0
    Sejak awal, ketika tubuh tegapmu menjegatku, aku sudah mereka-reka banyak jawaban di kepala. Saat sosokmu mulai kuasai pandangan, aku tahu ada sesuatu yang berbeda dalam dirimu. Kamu lebih sering berjalan dan berkeliling sambil melipat tangan di depan dada. Wajahmu dilipat sedemikian rupa hingga terlihat jutek dan cukup tampak menyebalkan. Hidung mancungmu lebih sering jadi pusat pandangan, dan betapa aku benci harus jujur mengenai hal ini— kamu sangat memabukkan.

    Tubuhmu mematung di depan mereka yang mengagumi kewibawaanmu. Kamu cukup mengunci mulut, tanpa membentak dan mereka semua mengerti apa yang kau mau. Dari yang kulihat, kamu bukanlah sosok yang pantas diabaikan. Maka, kuputuskan untuk terus menatapmu diam-diam, meskipun kausibuk dengan banyak hal yang tak berhubungan denganku.

    Berkali-kali kau melangkahkan kaki, kesana-kemari, dari sudut sana hingga sudut sini, berpindah ke banyak sisi— kau renggut semua rasa peduli. Sesekali kaubertanya pada mereka, namun suaramu tak kunjung terdengar olehku. Suasana riuh hamburkan segalanya, meskipun terdengar berantakan, tapi nyatanya aku masih tak ingin melepas pandanganku dari gerak-gerik tubuhmu. Kuperhatikan caramu menggerakan bibir, menggerakan tanganmu, juga saat kaugerakan tubuhmu. Kamu tak pernah luput dari rasa penasaranku. Kau rebut kewasarasanku hingga menyentuh titik kulminasi. Aku belum ingin meledak, aku masih ingin melihat sosokmu bergerak.

    Langkahmu anggun, pelan, tapi pasti. Terarah namun tak tergesa-gesa, kamu berpindah ke barisan belakang untuk menjalankan tugas yang kauemban. Beberapa kali kauajak rekanmu berbicara, dan itulah kali pertama senyummu terlengkung sempurna. Aku terpukau dan semakin membabi buta, sungguh aku sangat ingin memastikan semuanya. Apakah kamu adalah dia, yang telah kuduga-duga? Atau semua hanya khayal yang melebihi batas wajar?

    Entah sudah menit yang keberapa, dan pandanganku masih tak ingin melepaskanmu. Kamu seperti magnet dengan daya tarik terkuat, dan aku adalah benda konduktor yang rela ditarik oleh magisnya pesonamu. Awalnya, segalanya terasa asing, tapi denganmu semua nampak jelas. Senyummu tak terlalu sering tampak, karena memang tugasmu adalah memasang tampang menyebalkan. Jika kuminta sekali saja agar kau tersenyum hanya untukku... maukah?

    Aku tahu kamu tak akan sadar kalau kuperhatikan, dan mungkin saja kamu memang tak mau tahu tentang seseorang yang diam-diam menyimpan goresan wajahmu dalam ingatan. Iya, mungkin juga kamu tak punya rasa peduli. Dan, aku hanya terjebak pertemuan semu yang berujung siksa, jika yang kuharapkan terlalu tinggi untuk kugapai.

    Harapanku tak terlalu tinggi, hanya ingin kau menatapku dengan tatapan ramah dan hangat. Aku juga ingin mendengar suaramu dan merasakan hangatnya jemarimu. Di sudut sana, kamu berdiri dengan tatapan dingin, kepalamu diangkat kasar agar terkesan angkuh. Aku menghela napas dan kubiarkan kau lepas. Sedetik, dua detik, tiga detik... dan kau sudah miliki tempat spesial itu; hatiku.

    Selebihnya, aku tak lagi kenal hari. Aku hanya pandai menghitung-hitung wajahmu yang kini sering muncul tiap malam. Rambut gondrongmu yang berkilauan karena keringat dan sinar matahari jadi bayang-bayang yang mengusik konsentrasiku. Waktuku tersita sangat lama, hanya untuk memikirkanmu, juga pertemuan absurd kita yang terjadi tanpa sengaja. Apa boleh aku sedikit lancang dan sok bijak menanggapi semua ini? Jika ini yang disebut takdir, maka aku belum sepenuhnya paham akan kehadiranmu dalam hari-hariku. Karena semua terjadi tanpa rencanaku dan juga rencanamu. Mungkinkah ada tangan ajaib yang sengaja mengatur langkah kaki kita agar berada di arah yang sama?

    Baru kali ini aku rajin menghitung hari, hingga waktunya datang dan aku kembali bertemu denganmu lagi.

    Kaukenakan jaket kuning. Kukenakan batik yang kebesaran, dengan dua kuncir rambut yang mengubah wajahku menjadi polos.


    Aku sengaja berangkat pagi-pagi, sebelum adzan subuh menggema, aku sudah siap dengan peralatan yang harus kubawa. Kutatap cermin dengan mantap, aku terlihat bodoh. Dengan kemeja putih yang kebesaran, rok hitam yang kepanjangan, juga rambut yang dikuncir dua di bawah. Wajahku terlihat sangat polos dan semua terlihat seperti dulu, ketika zaman taman kanak-kanak. Lugu, bodoh, namun tampak menyenangkan. Hari ini kemungkinan besar aku akan bertemu denganmu.

    Tas yang berat kupikul di bahu; tidak biasanya aku sudah di stasiun sepagi ini. Aku menguap berkali-kali, tidurku tidak cukup panjang tadi malam. Dengan mata yang terbuka seadanya, aku menunggu kereta berhenti tepat di depanku, dan segera kupasang langkah pasti mengayun. Suasana dingin commuter line menusuk-nusuk indera perasa, aku merapatkan kedua lengan tangan di depan dada. Aku kedinginan.

    Di stasiun tujuan, ketibaanku diserang gerimis tipis. Aku menyeberangi rel kereta dan kulanjutkan langkah kaki menuju tempat itu. Kulewati jalan raya yang ramai di depan stasiun, masih dengan gerimis tipis, juga langit mendung, sendirian. Lalu, kuseberangi lagi jalan itu, sebelum akhirnya pemandangan berganti menjadi gang kecil dengan kandang rusa di sebelah kanan. Aku berjalan pelan-pelan tak ingin terpeleset juga tak ingin menodai kemeja putihku. Pohon-pohon beringin di sepanjang gang seperti hendak memayungiku.

    Semua berjalan biasa saja, namun semua berubah ketika seseorang menjegatku dan memberhentikan langkahku.

    "Kenapa jalan sendirian?" ucap suara yang menciutkan keberanianku.
    Suara itu menggema di telinga, membuatku tak berani menatap lekat-lekat sosok itu.
    "Kalau diajak ngobrol itu jawab! Lihat mata orang yang diajak ngobrol!" bentaknya keras.
    Kuberanikan diri untuk menengadahkan kepala. Rambutnya ikal dan sedikit lepek karena terkena gerimis, bentuk hidungnya mancung, ia mengenakan kaos merah dengan jaket kuning. Aku segera tahu. Itu kamu.
    "Di lengan saya ada pita hitam, kamu harus memanggil saya dengan sebutan apa?" matamu membesar seperti ingin segera menerkamku.
    "Maaf, Jendral."
    "Kamu dari jurusan apa?"
    "Sastra Indonesia, Jendral."
    "Sekarang kamu jalan ke sana, percepat langkahnya!"
    "Siap, Jendral."

    Kupercepat langkahku dan kubiarkan sosokmu tertinggal di belakang. Inilah yang kutunggu-tunggu sejak kemarin, mendengar suaramu juga menatap matamu untuk beberapa detik. Tahukah kamu ada perasaan bahagia yang diam-diam kurasakan? Ketika sosokmu ada di depanku, juga ketika aku punya kesempatan untuk menatapmu dari dekat... lebih dekat.

    Aku tak bisa berhenti tersenyum, bahkan ketika panasnya ruangan auditorium mencucurkan keringat dari pelipis dan tanganku. Di tribun atas, aku begitu puas. Dalam jarak setinggi ini, aku bisa begitu bebas menatapmu dan menikmati keindahanmu. Fokusku terbagi untukmu juga untuk acara yang sedang berlangsung. Dengan tampang yang cemberut dan tanpa senyum, kau membuat segan manusia-manusia tengil yang sedang kauawasi. Aku masih terus menatapmu, sadarkah?

    Dari kejauhan, kulihat kausibuk memarahi seorang lak-laki yang tak menguncir poninya yang panjang. Kulihat kau mengikat secara paksa poni laki-laki itu, aku tertawa diam-diam. Seandainya laki-laki itu adalah aku, betapa beruntungnya aku bisa merasakan sentuhan jemarimu dalam setiap helai rambutku.

    Waktu terus berjalan, dan aku benci harus sampai di penghujung acara. Jadi, aku dan kamu harus berpisah lagi? Dan, aku harus menunggu waktu yang akan datang untuk segera tiba, agar bisa kupandangi lagi wajahmu. Harus berapa minggu lagi kutunggu, bagaimana jika perasaan rindu yang ada bertumbuh lebih hebat dari biasanya?

    Haruskah terpisah lagi? Dengan keadaan kau sama sekali tak tahu tentang diriku juga namaku, begitu juga dengan aku yang tak mengetahui namamu. Tapi, pentingkah arti sebuah nama, jika perasaan yang ada lebih besar dan lebih kuat daripada sebuah arti nama?

    Kau ubah semua yang absurd menjadi membahagiakan. Kau ubah rasa dinginku menjadi kehangatan yang berlipat ganda. Kau bawa kembali matahariku menggantikan mendung yang seringkali kurasakan. Kau kenalkan aku pada rasa yang sulit dijelaskan kata-kata.

    Aku benci harus jujur mengenai ini, aku berharap kau bisa mengetahui sosokku walaupun aku tak pernah berharap agar kautahu perasaanku. Aku benci harus jujur mengenai ini, bahwa sosokmu selalu jadi sebab perasaan rindu tak pernah tersesat saat menemui jalan pulang.

    Aku sibuk menghitung hari, awal September kita akan bertemu lagi.

    Tetaplah begini, aku begitu mencintai sisi misterius yang kauciptakan, wahai Parthasuta.
     
  4. corddeztroyer Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 26, 2010
    Messages:
    106
    Trophy Points:
    31
    Ratings:
    +58 / -0
    Selanjutnya kita....

    Malam ini, semua tampak lebih berwarna. Aku sudah melakukan banyak hal sendirian, melatih kemandirian. Mungkin, kamu akan terkejut melihat perubahanku, kamu akan menggeleng lebih lama sambil mengamati gerak-gerikku, aku sudah berbeda sekarang. Atau kalau boleh dibilang, bukan hanya aku, kamu juga berbeda sekarang. Seiring waktu berjalan, semua berubah tanpa persetujuan kita. Tiba-tiba saja aku sudah menjadi seperti ini dan kamu sudah tak lagi di sini.

    Akhirnya, ya memang akhirnya, karena tak ada lagi yang akan terulang. Hari-hari yang dulu aku dan kamu lalui seperti gelembung basah yang sangat mudah pecah. Realita berbicara lebih banyak, sementara aku dilarang untuk bermimpi terlalu jauh, apalagi mengharap semua yang telah terjadi bisa terulang kembali. Jika dulu kita begitu manis, entah mengapa sekarang berubah jadi miris. Memang hanya persepsiku saja yang melebih-lebihkan segalanya, mengingat perpisahan kita terjadi tanpa sebab, sulit ditebak, sampai aku muak mencari-cari yang kurasa tak pernah hilang.

    Begitu banyak mimpi yang ingin kita wujudkan, kita ceritakan dengan sangat rapi dalam setiap bisikan malam, adakah peristiwa itu tersimpan dalam ingatanmu? Aku berusaha menerima, kita semakin dewasa dan semakin berubah dan segala. Tapi, salahkah jika kuinginkan kamu duduk di sini, mendekapku sebentar dan kembali menceritakan mimpi-mimpi kita yang lebih dulu rapuh sebelum sempat terwujudkan?

    Aku sudah berusaha untuk bernapas tanpamu, nampaknya semua berhasil dan berjalan dengan baik-baik saja. Tapi, di luar dugaanku, setiap malam-malam begini, kamu sering kembali dalam ingatan, berkeliaran. Pikiranku masih ingin menjadikanmu sebagai topik utama, dan hatiku masih mau membiarkanmu berdiam lama-lama di sana. Aneh memang jika aku sering memikirkan kamu yang tak pernah memikirkanku. Menyakitkan memang jika harus terus mendewakan kenangan hanya karena masa lalu terlalu kuat untuk dihancurkan.

    Beginilah kita sekarang, Cina. Tak lagi saling bersapa, tak lagi saling bertukar kabar. Semua seperti dulu, ketika kita tak saling mengenal, segalanya terasa asing. Kosong. Apapun yang kita lakukan dulu seperti terhapus begitu saja oleh masa, hari berganti minggu, minggu segera beranjak menuju bulan, sejak saat itu juga jantung kita tak lagi mendenyutkan rasa yang sama.

    Dengarkan aku, Cina. Inilah kita yang sekarang, berusaha melupakan yang disebut kenangan. Berusaha melawan ketakutan yang disebabkan perpisahan. Siapapun yang lebih dulu melupakan tak menjamin semua akan benar-benar hilang.

    Kalau ada waktu, sering-sering cerita tentang Bagaskara, Lintang, Langit dan Laut yang pernah hidup dalam cerita kita dulu. Sudah sebesar apa mereka? Siapa yang merawat mereka?

    Aku punya kejutan untukmu, sekarang aku sudah jadi mahasiswa di universitas yang selalu kuceritakan padamu. Adakah kejutan yang akan kautunjukkan padaku, selain cerita tentang pacar barumu?
    :idws:
     
  5. corddeztroyer Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 26, 2010
    Messages:
    106
    Trophy Points:
    31
    Ratings:
    +58 / -0
    Selamat Ulangtahun Cinta Pertama

    Sudah satu tahun sejak tulisanku yang lalu, mungkin saja kamu yang hari ini berbeda dengan kamu yang setahun yang lalu. Kamu telah bertumbuh menjadi seorang pria dewasa yang memilih luar kota sebagai tempatmu meraih dan menimba ilmu. Sungguh, sepertinya kita semakin jauh. Dan, kita telah lupa untuk saling mengingat, juga merasakan yang pernah terjadi dulu.

    Waktu bergerak dengan begitu cepat, pertemuan dan perpisahan berganti-ganti seperti pakaian yang melekat di tubuh kita. Dulu, kamu masih laki-laki dengan rambut keriting yang senang mengerjakan soal matematika. Dulu, aku hanyalah perempuan lugu yang senang dengan pelajaran bahasa Indonesia. Kita berproses dalam waktu, bertambah dewasa dalam takdir yang kita tekuni, semua sudah berbeda dan tak lagi sama.

    Apakah kamu masih menjadi laki-laki dengan senyum manis yang seringkali kucuri keindahannya, dengan diam-diam menatapmu? Apakah kamu masih orang yang sama, pria dengan sikap sederhana yang mampu melayangkan setiap bayang-bayang menjadi kebahagiaan yang mengalir pelan? Ceritakan padaku, apa yang kau alami selama setahun kemarin? Kebahagiaan yang berlipat-lipatkah? Aku yakin, kamu selalu bahagia, karena kebahagiaanmu masih sering kurapal dalam doa.

    Kita sudah lama tak saling bertatap mata, tapi aku tak pernah lupa sinar matamu ketika menatapku dengan lugu. Aku tak bisa melupakan senyummu yang seringkali membuatku bertanya-tanya, tak ada diksi yang pas untuk mengungkapkan perasaanku dulu. Mungkin, kamu masih ingat, kita dulu masih sangat kecil untuk berbicara dan berbincang tentang cinta. Karena hatimu dan hatiku belum siap memahami yang telah terjadi saat itu, kita menajalani banyak perasaan yang terkesan maya tapi terasa begitu nyata. Setiap pertemuan adalah goresan baru dalam kertas putih, aku berharap tak ada penghapus yang mampu menghilangkan hari-hari menyenangkan yang pernah kita lalui dulu.

    Kamu mengajarkanku banyak rasa. Dari rasa canggung, malu, bingung, berbohong pada perasaan sendiri, memendam, dan enggan banyak berkomentar. Sosokmulah yang telah memacu aku bercerita lewat puisi, puisi pertamaku bercerita tentang hal sederhana yang kita lewati. Pemilihan katanya masih begitu berantakan, mungkin jika saat itu kutunjukkan padamu, kamu pasti tertawa mengejekku. Lalu, mengetuk mejaku dengan jemarimu yang kecil dan gendut-gendut. Betapa manisnya kita dulu, sayang semua hanya kenangan yang tak bisa terulang. Semua seperti mimpi yang sulit diputar ulang kembali. Seandainya hidup adalah kaset rusak, aku ingin terus kembali memainkan lagu yang sama, lagu yang terdengar indah dan mesra... saat-saat keluguaan kita membiarkan cinta ada dan bertumbuh.

    Diumurmu yang semakin bertambah, delapanbelastahun rupanya, tahun lahir kita sama namun tanggal dan bulannya berbeda. Aku hanya ingin mendoakan cita-cita dan harapanmu yang dulu sempat kauceritakan. Kamu bilang, kamu mau jadi pilot, lalu aku jadi teknik sipil. Ingat? Lucu ya, melihat kenyataan yang ada. Kamu sekarang jurusan Teknik Elektro, dan aku sekarang jurusan Sastra Indonesia. Rindukah kamu dengan percakapan-percakapan kita yang mengundang tawa itu? Dengan riuhnya kelas yang tak terlalu menganggu pembicaraan kita, kamu mengubah posisi dudukmu, memutar bangkumu hingga menyentuh mejaku. Kita memangku dagu, lalu bercerita, berkhayal, bermimpi, seperti anak SD lainnya.

    Dulu, aku tak pernah berpikir untuk memperjuangkan kamu. Aku hanya tahu, kalau perasaanku begitu unik dan menyenangkan. Kamulah yang pertama kali membuat hatiku tergoncang. Aku masih ingat betul, saat kita berjalan di lorong-lorong kelas, mencuci tangan di wastafel dekat ruang guru. Mencari-cari tempat yang tak terlalu panas saat senam pagi di hari Jumat. Membeli makanan di sebelah kantin kelas kita dulu. Nampaknya, tempa-tempat yang kita kunjungi bersama sekarang sudah banyak berubah. Begitu juga aku dan kamu yang banyak berubah. Perasaanku memang tak lagi sama, tapi entah mengapa aku tak bisa melupakan kenangan yang sudah lebih dulu terjadi. Di balik ingatan yang ada, menyakitkan memang jika aku selalu mengingat banyak hal yang tak pernah sepenuhnya kamu ingat.

    Kita sudah sangat lama tak bertemu, bagaimanakah wajahmu? Masihkah tatapanmu lembut seperti dulu? Apakah suaramu masih hangat dan tawa renyahmu masih begitu menyejukkan? Berbahagialah diumurmu yang baru, semoga kebahagiaan dan sepaket cita-citamu selalu terwujud bersama dengan kuatnya usahamu.

    Tadi kamu cerita

    Natal adalah salah satu hari yang paling kautunggu
    Kelas empat, lima, dan enam membentuk regu
    Paduan suara yang dilatih guru

    Di aula sekolah kita
    hiasan warna-warni bergantungan
    Pak Padi, Pak Siregar, Ibu Lasni, dan Ibu Anita
    Kita semua gembira

    Tapi, aku kaget
    waktu kamu bilang
    ada lagi hal yang paling kautunggu
    Menghias kelas bersamaku
    seperti saat kita menghias telur
    pada perayaan Paskah

    Aku bingung
    kenapa harus aku?
    memangnya kalau sama ketua kelas kita kenapa?
    Kamu diam
    Tidak jawab?
    Kalau boleh aku menjawab
    Aku juga suka Natal
    apalagi jika aku duduk si sampingmu
    saat ibadah

    Tugasku membuka Perjanjian Lama
    Tugasmu membuka Perjanjian Baru
    Satu Alkitab ada di tangan kita
    Kamu menyentuh tanganku

    Aku mau waktu berhenti.

    Puisi bodoh dengan diksi yang berantakan ini masih kusimpan, terlalu jujur, tak ada rasa malu. Dan, tiba-tiba saja, rasa itu menyembul lagi, ingatan itu muncul lagi.

    Aku merindukanmu.
     
  6. corddeztroyer Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 26, 2010
    Messages:
    106
    Trophy Points:
    31
    Ratings:
    +58 / -0
    Menjelaskan Kesepian

    Waktu merangkak dengan cepat, merangkak yang kita kira lambat ternyata bergerak seakan
    tanpa jerat. Semua telah berubah, begitu juga kamu, begitu juga aku, begitu juga kita. Bahkan
    waktu telah menghapus KITA yang pernah merasa tak berbeda, waktu telah memutarbalikkan
    segalanya yang sempat indah. Tak ada yang tahu, kapan perpisahan menjadi penyebab
    kegelisahan. Aku menjalani, kamu meyakini, namun pada akhirnya waktu juga yang akan
    menentukan akhir cerita ini. Kamu tak punya hak untuk menebak, begitu juga aku.
    Kaubilang, tak ada yang terlalu berbeda, tak ada yang terasa begitu menyakitkan. Tapi, siapa
    yang tahu perasaan seseorang yang terdalam? Mulut bisa berkata, tapi hati sulit untuk
    berdusta. Kalau boleh aku jujur, semua terasa asing dan berbeda. Ketika hari-hari yang
    kulewatiseperti tebakan yang jawabannya sudah kuketahui. Tak ada lagi kejutan, tak banyak
    hal-hal penuh misteri yang membuatku penasaran. Aku seperti bisa meramalkan semuanya,
    hari-hariku terasa hambar karena aku bisa membaca menit-menit di depan waktu yang sedang
    kujalani. Aku bisa dengan mudah mengerti peristiwa, tanpa pernah punya secuil rasa untuk
    menyelami sebab dan akibatnya. Aku paham dengan detik yang begitu mudah kuprediksi,
    semua terlalu mudah terbaca, tak ada yang menarik. Kepastian membuatku bungkam,
    sehingga aku kehilangan rasa untuk mencari dan terus mencari. Itulah sebabnya setelah tak
    ada lagi kamu disini. Kosong.
    Bagaimana aku bisa menjelaskan banyak hal yang mungkin saja tidak kamu rasakan? Aku
    berada di lorong-lorong gelap dan menunggu rengkuhan jemarimu mempertemukan aku pada
    cahaya terang. Namun, bahkan tanganmu saja enggan menyentuh setiap celah dalam
    jemariku, dan penyelamatan yang kurindukan hanyalah omong kosong yang memekakkan
    telinga. Harapanku terlalu jauh untuk mengubah semuanya seperti dulu, saat waktu yang kita
    jalani adalah kebahagiaan kita seutuhnya, saat masih ada kamu dalambarisan hariku.
    Perpisahan seperti mendorongku pada realita yang selama ini kutakutkan. Kehilangan
    mempersatukan aku pada air mata yang seringkali jatuh tanpa sebab. Aku sulit memahami
    kenyataan bahwa kamu tak lagi ada dalam semestaku, aku semakin tak bisa menerima keadaan
    yang semakin menyudutkanku. Semua kenangan bergantian melewati otakku, bagai filmyang
    tak pernah mau berhenti tayang. Dan, aku baru sadar, ternyata kita dulu begitu manis, begitu
    mengagumkan, begitu sulit untuk dilupakan.
    Ada yang kurang. Ada yang tak lengkap. Aku terbiasa pada kehadiranmu, dan ketika
    menjalani setiap detik tanpamu, yang kurasa hanya bayang-bayang yang saling berkejaran,
    saling menebar rasa ketakutan. Ada rasa takut tanpa sebab yang memaksaku untuk terus
    memikirkan kamu. Ada kekuatan yang sulit kujelaskan yang membawa pikiranku selalu
    mengkhawatirkanmu. Salahkah jika aku masih inginkan penyatuaan? Salahkah jika aku benci
    perpisahan?
    Tak banyak yang ingin kujelaskan, saat kesepian menghadangku setiap malam. Biasanya,
    malam-malam begini ada suaramu, mengantarku sampai gerbang mimpi dan membiarkanku
    sendiri melewati setiap rahasia hati. Kali ini, aku sendiri, memikirkan kamu tanpa henti. Jika
    kita masih saling menghakimi dan saling menyalahi, apakah mungkin yang telah putus akan
    tersambung dengan pasti? Aku tak tahu dan tak mau memikirkan keadaan yang tak mungkin
    kembali. Semua sudah jelas, namun entah mengapa aku masih sulit memahami, kenapa harus
    kita yang alami ini? Tak adakah yang lain? Aku dan kamu bukan orang jahat, namun mengapa
    kita terus saja disakiti. Bukankah di luar sana masih banyak orang jahat?
    Jangan tanyakan padaku, jika senyumku tak lagi sama seperti dulu. Jangan salahkah aku, jika
    pelangi dalamduniaku hanya tersedia warna hitamdan putih. Setelah kamu tinggalkan firdaus
    milik kita, semuanya jadi berbeda. Aku bahkan tak mengenal diriku sendiri, karena separuh
    yang ada dalamdiriku sudah berada dalammu... yang pergi, dan entah kapan kembali.
    Saya merindukanmu, juga kita yang dulu.
     
  7. corddeztroyer Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 26, 2010
    Messages:
    106
    Trophy Points:
    31
    Ratings:
    +58 / -0
    Mantan Bermulut Besar

    Sudahlah, jangan jelaskan alasan yang tak bisa lagi kupercaya. Jangan berikan
    jawaban yang tak akan mampu membuatku yakin. Berhentilah membuatku merasa
    mengasihanimu. Aku sudah kehilangan rasa, terhadapmu, juga terhadap kita yang
    dulu. Ceritamu hanyalah rekaan fiksi yang berantakan dalam setiap alurnya. Segala
    alasanmu hanyalah berita infotainment yang tidak aktual. Plotmu saat berbohong
    sangat berantakan, Sayang. Cacat di sana sini, berlubang di bagian kanan kiri,
    kurang sempurna di semua sisi. Bagaimana aku bisa memercayai? Pembohong
    kelas teri.
    Haruskah aku bercerita lagi, terntang kebohonganmu yang berusaha kutolerir
    setengah mati? Tentang janji manismu yang tak pernah kautepati? Tentang mimpimimpi yang kauhancurkan sendiri? Bercerminlah wahai kamu yang merasa paling
    sempurna, siapakah dirimu yang berani berkata dan berucap dengan sok
    bijaksana? Berjanji seenak jidat, lalu mengikari dengan mudah. Lucu, kamu ini
    pembohong yang tak punya ingatan yang tajam. Pembual bermulut besar,
    berhentilah membuat jengah, kamu semakin membuatku lelah.
    Tadi, kamu menghubungi, lagi. Seperti biasa, seakan-akan kau tak punya
    kesalahan. Kemudian, kamu bercerita. Iya, tentang hal yang sama, K-E-B-O-HO-N-G-A-N-M-U. Kali ini bahkan lebih parah, lebih tak tentu arah, anehnya aku
    masih ingin menyediakan telinga. Kenapa? Aku kasihan padamu. Ternyata, selama
    kutinggalkan dan kuberi kesempatan, kau masih saja sama, tak berubah
    sedikitpun. Bahkan, aku cukup terbelalak, mengetahui hobimu yang tetap saja
    sama, berbohong untuk menarik perhatianku. Mungkin, kau berpikir aku masih
    orang yang sama, orang yang bebas kau dongengkan setiap hari, dengan dongeng
    seribu satu malammu yang terdengar sempurna tapi bohong semua.
    Kamu tak berbeda, Sayang. Tak ada yang berbeda. Seberapa frustasikah kamu
    hingga kehilangan cara untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang lagi?
    Dengan waktu singkat, dengan berlari tak pasti, kamu sibuk mencari pengganti.
    Dekati si ini, lalu dekati si itu. Berkenalan dengan si ini, lalu berkenalan dengan si
    itu. Kamu semakin membabi buta, hingga pada akhirnya, dengan sangat terpaksa
    dan terdesak, kamu memilih dia. Pacar barumu yang sama mengenaskannya
    denganmu.
    Iya, aku tahu, tanpa kaujelaskan pun aku mengerti. Dia adalah pilihanmu yang
    terbaru, dan yang paling buruk setelah terlalu tersakiti oleh pengabaianku. Kamu
    seperti kehilangan cara untuk menemukan seseorang yang pas, bagaimana
    mungkin kaubisa menemukan yang pantas, ketika sikapmu selalu saja keras? Aku
    mengasihani dia, juga mengasihanimu, dan mengasihani kalian. Tentu saja, kamu
    dan dia seperti keledai yang tak pernah hapal jalan pulang. Berbelok, berputar
    arah, berlari, berjalan, terhenti, saling berbenturan dalam kebingungan. Bahkan
    dalam kebobrokan, kamu dan dia masih berusaha terlihat baik-baik saja.
    Pasangan sempurna, pandai bermain sandiwara.
    Ceritakan padaku, apa yang sudah kaudapatkan dari dia? Biarkan aku tertawa
    untuk beberapa lama. Tak penting, yang kutahu, kamu sudah mendapatkan
    penggantiku dan seharusnya kamu tak lagi mengejarku. Nyatanya? Kamu masih
    terlalu lemah untuk menghancurkan kenangan kita. Iya, Sayang. Berhentilah
    menggelitik telingaku dengan gombalanmu. Aku paham, jika saat kita berpisah
    namun kamu masih sering berlari ke arahku, berarti kamu belum benar-benar
    mengikhlaskan kepergianku.
    Kapankah kau mengikhlaskanku, Sayang? Tidakkah kamu muak dengan amarah
    yang selalu membuncah? Tidakkah kau bosan dengan nasehat-nasehat yang selalu
    kulontarkan ketika berbicara panjang lebar denganmu? Mengapa kau masih saja
    kembali dan mengejar bayanganku? Aku lelah diikuti oleh seseorang yang
    bermulut besar sepertimu. Aku tak berani membayangkan, sebodoh apakah diriku
    ketika dulu bisa begitu mudah menerimamu?
    Jadi, Sayang, dengarkan. Aku sudah mulai pusing dan lelah dengan gangguan yang
    kauciptakan. Berhentilah menghubungiku dan membohongiku, ingatlah statusmu,
    juga kekasih barumu. Tak mengertikah kamu, si bodoh itu, pacar barumu begitu
    mudah memercayai kebohonganmu? Tak pahamkah kamu rasa sakit yang akan ia
    rasakan ketika tahu mulutmu hanya penuh dengan racun yang manis sesaat?
    Berhentilah menyakiti siapapun yang ada di sekelilingmu, mereka memberi
    kesempatanmu untuk berubah, jika kau tak kunjung berbeda, jangan salahkah
    dunia saat kau kesepian dan selalu merasa sendirian.
    Berbahagialah dengan pilihanmu, Sayang. Bersukacitalah dengan kekasih barumu
    yang tak berbeda jauh denganmu. Mungkin saja, dia juga bermulut besar
    sepertimu. Mungkin juga, dia senang bercerita tentang janji dan khayalan yang
    terlampau membosankan. Iya, dia pasti tak berbeda jauh denganmu, karena kalian
    terlihat begitu serasi, sempurna. Dan, sekarang kamu tahu, soal kalian terlihat
    sempurna itu, aku hanya bercanda.
    Tenanglah, aku tidak akan membuka kedok topengmu. Aku tidak akan bercerita
    pada banyak orang tentang kamu yang selalu mengaku sakit ini itu agar minta
    diperhatikan. Aku tidak akan mencibir sikap burukmu yang selalu membanggakan
    prestasi yang sebenarnya tak pernah kamu capai. Percayalah padaku, aku pandai
    menyimpan rahasia, bukan seperti kamu yang bermulut besar. Si pengubah cerita
    yang membuat cerita lebih berbeda. Si pengarang cerita yang benar-benar
    mengarang kejadian dan peristiwa fakta. Padahal, kalau dipikir-pikir, apa
    untungnya menceritakan hal-hal bodoh yang hanya membuat seseorang tertawa
    terpingkal-pingkal? Orang-orang di sekitarmu sudah sangat muak, Sayang.
    Mereka mulai menjauhimu namun kau masih tak sadar juga. Hey, lihatlah! Siapa
    yang ada di sampingmu? Pacar barumu? Yang mungkin saja, suatu hari, akan
    menikammu, lebih berdarah dan juga lebih menghasilkan luka.
    Aku tidak akan bercerita keburukanmu pada pacar barumu. Aku berbeda
    denganmu yang suka menyeret seseorang untuk membenci orang yang kaubenci.
    Aku tidak sama sepertimu yang suka menghasut seseorang dengan cerita palsu
    agar ia ikut terbodohi oleh omong kosongmu. Aku bukan orang yang senang
    menjelek-jelekan kamu, Sayang. Aku berbeda denganmu, sungguh.
    Maka, biarkanlah pacar barumu tahu seberapa mengenaskannya kamu setelah dia
    menjalani yang dulu ia yakini. Maka, biarkanlah kekasih barumu memahami
    sendiri, bahwa kamu bukan sosok yang pantas dicintai. Akan ada waktunya dia
    tahu, kau hanya seseorang yang pandai merayu juga pandai membuat cerita lugu.
    Akan tiba waktunya dia tersakiti oleh sikapmu, dan menangis terpojok, menyesali
    pilihan yang sempat ia percayai. Akan ada saatnya dia mengerti, kamu hanyalah si
    mulut besar yang tak pernah paham arti dicintai dan mencintai.
    Berhenti hubungi aku, atau kubunuh semua harapanmu!
     
  8. corddeztroyer Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 26, 2010
    Messages:
    106
    Trophy Points:
    31
    Ratings:
    +58 / -0
    "karena yang kau kira adalah mimpi indah, belum tentu berakhir dengan indah."

    Wanita itu telah menganggu hari-harinya, dengan berbagai macam cara dan rupa. Dengan rindu yang memburu, dengan kangen yang mengamit resah, dengan bayang-bayang yang semakin menusuk asa. Semuanya! Dias tak pernah melewatkan dan melupakan detail siluet tubuh wanita yang hampir saja membuatnya gila.
    Ia menghela napas panjang, dan kembali menatap ke area perfilman. Wanita itu menghilang secara tiba-tiba. Raib tak berbekas. Dias menyapu pandangan ke segala arah. Tetap saja, tak ada. Ia berjalan cepat mengitari ruang pameran. Berjibaku dengan keramaian yang ada, ia menatap setiap wajah. Namun, wanita itu tak ada.
    Selalu muncul dan lalu pergi secara mendadak, secara tiba-tiba dan sulit diprediksi. Ia harus menunggu satu minggu lagi, untuk bertemu dengan wanita itu. Padahal, perasaan kangen yang melubangi hatinya belum juga tertutup rapat. Dias tetap menunggu, setia untuk menunggu.
    Apa salahnya menunggu? Meskipun membosankan, meskipun menyakitkan, tapi Dias tetap ingin melakukan itu. Memang tak ada alasan mengapa Dias harus menunggu, ia hanya ingin menunggu dan terus menunggu. Sungguh, tak ada alasan, karena menunggu kadang memang tak perlu penjelasan juga alasan bukan? Menunggu seperti fase yang harus dilewati seseorang, untuk bertemu dengan kebahagiaannya. Begitu juga Dias. Entah sampai kapan, dan berakhir dengan bahagia atau luka. Dias hanya tahu menunggu, tanpa pernah tahu hal yang harus ia tuju. Hari berganti, dan ia masih menunggu. Tanpa alasan, tanpa keluhan, Dias tetap bertahan.
    Dias percaya bahwa dirinya bukan pengecut, yang hanya diam-diam mengagumi lalu sepenuhnya bersembunyi. Ia juga yakin hal yang ia lakukan bukanlah sebuah kesalahan, apakah salahnya mengagumi seseorang dengan sangat dalam? Itulah yang Dias rasakan. Awalnya, semua tak merepotkan, namun ketika perasaan itu hadir dan terlihat semakin nyata, Dias jadi merasa resah. Ia bahkan tak tahu nama bidadari yang semakin hari semakin meresahkannya.
    Sungguh, Dias percaya kalau dia bukan pengecut. Dia hanya butuh waktu. Iya, waktu yang tepat. Semua akan indah pada waktunya bukan? Tapi, Dias seakan-akan tak tahu waktu yang tepat akan terjadi kapan. Wanita itu benar-benar menggerogoti nalar dan akal sehatnya. Otak Dias sulit bekerja secara maksimal saat wanita itu berjarak beberapa meter dari pandangannya, walaupun masih jauh, bahkan sangat jauh. Dias tak tahu sosok seperti apa yang dia cintai, ia hanya tahu perasaan itu ada dan semakin hari semakin membuatnya tersiksa.
    Setiap minggu, di Taman Budaya, selalu ada pameran yang berbeda. Dias ditugaskan sebagai fotografer yang mendokumentasikan acara tersebut. Setiap minggu, di Taman Budaya, Dias selalu menunggu-nunggu waktu itu. Karena pasti hawa yang telah merenggut habis perhatiannya akan muncul secara tiba-tiba. Seperti Cinderella yang tak jelas kapan ia datang dan tak pernah diketahui kapan ia pulang. Di balik kemisteriusannya, Dias tetap jatuh cinta. Ia tak banyak bertanya, juga tak banyak mengeluh apalagi menuntut.
    Dia tak tahu harus berbuat apa, sampai pada akhirnya ia menatap seorang satpam yang menjadi pagar betis di pintu masuk pameran.
    ***
    “Jadi satpam?” lantang, suara Pak Karjo membahana, nadanya terdengar tak percaya.
    Pria bertubuh gempal itu berhenti menghisap rokoknya. Beliau adalah penanggung jawab pameran yang mengatur panita pelaksana pameran setiap minggu di Taman Budaya. Agak keras namun seperti orang Yogya lainnya, berhati lembut dan nyaman.
    Tanpa ungkapan, Dias mengangguk mantap.
    “Kenapa?” tatapan Pak Karjo tajam menusuk-nusuk ke arah Dias.
    “Saya butuh pekerjaan ini, Pak. Sangat butuh.”
    “Seberapa pentingkah pekerjaan satpam hingga kamu tak ingin lagi jadi fotografer?”
    “Sangat penting. Ini soal takdir.”
    “Takdir? Mbok yo kamu jangan becanda tho.”
    “Saya serius, Pak.”
    “Gaji fotografer lebih banyak daripada gaji seorang satpam, Nak Dias.”
    “Saya tidak mengejar gaji.” jelas Dias singkat, suara renyahnya menenangkan perasaan Pak Karjo yang terkejut.
    “Lantas, kamu mengejar apa?”
    “Ada sesuatu yang lebih penting daripada gaji.”
    “Apa?”
    “Cinta.”
    ***
    Malam itu langit Yogya terlihat cerah. Cahaya lampu sorot turut membantu bulan menerangi gelapnya malam. Musik perjuangan rakyat yang lirik lagunya bernilai seni tinggi sudah terdengar sejak pukul tujuh malam tadi. Ada penonton yang meramaikan panggung Taman Budaya juga meramaikan ruang pameran Taman Budaya.
    Dias berdiri tegak. Mantap. Ia membenarkan kerah bajunya dan topi satpam yang ia kenakan. Pentungan yang kaku berada di dekat saku celananya. Ia sangat bangga dengan pakaian itu. Penikmat pameran yang ingin memasuki ruang pameran mulai ramai, tugas Dias dan kawanan satpam lainnya adalah membuat pagar betis agar antrean tak berdesak-desakan dan ruangan di dalam pameran berkapasitas pas, tidak terlalu penuh dan sesak.
    Suasana di pintu masuk pameran memang cukup ramai, maklum malam minggu. Penikmat seni yang datang juga beragam. Ada yang berambut gimbal, bertatto, bertindik anting, bercelana pendek, juga hadir dengan pakaian biasa dan sederhana. Bermacam-macam penikmat seni diperhatikan oleh Dias, satu peratu wajah mereka mampir dalam tatapan mata Dias. Namun, wanita yang ia tunggu dan ia cari tak ada.
    Ia masih menunggu, hingga pukul sembilan malam, ketika antrean mulai semakin ramai oleh orang-orang yang habis menonton panggung musik tadi. Dias mulai bosan dan lelah, tubuhnya telah lunglai karena berdiri terlalu lama. Ia sempat didorong juga dikritik oleh beberapa penikmat seni yang menunggu di pintu masuk pameran.
    Dias masih bersabar, ia melempar pandangan ke segala arah. Hingga pada suatu ketika, seorang wanita berdiri di depannya. Mengantre dengan tenang dan santai.
    Jantung Dias berdebar cepat. Wanita itu.
    Jarak Dias memandangnya kini lebih dekat, hanya beberapa sentimeter, tak lagi bermeter-meter. Sekitar beberapa detik, mereka bertemu mata, dan Dias seakan-akan tak bernapas.
    “Pamerannya masih lama ya?” ucap wanita itu dengan suara lembut, yang membuat Dias semakin tak percaya pada apa yang ia lihat.
    “Ma... ma... masih, Mbak.” jawab Dias terbata-bata.
    “Antreannya ramai juga ya?”
    “Iya, lumayan, Mbak.”
    Dias tak bisa bicara banyak, ia hanya mematung dan selebihnya tak tahu harus berbuat apa. Dias mengerti bahwa debaran jantung yang begitu kencang ini disebabkan oleh wanita yang berada di hadapannya.
    “Kayaknya, aku pernah lihat kamu deh, tapi di dalam gedung bukan di luar gedung.”
    “Ah, Mbak salah lihat mungkin.” Dias mengelak.
    “Iya, mungkin aku salah lihat ya.”
    “Mbaknya dari mana?”
    “Habis dari Malioboro.”
    “Oh, sendirian?”
    Pertanyaan Dias adalah pertanyaan pancingan, kesempatan.
    Wanita itu baru ingin membuka suara, namun tiba-tiba seorang anak kecil mendekatinya. Perempuan kecil yang menggemaskan itu membawa sebuah kunciran pada pergelangan tangannya. Ia berusaha menerobos antrean di belakang hingga ke depan, mendekati wanita itu.
    “Mama, rambut Adek berantakan.” kata perempuan kecil dengan suaranya yang manja.
    Dias terbelalak, ia terdiam. Perasaannya mulai tak enak. Seperti ada ribuan panah yang merasuk dalam tubuhnya, ia semakin sulit bernapas. Detak jatungnya malah pelan. Belum sempat ia merapikan jengkal napasnya, seorang pria berkacamata tiba-tiba turut menerobos antrean, berdiri di samping wanita itu, menyikut beberapa orang yang lebih dulu berada di posisi itu.
    Ia tak tahu harus berbuat apa. Ketika antrean dibuka dan para penikmat seni dipersilakan masuk, wanita itu tersenyum sambil menatap Dias, lalu kemudian meninggalkannya. Tapi, Dias tak berhenti menatap, ia masih terlalu asing dengan perasaan yang baru saja ia rasakan. Mereka memasuki gedung pameran, Dias masih tak berhenti memerhatikan. Perempuan kecil yang membawa kuncir rambut digandeng lembut oleh wanita itu, sementara pria berkacamata yang berdiri tepat di sampingnya merangkul dengan mesra wanita yang telah Dias cintai selama berbulan-bulan.
    Helaan napas Dias terdengar berat, ia berjalan terhuyung-huyung.
    Tak sempat memunguti hatinya yang patah.
     
  9. corddeztroyer Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 26, 2010
    Messages:
    106
    Trophy Points:
    31
    Ratings:
    +58 / -0
    Malam itu, tak banyak kendaraan yang lewat. Suasana Yogya juga dingin dan menyenangkan seperti biasanya. Saat itu, saya tidak mengenakan jaket, dan ternyata naik sepeda motor dengan hanya menggunakan kaos adalah pilihan yang kurang tepat.
    Sepeda motor yang dikendarai sepupu saya meliak-liuk melewati lampu merah. Menyalip beberapa mobil dan sepeda motor lainnya. Saya hanya menahan napas, wanita yang tubuhnya selalu melekat dengan tubuh saya saat menaiki sepeda motor ini memang tak tanggung-tanggung.
    Di rumah, saya bertanya pada sepupu soal tempat yang menjual buku-buku fiksi lengkap. Belum beberapa menit kami berbincang, tanpa banyak komentar ia mengajak saya ke sebuah pusat perbelanjaan buku, di dekat Taman Budaya, Yogyakarta. Itulah kali pertama saya melihat “surga” yang baru. Tempat ini terdiri dari dua lantai, terdapat banyak sekali kios yang menjual buku baru juga buku bekas. Saya terdiam untuk beberapa saat, tak percaya dengan pemandangan yang saya lihat.
    Kami menyusuri setiap kios untuk mencari buku yang ditulis Seno Gumira Adjidarma dan Pramoedya Ananta Toer. Sampailah kami di lantai dua, sebuah kios cukup besar yang menjual buku-buku yang saya cari.
    “Cari buku apa, Mbak?” ucap pria di samping saya yang mengerlingkan mata.
    Saya membalas senyumnya. “Seno Gumira Adjidarma atau Pramoedya Ananta Toer ada, Mas?”
    Dia menghilang dari pandangan saya dan beberapa menit berikutnya membawa lima buku yang ditulis oleh Pramoedya Ananta. “Ini, Mbak.”
    Uluran tangan saya menyambut buku-buku yang ia bawa, saya duduk di bangku yang telah disediakan dan segera membayar buku tersebut. Pria yang menyambut saya tadi sedang memberi sampul plastik untuk buku saya.
    “Suka buku yang seperti ini ya, Mbak?”
    “Iya, lumayan. Masnya enggak suka buku kayak gini?”
    “Saya sering baca buku yang motivasi aja, Mbak. Maklum, sering galau.”
    Ia menjawab sekenanya, masih dengan senyum yang sekaligus membius perhatian saya. Pria ini tidak menatap mata saya, mencoba untuk memerhatikanmu juga tidak, tapi saya meneliti setiap gerak-geriknya. Saat jemarinya menyampul buku-buku yang saya beli.
    “Aku baru pertama kali ke sini.” saya memangku dagu. “Asik juga, jadi pengen di sini terus.”
    “Hoalah, Mbaknya ini lho.”
    “Kenapa, Mas?”
    “Enggak apa-apa.”
    “Aneh.”
    “Pasti suka banget sama buku ya?”
    Saya mengangguk.
    Dia terdiam dan masih melanjutkan menyampuli buku. Tubuhnya tak terlalu tinggi, matanya? Saya tak tahu bagaimana sinar matanya, dia tidak mencoba untuk menatap saya. Dia mengenakan jersey Chelsea berwarna biru.
    “Aku lebih suka MU, daripada Chelsea.”
    “Lho, kenapa, Mbak?”
    Ia menatap saya, untuk yang pertama.
    Beradu mata.
    “Enggak, enggak kenapa-napa kok.”
    “Hoalah, Mbaknya ini lho.”
    “Aku kenapa lagi?”
    “Lucu.”
    Saya tersipu, agak lama.
    Dan di tengah lorong-lorong kios berlampu terang.
    Kami bertukar tawa.
    Juga rasa?
     
  10. corddeztroyer Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 26, 2010
    Messages:
    106
    Trophy Points:
    31
    Ratings:
    +58 / -0
    Ia naik dari salah satu shelter, saya tak ingat nama shelter-nya. Saya cuma tahu sosoknya sudah ada di depan mata saya, berdiri dengan tubuh hampir gontai sambil memegang dua buku. Saya memerhatikan diam-diam, buku yang ia bawa tak terlalu tebal. Ia berdiri di dekat pintu, TransJogja malam itu memang agak penuh. Saya ingat, saat itu pukul tujuh malam, saya habis mengantar teman saya mencari tempat kost di daerah Depok, Sleman, Yogyakarta.
    Pria itu masih berdiri dengan wajah lelah. Kacamatanya memantulkan cahaya remang-remang bus, juga membiaskan cahaya jalan raya. Ia berkemeja putih dan mengenakan jaket hitam. Saya diam, sampai pada akhirnya bus agak sepi, ia duduk di samping saya. Mulai membuka bukunya, dalam keremangan.
    Saya, yang sejak tadi meliriknya, juga mengeluarkan buku dari tas. Kumpulan sajak yang saya baca memang belum selesai. Kami saling membaca, dalam keremangan.
    Dia masih memerhatikan bukunya, begitu juga dengan saya. Tapi, ada sesuatu yang mengganjal di hati saya. Saya tak terlalu mengerti rute TransJogja. Akhirnya, saya menanyakan shelter yang paling dekat dengan Prawirotaman. Untuk memastikan agar lebih paham. Saya mencoba mencolek lengan pria itu.
    "Shelter yang dekat Prawirotaman sebentar lagi ya, Mas?"
    "Oh, masih jauh, Mbak. Shelter-nya ada setelah saya turun. Satu shelter setelah tujuan saya."
    Saya berpikir sejenak. "Terimakasih, Mas."
    Kami terdiam. Sibuk dengan buku masing-masing. Hanya ada suara bus yang meliak-liuk di antara laju lalu-lintas Yogya yang cukup padat malam itu.
    "Bukan orang asli sini ya, Mbak?" ucap pria di samping saya, mengulum diam.
    "Iya, Mas. Saya dari Depok, Jawa Barat."
    "Kuliah?"
    Saya mengangguk.
    "Saya di sini juga kuliah." ia mengaku tanpa menunggu saya bertanya.
    "Jurusan apa, Mas?"
    "Hukum Islam, mengejar S2."
    Dia menjawab, dan saya tak lagi bertanya banyak.
    "Mbaknya, sastra ya?"
    Saya tersenyum dan mengangguk, berusaha agar tak terlalu tertarik pada percakapan kita.
    "Sastra di mana, Mbak?"
    "UGM, Mas."
    "Mahasiswa baru?"
    "Iya, kok kamu tahu kalau aku sastra?"
    "Aku lihat bukumu, Mbak. Kumpulan sajak."
    Saya tertawa, karena pria ini ternyata juga memerhatikan saya, setelah itu jemari saya menyentuh dua buku yang ia baca. "Kalau bukumu apa? Suka baca buku juga?"
    "Sejarah Islam yang tersirat dalam novel, Mbak."
    Senyum saya mengembang lebih lebar, selama beberapa menit kami berbincang banyak hal.
    Sampai pada akhirnya ia berdiri dari tempat tuduk, tersenyum dengan ramah ke arah saya, dan menuruni bus. Singkat.
    Saya belum paham, kenapa saya pandai memerhatikan seseorang dan begitu mudah menyukai seseorang walau hanya melalui gerak-geriknya yang sederhana tapi mengejutkan.
    Saya tak paham, dan masih ingin berada dalam kebingungan. Agar saya mau terus mencari dan semakin penasaran.
    Karena semua pria, memang berbeda.
     
  11. corddeztroyer Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 26, 2010
    Messages:
    106
    Trophy Points:
    31
    Ratings:
    +58 / -0
    Setelah Kita Putus

    “Aku bisa sendiri.” aku menghempaskan tangannya dengan kasar ketika ia mencoba membersihkan ice cream di bibirku.
    Ia terdiam, aku sibuk menyesap benda manis yang sejak tadi menggodaku.
    “Kita udah beda, gak sama, semua gak bisa diubah seperti dulu lagi.”
    Tatapannya dingin, masih memojokkanku dengan raut wajahnya yang menyebalkan.
    “Kenapa ngajak ketemuan lagi?” tanyaku panas dan sinis. “Belum cukup sama yang kamu lakukan selama ini?”
    Ia menatapku dengan tatapan memelas, aku menangkap sinyal kesalahan di matanya. Tapi, aku tak peduli, rasa kasihanku telah habis untuknya. Aku muak menatapnya, pertemuan ini tak akan terjadi jika dia tak bersungut-sungut seperti di telepon tadi.
    “Aku mau meminta maaf.” ucapnya lugu namun penuh rayu. “Aku bersalah.”
    “Baru sadar sekarang? Kemarin kemana aja, tolol!”
    “Aku menyesal. Aku menyesal. Aku menyesal.”
    “Tiga kali ada kata menyesal.”
    “Aku menyesal!”
    “Empat kali.”
    “Kesha…” ia memanggil namaku lembut, aku tak bisa menahan tatapanku agar tak menyorot matanya.
    “Apa?”
    “Maafin aku.”
    “Aku udah maafin kamu bahkan sebelum kamu minta maaf.”
    “Sungguh?”
    Aku mengangguk tanpa pikir panjang, tak ingin percakapan ini berlangsung dengan lamban. Aku ingin semuanya berakhir. Dan, semoga wajah busuk ini tak lagi kutatap.
    “Aku menyesal, Kesha.”
    “Lima kali, cukup. Aku bosan dengar kata menyesal jika kamu sendiri tak pernah mencoba untuk berubah.”
    “Aku harus berbuat apa agar kamu benar-benar ikhlas memaafkanku?”
    “Tidak perlu, semuanya sudah lewat, aku enggak perlu ingat-ingat yang lalu. Semuanya sampah!”
    Nada bicaraku mendiamkan gerak bibirnya, ia menatapku dengan tatapan minta dikasihani.
    “Jangan menatapku dengan tatapan tolol seperti itu, rasa kasihanku sudah habis terhadapmu, bodoh!”
    Ia tak banyak bicara, hanya mendengarkan aku yang terus saja mengumpatnya dan memakinya. Tiba-tiba perasaan kesal itu muncul lagi, bayang-bayang pahit itu kembali berserakan. Aku tak bisa menahan diriku untuk tak memikirkan peristiwa itu. Saat aku mendapati dirinya berciuman dengan seorang gadis di sebuah prakiran trade center daerah Jakarta Selatan. Aku ingin semuanya berlalu dan hilang seperti angin. Sungguh, aku tak ingin mengingat cara dia menyakiti dan mengkhianatiku, tapi aku terlalu lemah.
    Aku tak bisa menyangkal diri, bahwa aku benar-benar mencintainya, dia sudah menjadi bagian dari napasku selama beberapa tahun terakhir. Aku tak mungkin bisa melupakan seseorang yang telah mengisi hari-hariku dengan begitu cepat. Aku butuh waktu. Tapi, semua di luar prediksiku, saat aku ingin melupakannya, dia malah hadir. Berkata maaf, mengucap kata menyesal, dan segala kalimat yang mampu mencairkan hatiku yang sudah sangat beku.
    Aku hanya bisa membohongi diriku sendiri. Memakinya, mencemoohnya, dan menghujaninya dengan kata-kata kasar, namun sebenarnya aku tersiksa. Aku tak bisa menyakiti seseorang yang kucintai, aku lelah terus-menerus menyangkal diri sendiri. Aku mencoba menyadarkan pikiranku yang sempat goyah, kembali meletakkan akal sehatku pada kenyataanyan yang ada. Aku tak mungkin lagi menerimanya kembali, sekeras apapun dia memintaa maaf padaku. Meskipun dia harus meradang, meronta, atau berlutut di hadapanku.
    Setelah lama kudiamkan, dia menangis. Seluruh mata pengunjung restaurant bergeser ke arah kami. Ini air mata pertamanya yang pernah kulihat, bertahun-tahun ia tak pernah menangis di hadapanku. Apakah ini juga bagian dari kebohongan?
    “Sudahlah, Kevin. Aku bukan gadis tolol yang bisa kaupermainkan lagi. Jauh-jauh dari pandanganku, atau perlu menghilanglah dari muka bumi ini!”
    “Aku akan menghilang tanpa kau minta, Kesha.”
    “Baguslah, sadar diri!”
    “Dan, tidak akan pernah kembali.”
    “Itu lebih bagus, selamanya kalau perlu!”
    “Iya, selamanya.”
    Dia mengulang kata ‘selamanya’ dengan tatapan yang bodoh disertai mata yang sembab. Aku tak ingin membuang-buang waktuku. Aku membayar ice cream dengan uangku sendiri, meninggalkan Kevin yang masih menggigil karena perkataanku.
    Mampus kau! Seruku dalam hati. Aku tertawa senang. Aku berhasil menyakitinya. Aku tak menyesal berpisah dengannya. Oh, Tuhan, jadi ini rasanya bahagia?
    Sempurna!
    ***
    Tak ada lagi komunikasi dengan Kevin. Aku tak pernah mau tahu lagi kabarnya. Telingaku tak ingin lagi mendengar namanya.
    Aku menjalani hari-hari seperti biasa. Aku bahkan berprestasi dalam banyak hal, tak peduli pada masa lalu yang sempat membayangiku selama ini. Tapi, aku memang tak mampu menyangkal, wajah Kevin masih saja hadir dalam malam-malam sepi ketika aku sedang mendengar lagu favorite kita dulu. Have I Told You Lately That I Love You, Rod Stewart selalu pandai membawakan lagu ini dengan suara yang mendayu-dayu namun menggemaskan. Memang benar, sebuah lagu mampu melempar seseorang kembali ke masa lalunya, dan aku selalu mengalami hal itu, lagi dan lagi.
    Entah mengapa, hari-hariku memang terasa lebih sepi. Aku sering iri melihat teman-temanku berjalan dengan kekasihnya, dan aku hanya berjalan sendirian. Yaaaaah, belajar mandiri, itulah dua kata yang membuatku bertahan sampai saat ini. Kevin, dulu, adalah pria yang baik, namun setelah mengenal wanita jalang itu, dia berubah drastis. Aku membencinya dan sepertinya perasaanku padanya berangsur-angsur mulai hilang.
    Siang ini, aku sudah bersiap-siap ke kampus. Belum sempat membuka pintu kamar, ponselku berdering nyaring.
    Aku menatap ke layar ponsel, nomor tak dikenal. Sebenarnya, aku tak ingin mengangkat panggilan tersebut, tapi entah mengapa, rasanya panggilan tersebut sangat penting.
    “Halo…”
    “Halo… Kesha?”
    Terdengar suara wanita yang rasa-rasanya akrab di telinga.
    “Ini, Tante, Nak.”
    “Tante?”
    “Ibunya Kevin.”
    Deg. Aku lemas, rasanya sulit untuk membuka suara. Aku berusaha keras untuk menahan emosiku dan perasaanku yang mulai tak stabil.
    “Iya, kenapa, Tante?”
    “Mau nemenin Tante sebentar enggak?”
    “Ke mana?”
    “Ke suatu tempat, mungkin kamu suka?”
    Aku terdiam agak lama, berpikir dengan keras. Namun satu kata meluncur dari bibirku, tanpa kuduga. “Oke.”
    ***
    “Sebenernya Tante udah lama pengen ajak kamu ke sana.”
    Aku masih bingung, tak mengerti arah tujuan. Di mobil aku hanya mengangguk-angguk pelan, tak mengerti pada pembicaraannya yang ngalor-ngidul.
    “Kita mau kemana, Tante?”
    “Nanti, kamu juga tahu sendiri.”
    Jawaban tersebut sama sekali tak membuat diriku puas. Kami melewati padang ilalang dan hamparan rumput yang menghijau. Tanah yang terlihat cukup gersang namun untungnya cuaca hari itu tak begitu panas. Beberapa menit kemudian, Ibu Kevin menggunakan kaca mata hitam dan kerundung berwarna hitam. Ia mengeluarkan kembang tujuh rupa. Aku bertanya-tanya, ada apa sebenarnya?
    Mobil berhenti, dan rasa ingin tahuku semakin menjadi-jadi. Kami berjalan melewati tanah yang gersang tadi, dan sejauh mata memandang ada beberapa nisan yang terlihat. Aku baru tahu di tempat seindah ini ada pemakaman.
    Beliau menuntunku terus berjalan, kemudian berhenti di sebuah nisan. Aku tak memerhatikan dengan jelas tulisan di nisan itu, aku hanya menatap wajah wanita yang sejak tadi genggaman tangannya semakin erat di jemariku.
    Wanita itu sedikit berjongkok, aku ikut berjongkok.
    “Sudah dua bulan, Kesha.”
    Aku masih diam, dan mendengarkan, karena mungkin saja mendengarkan bisa memberiku jawaban.
    “Dia pergi, sesuai permintaanmu.”
    Dia siapa? Aku tak mengerti, aku masih menyimak perkataan wanita ini dengan santun dan tegas.
    “Kevin sakit, dia selalu sembunyikan penyakitnya darimu.”
    Oh, jadi Kevin sakit? Dirawat di mana dia sekarang? Baguslah, itu karma untuknya, karena telah menyakitiku.
    “Kamu dan Kevin sudah pacaran beberapa tahun.”
    Duh, sialan, mengungkit masa lalu. Masa yang tak pernah ingin kuingat. Sialan.
    “Kevin tahu kamu sangat mencintainya, makanya ia tak ingin kepergiannya menyakitimu.”
    Aku terdiam. Masih tak paham.
    “Ia menyewa seorang wanita, dan merencanakan segalanya yang rumit, membuat semuanya seakan-akan terjadi secara tidak sengaja.”
    Merencanakan?
    “Kevin mencium wanita itu dan kamu lewat di depan mobilnya. Momentum yang pas. Semuanya terjadi sesuai rencananya.”
    Tatapanku tajam menyapu wajah wanita itu, matanya tak terlalu terlihat, kacamata hitam memburamkan tatapannya.
    “Kevin sengaja menyakitimu agar kamu tak pernah menyesal ketika dia pergi. Itulah wujud yang sebenarnya, bahwa dia tak ingin melihatmu terluka. Dia masih mencintaimu.”
    Omong kosong! Teriakku dalam hati.
    “Dia baik sekali, Kesha. Dan kau tak menyadari bahwa pertemuan terakhir kalian adalah saat kau memakinya.”
    Jutaan panah seperti melesat ke jantungku. Aku tak bisa bernapas.
    Aku menatap nisan itu. Ada namanya. Nama pria yang selama ini sempat memutarbalikkan duniaku. Kevin.
    “Perjuangannya memang tidak sia-sia, kau tidak terlihat terluka dan menyesal. Kevin berhasil menahan air matamu, Kesha. Lihatlah, kamu tidak menangis.”
    Aku terdiam, tak bisa berkomentar banyak. Bibirku terlalu kelu. Aku tak menyangka perjuangan Kevin begitu besar untukku.
    Napasku masih tercekat, dan sekarang aku tahu rasanya menangis.
    Air mata.
    :idws::idws:
     
  12. corddeztroyer Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 26, 2010
    Messages:
    106
    Trophy Points:
    31
    Ratings:
    +58 / -0
    Surat Cinta Untuk........

    Untukmu, yang beberapa kali muncul di layar televisi.

    Apa kabar, kamu? Apakah kamu kelelahan ketika melewati rentetan peristiwa yang terjadi beberapa minggu ini? Aku bisa menebak rasa lelahmu, karena kantung matamu terlihat jelas dan raut wajahmu yang tersenyum berusaha menyembunyikan perasaanmu yang sebenarnya. Minggu-minggu ini memang sangat melelahkan, kamu berjuang mati-matian. Tapi, aku tahu kamu adalah pria yang kuat dan hebat, kamu sosok berkharisma yang merenggut perhatianku ketika aku pertama kali mengetahui kehadiranmu.

    Kampanye sudah selesai, euforia kota Jakarta masih terdengar riuh dan mengamit resah. Mereka bertanya-tanya, begitu juga aku yang terus bertanya. Bagaimana perasaanmu saat ini? Mungkinkah, kamu sedang mondar-mandir mengelilingi ruangan sambil mengunyah permen karet? Apakah tanganmu terasa dingin ketika hari pencoblosan sudah tiba? Kalau aku di situ, aku akan mengenggam tanganmu erat-erat, rapat-rapat, tanpa ucap.

    Kamu, yang tak pernah terlewati dari sorotan mataku.

    Apakah kamu mengenalku? Berkali-kali kita bertemu, namun dibatasi oleh layar kaca. Aku melihatmu, tapi kamu tak melihatku. Aku merasakan perasaan aneh yang bergelayut di otakku, entahlah mungkin aku mulai mengagumimu, atau bahkan menggilai gerak-gerikmu. Aku seringkali menjerit dalam hati, ketika sosokmu kembali muncul di berita pagi, lalu menggebu-gebu di kabar siang, dan tersenyum penuh wibawa di guratan berita malam.

    Sungguh, aku memikirkanmu. Dan berharap bisa menyalami tanganmu seperti orang-orang beruntung yang bisa menyentuh jemarimu. Aku ingin melihat wajahmu seperti orang-orang bernasib baik yang bisa menatap dalam-dalam wajahmu. Aku ingin banyak hal, tentangmu, tapi tak mungkin.

    Aku terdiam dan tak melanjutkan obsesiku. Aku tak minta banyak hal, aku hanya ingin merasakan kehadiranmu dalam semestaku. Berubahlah menjadi apapun, asal kamu mengorbit dalam galaksi milikku.

    Pria dengan tatapan sendu yang mengacaukan sel-sel impuls di otakku.

    Kali ini, aku tak peduli, kau mau menganggapku wanita bodoh dengan banyak obsesi atau gadis setengah gila yang mengharapkan banyak hal. Aku hanya mengagumimu, bukan ingin merusak hari-harimu. Kamu orang besar, tenar, banyak orang yang menggantungkan nasib dan harapannya pada padamu. Aku hanya sebagian kecil dari mereka yang membutuhkan kamu dalam barisan hari-hariku.

    Kamu bukan udara, oksigen, atau air. Tapi, sehari tanpa melihat senyummu, rasanya ada yang kurang. Minggu-minggu ini, aku mulai terbiasa menatapmu setiap hari dan terus-menerus, berganti-ganti channel televisi hanya untuk mendapati dirimu yang antusias membangun Jakarta menjadi lebih baik.

    Aku ingin bersinggungan dengan tatapan matamu yanng lembut, dan merasakan petasan Pekan Raya Jakarta meledak-ledak di jantungku.

    Untukmu, pria pemilik senyum melankolik.

    Sudahlah, kini kau sudah paham tentang perasaanku, atau masih tak paham? Atau masih bingung? Atau masih geleng-geleng kepala? Percayalah, aku pun sama denganmu, kebingungan dan pusing tujuh keliling. Aku juga tak mengerti perasaanku. Aku hanya tahu rasa ini bertumbuh lebih cepat daripada yang kuduga. Tiba-tiba aku melihatmu, lalu kamu ada di kepalaku, lalu senyummu terus memenuhi labirin-labirin kosong di hatiku.

    Apa yang harus kulakukan, Pak? Haruskah aku menyeret bayangmu hingga benar-benar keluar dari otakku? Aku tak bisa, dan tak akan pernah kucoba, karena aku menikmati saat-saat ini, saat kamu mengalir dalam jengkal napas dan setiap tetes darah.

    Masa kampanye sudah usai, dan pilkada Jakarta hampir usai. Apakah aku masih bisa bertemu denganmu di layar kaca? Apakah aku bisa merasakan sinar matamu dari balik televisi? Apakah aku masih pantas mengagumimu?

    Sudahlah, kamu orang hebat. Jalani tugasmu dan aku akan diam-diam mendoakanmu.

    Kalau boleh sedikit lancang, aku mau minta fotomu yang pakai baju kotak-kotak itu. Mau kusimpan di kamar, untuk mengalihkan perasaan rinduku. Boleh ya, Pak?
     
  13. corddeztroyer Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 26, 2010
    Messages:
    106
    Trophy Points:
    31
    Ratings:
    +58 / -0
    Handphone

    Dinginnya malam
    pernah kulewati bersamamu
    menjamah suaramu
    mendengar tawa renyahmu

    Tubuhnya yang tipis
    membuatku meringis
    pernah juga menangis
    karena mendengar ceritamu
    sebab tak kunjung kaujawab tanyaku

    Aku mengenalmu
    karena benda tak bernapas itu
    aku mencumbu
    cemburu
    ngilu
    karena mulai mencintaimu

    Tak terdengar lagi suara merdumu
    yang mengantar tidurku

    Dari situ
    suaramu mampu getarkan hati
    lalu hempaskan harapan mati

    Handphone-ku
    sudah kubuang
    begitu juga bayangmu yang terus menjenjang

    Aku bisa mencintaimu
    tanpa pernah melihat wajahmu
    juga tanpa embel-embel menggenggam jemarimu
     
  14. corddeztroyer Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 26, 2010
    Messages:
    106
    Trophy Points:
    31
    Ratings:
    +58 / -0
    Menjaga Senyumnya

    Alex masih bersandar di dinding, menatap seorang pria yang sedang tidur dengan berbagai macam alat medis di tubuhnya. Tetesan air infus mengalir pelan, tabung oksigen turut bekerja aktif, semuanya terdiam, juga seseorang yang sejak tadi memegang tangan pria itu. Genggaman tangannya melemah, matanya sembab, wanita itu lelah menangis. Perutnya semakin hari semakin besar, hampir delapan bulan kandungannya.
    Hanya bisa memandangi, Alex masih terdiam dan tak banyak bergerak. Ia menatap sekeliling kamar, sepi, sunyi. Electro cardio graph, monitor yang menunjukkan grafik detak jantung itu naik turun tak berirama, bahkan hampir datar, detak jantungnya tidak stabil. Wanita itu menghela napas berat, ada beban yang sangat mengangganjal bahunya. Ia tak tidur selama beberapa hari untuk menjaga kekasihnya.
    Malam semakin larut, wanita itu mengantuk, tapi tidak dengan Alex. Ia tak mampu merasakan kantuk, ia juga tak mampu merasakan rasa lelah. Tapi, Alex mengerti walaupun dia tak merasakan apa-apa.
    “Belum kaucabut juga nyawanya?” sapa suara yang terdengar begitu dekat, Alex menoleh ke sumber suara.
    “Belum waktunya dia mati, nampaknya Tuhan ingin memberikan dia kesempatan.” jawab Alex tenang, disaat-saat seperti ini ia memang tak ingin banyak bicara.
    Azurine, teman yang tadi menyapa Alex malah terbang kesana-kemari mengelilingi kamar rumah sakit. Ia memang paling tidak bisa diam, ia suka bermain, seperti anak kecil. Entahlah, tak pernah ada yang tahu berapa umurnya, Alex juga tak tahu umurnya. Tapi, Alex dan Azurine memang tak perlu tahu umur mereka, ratusan atau bahkan ribuan tahun tak penting bagi mereka. Mereka hanya ditugaskan untuk mencabut nyawa seseorang, tanpa pernah tahu asal-usul roh mereka sendiri.
    “Pria itu jahat Alex, cabut saja nyawanya. Bukankah sinyal kematian begitu kuat terpancar dari dirinya?” tanya Azurine santai, kini ia membuat awan dan duduk menghadap Alex.
    “Orang jahat juga punya kesempatan untuk berubah.” tanggap Alex tenang, kini ia berjalan mendekati wanita yang perutnya berisi janin delapan bulan. Ia memeluk wanita itu dengan penuh kasih, namun tak terasa. Lengannya malah menembus tubuh wanita itu.
    “Dia menghamili wanita itu, dan dia hampir mati karena kecerobohannya sendiri, mengendarai mobil dalam keadaan mabuk bersama dengan seorang wanita bayaran. Dia murahan.”
    “Manusia pasti melakukan kesalahan, Azurine.” Alex tak lagi memeluk wanita berperut besar itu. Ia berjalan menghampiri temannya. “Tapi, manusia bisa berubah, dengan cara mereka sendiri.”
    “Jika kaumencabut nyawanya, akan berkurang jumlah orang jahat di dunia ini.” seloroh Azurine memburu, ia memberi tanggapan asal saja.
    Alex tahu benar karakter Azurine, ia suka hal yang terburu-buru. Tuhan sering marah pada Azurine, karena seringkali datang disaat-saat yang tidak tepat. Tapi, adakah saat kematian yang tepat? Memangnya manusia tokoh wayang Bhisma, yang bisa menentukan waktu yang tepat untuk mati?
    “Aku tidak memikirkan pria itu, tapi aku memikirkan wanita ini, wanita yang mengandung anak pria itu. Anak mereka.”
    “Wanita itu sama bodohnya, paling-paling Tuhan juga akan mengambil nyawanya ketika ia melahirkan. Manusia bodoh, mau saja tergoda nafsu, lupa larangan Tuhan, selalu ingin dekat dengan hal-hal yang menyedihkan hati Tuhan.”
    “Kau kan bukan manusia, Azurine. Jangan sok tahu.”
    “Aku bisa mengerti, tapi tak mampu merasakan.”
    “Kalau begitu, jangan ambil persepsi sendiri. Tuhan marah nanti kalau kamu menilai ciptaanNya dengan mudah tanpa memikirkan kejadian sebenarnya.”
    Azurine menertawakan tindakannya. “Kamu berbeda Alex, mengapa untuk tugas menjemput kali ini, kau begitu dingin dan membuat semuanya berlarut-larut?”
    ` “Semua sama saja, aku menjemput manusia dengan keadaan sederhana. Tak ada yang berbeda, aku datang lalu jika belum waktunya, maka aku hanya sekedar datang, tapi tidak menjemput.”
    “Sudah waktunya, Alex. Tapi, entah mengapa kau seperti mempertahankan sesuatu, melawan kehendak Tuhan.”
    “Tahu apa kamu tentang Tuhan, Azurine?” Alex tak mampu menahan tawanya, ia duduk di bibir tempat tidur sambil menatap pria yang tertidur dan sudah lama tak bangun itu.
    “Tak begitu tahu, tapi aku mengerti. Ada yang kaututupi, juga kausembunyikan.”
    “Kamu sok tahu lagi.”
    “Ada apa Alex?” suara Azurine terdengar serius, ia berusaha membaca tindakan Alex, namun ia merasa gagal.
    “Aku sudah lama memerhatikan wanita ini, lama sekali. Sejak ia masih dalam kandungan ibunya, sejak ia belajar merangkak, berjalan, bertumbuh, menjadi remaja, dewasa, lalu bertemu dengan pria ini.”
    “Lantas?”
    “Wanita ini berbeda.”
    “Semua ciptaan Tuhan bukannya sama?”
    “Tidak, kali ini berbeda. Percayalah padaku, Azurine.”
    “Sejak kapan kau bersamanya?”
    “Aku selalu bersamanya, bahkan saat ia berhubungan badan dengan pria itu.”
    “Kau tidak mencegahnya?”
    “Aku berusaha keras, namun dia tidak melihatku.”
    “Kamu tidak melapor pada Tuhan?”
    “Sudah, kataNya biarkan saja wanita itu terjerumus dalam dosanya sendiri. Ia akan tahu akibatnya setelah dosanya memengaruhi takdir dan hidupnya.”
    “Itu pasti pekerjaan iblis!”
    “Iblis tak harus selalu disalahkan, Azurine. Tugasnya memang menggoda, tapi jika manusia terjatuh karena godaan Iblis, itu adalah kesalahannya sendiri.”
    “Tapi, pria itu jahat! Kamu terlalu banyak basa-basi, Alex! Cepat cabut nyawanya!”
    Alex terdiam, seperti menimbang-nimbang sesuatu di dalam otaknya. Ia menatap pria itu, juga wanita yang sejak tadi menjaga dengan setia di samping tempat tidur. Alex tak banyak bergerak, sesekali ia menatap Azurine yang matanya membulat, seperti memerintahkan Alex untuk mencabut nyawa pria itu.
    “Aku mencintai wanita ini.”
    “Kau bercanda, Alex! Malaikat hanya mengerti cinta, tapi dia tak mampu merasakannya.”
    “Tapi, dengan wanita ini, aku bisa merasakannya.”
    “Lihatlah, kau melucu!”
    Alex tertunduk. “Jika aku mencabut nyawa pria ini, wanita yang mengandung anaknya akan selalu bersedih. Dia akan tersakiti oleh air matanya, aku tak sanggup melihat hal itu.”
    “Kau percaya bahwa kebahagiaan wanita ini adalah jika pria itu kembali terbangun dan hidup?”
    Tanpa pikir panjang, Alex mengangguk. “Wanita ini terlalu baik, karena terlalu baik sehingga banyak orang yang menyakitinya. Aku lelah melihat wanita yang kucintai disakiti terus-menerus.”
    “Kau gila, Alex!”
    “Terserah, tapi aku tak ingin melihat wanita ini menderita.”
    “Dia tak tahu duniamu, Alex! Dia bahkan tak mengenalmu! Buka matamu!”
    Alex tersenyum manis, nampaknya ia tak peduli pada perkataan Azurine. Ia mengepakan sayapnya dan berputar di langit-langit.
    “Senyum wanita ini begitu penting bagiku, dan aku akan terus menjaga senyumnya.”
    “Dia tidak mengenalmu, Alex! Wanita ini tak akan pernah mengenalmu!”
    “Dia akan mengenalku, tapi bukan kali ini. Di surga nanti, kita juga akan bertemu, apa bedanya?”
    “Kau sungguh yakin?”
    “Aku beritahu Tuhan dulu, kalau Dia setuju, aku akan menjemput pria itu nanti. Kalau Dia tak setuju, aku akan menjemput nyawa pria ini secepatnya.”
    “Tapi, Alex....”
    “Wujud cinta tidak menyakiti.”
    “Wanita ini tak melihatmu, Alex!”
    “Tidak penting bagiku, aku hanya ingin menjaga senyumnya.”
    “Kau tak tahu arti cinta yang sesungguhnya!”
    “Aku memang tak perlu mengerti, tapi aku cukup merasakannya.”
    “Kau gila, Alex!”
    “Kalau sudah tahu, mengapa masih menasehati orang gila?”
    Alex tertawa geli, ia meninggalkan rumah sakit dan terbang jauh memasuki awan hitam. Ia ingin bertemu Tuhan. Segera.
     
  15. corddeztroyer Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 26, 2010
    Messages:
    106
    Trophy Points:
    31
    Ratings:
    +58 / -0
    Mungkin, aku terlalu berharap banyak

    Rasanya semua terjadi begitu cepat, kita berkenalan lalu tiba-tiba merasakan perasaan yang aneh. Setiap hari rasanya berbeda dan tak lagi sama. Kamu hadir membawa banyak perubahan dalam hari-hariku. Hitam dan putih menjadi lebih berwarna ketika sosokmu hadir mengisi ruang-ruang kosong di hatiku. Tak ada percakapan yang biasa, seakan-akan semua terasa begitu ajaib dan luar biasa. Entahlah, perasaan ini bertumbuh melebihi batas yang kutahu.
    Aku menjadi takut kehilangan kamu. Siksaan datang bertubi-tubi ketika tubuhmu tidak berada di sampingku. Kamu seperti mengendalikan otak dan hatiku, ada sebab yang tak kumengerti sedikitpun. Aku sulit jauh darimu, aku membutuhkanmu seperti aku butuh udara. Napasku akan tercekat jika sosokmu hilang dari pandangan mata. Salahkah jika kamu selalu kunomorsatukan?

    Tapi... entah mengapa sikapmu tidak seperti sikapku. Perhatianmu tak sedalam perhatianku. Tatapan matamu tak setajam tatapan mataku. Adakah kesalahan di antara aku dan kamu? Apakah kamu tak merasakan yang juga aku rasakan?

    Kamu mungkin belum terlalu paham dengan perasaanku, karena kamu memang tak pernah sibuk memikirkanku. Berdosakah jika aku seringkali menjatuhkan air mata untukmu? Aku selalu kehilangan kamu, dan kamu juga selalu pergi tanpa meminta izin. Meminta izin? Memangnya aku siapa? Kekasihmu? Bodoh! Tolol! Hadir dalam mimpimu pun aku sudah bersyukur, apalagi bisa jadi milikmu seutuhnya. Mungkinkah? Bisakah?

    Janjimu terlalu banyak, hingga aku lupa menghitung mana saja yang belum kamu tepati. Begitu sering kamu menyakiti, tapi kumaafkan lagi berkali-kali. Lihatlah aku yang hanya bisa terdiam dan membisu. Pandanglah aku yang mencintaimu dengan tulus namun kau hempaskan dengan begitu bulus. Seberapa tidak pentingkah aku? Apakah aku hanyalah persimpangan jalan yang selalu kau abaikan – juga kau tinggalkan?

    Apakah aku tak berharga di matamu? Apakah aku hanyalah boneka yang selalu ikut aturanmu? Di mana letak hatimu?! Aku tak bosa bicara banyak, juga tak ingin mengutarakan semua yang terlanjur terjadi. Aku tak berhak berbicara tentang cinta, jika kau terus tulikan telinga. Aku tak mungkin bisa berkata rindu, jika berkali-kali kauciptakan jarak yang semakin jauh. Aku tak bisa apa-apa selain memandangimu dan membawa namamu dalam percakapan panjangku dengan Tuhan.

    Sadarkah jemarimu selalu lukai hatimu? Ingatkah perkataanmu selalu menghancurleburkan mimpi-mimpiku? Apakah aku tak pantas bahagia bersamamu? Terlau banyak pertanyaan. Aku muak sendiri. Aku mencintaimu yang belum tentu mencintaiku. Aku mengagumimu yang belum tentu paham dengan rasa kagumku.


    Aku bukan siapa-siapa di matamu, dan tak akan pernah menjadi siapa-siapa. Sebenarnya, aku juga ingin tahu, di manakah kau letakkan hatiku yang selama ini kuberikan padamu. Tapi, kamu pasti enggan menjawab dan tak mau tahu soal rasa penasaranku. Siapakah seseorang yang telah beruntung karena memiliki hatimu?


    Mungkin... semua memang salahku. Yang menganggap semuanya berubah sesuai keinginanku. Yang bermimpi bisa menjadikanmu lebih dari teman. Salahkah jika perasaanku bertumbuh melebihi batas kewajaran? Aku mencintaimu tidak hanya sebagi teman, tapi juga sebagai seseorang yang bergitu bernilai dalam hidupku.

    Namun, semua jauh dari harapku selama ini. mungkin, memang aku yang terlalu berharap terlalu banyak. Akulah yang tak menyadari posisiku dan tak menyadari letakmu yang sengguh jauh dari genggaman tangan. Akulah yang bodoh. Akulah yang bersalah!

    Tenanglah, tak perlu memerhatikanku lagi. Aku terbiasa tersakiti kok, terutama jika sebabnya kamu. Tidak perlu basa-basi, aku bisa sendiri. Dan, kamu pasti tak sadar, aku berbohong jika aku bisa begitu mudah melupakanmu.

    Menjauhlah. Aku ingin dekat-dekat dengan kesepian saja, di sana lukaku terobati, di sana tak kutemui orang sepertimu, yang berganti-ganti topeng dengan mudahnya, yang berkata sayang dengan gampangnya.

    dari seseorang yang kehabisan cara
    membuktikan rasa cintanya
     
  16. corddeztroyer Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 26, 2010
    Messages:
    106
    Trophy Points:
    31
    Ratings:
    +58 / -0
    Siapa namamu?

    “Saling promote sama akun gue?”
    Aku menghela napas ketika membaca kalimat itu di layar bb-ku. Dia lagi. Dia lagi. Dia lagi.
    “Oke, kalau gue udah promote akun lo, langsung gue kasih tahu.”
    “Oke.”
    Sesingkat itu. Selalu seperti itu. Berjam-jam. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Berbulan-bulan. Tak berbeda. Selalu sama. Dan, aku hanya bisa diam, tanpa mau berkata lebih banyak ataupun menulis lebih banyak. Semua berjalan begitu saja, lama-lama aku juga muak sendiri.
    Lama aku memerhatikannya, tentu saja tanpa sepengetahuannya. Aku suka tulisannya dan bagaimana mungkin aku tidak jatuh cinta pada barisan seratus empat puluh karakter yang ia tuliskan di akunnya. Tak peduli semua tulisan itu hasil otaknya sendiri atau hasil pemikiran orang lain, aku tak peduli! Seakan-akan sosoknya semakin nyata dalam otakku, seakan-akan tulisannya sangat bernyawa dalam hari-hariku.
    “Saling promote sama akun gue?”
    Pertanyaannya selalu sama. Aku mengetik keypad blackberry-ku dengan malas. Orang ini benar-benar tak menyadari perasaanku. Tapi, bagaimana ia akan menyadari kalau aku hanya terus diam?
    “Oke, kalau gue selesai promote akun lo, pasti gue kasih tahu.”
    “Oke.”
    Hey, kamu! Apakah isi otakmu hanyalah “Saling promote sama akun gue?” dan “Oke” saja? Mungkinkah isi otakmu hanya terdiri dari enam kosakata itu? Tak ada kosakata lain dalam pikiranmu? Pertanyaan “Sedang apa?” misalnya. Atau kalimat-kalimat selain dua kalimat yang selalu kau lontarkan?
    “Saling promote sama akun gue?”
    Ini lagi. Ini lagi. Ini lagi. Masa kata-katanya sama lagi? Kamu sudah gila ya?
    “Iya.” jawabku singkat, sekenanya.
    “Tumben jawabnya cuma iya?”
    “Lho, kenapa?” Aku kaget, dia menanggapi jawaban singkatku.
    “Tidak seperti biasanya.”
    “Memangnya elo merhatiin?”
    Diam. Tak ada jawaban. Sial!
    Aku berpikir keras, ada apa dengan seseorang di sudut sana. Aku bahkan tak tahu namanya, juga tak tahu bagaimana wujudnya. Kami hanya sebatas admin yang berhubungan hanya untuk saling promote akun. Salahkah jika semuanya bertumbuh lebih dari itu?
    Salahkah jika aku merasa lebih dari sekedar teman saling promote?
    Dia memang tidak merasakan yang aku rasakan.
    “Hey.”
    Aku membuka mataku yang setengah mengantuk, ada PING!!! Berkali-kali darinya. Sekali lagi, dia tak seperti biasanya.
    “Ya?”
    “Emh... belum tidur?”
    “Menurut lo, apa yang lo lakuin kalau di PING berkali-kali?”
    “Hahahaha.” gelak tawanya seakan-akan membahana dalam tulisan. “Kita kok kayaknya enggak ada bahan omongannya ya?”
    “Maksud elo?”
    “Ya, bahan omongan, selain saling promote akun, maksud gue.”
    “Oh, itu toh maksud elo.”
    “Jadi... nama lo siapa?”
     
  17. corddeztroyer Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 26, 2010
    Messages:
    106
    Trophy Points:
    31
    Ratings:
    +58 / -0
    Satu-Satunya

    “Aku hanya memiliki dia.” ucap Pengkhianat santai. “Dia satu-satunya yang kupunya.”
    Cinta terdiam dan sesekali menghela napas. “Perempuan jalang!”
    “Apa salahku?” keluh Pengkhianat dengan wajah tak berdosa.
    “Kamu menyakitinya tolol!” Cinta membentak dengan kasar, ia tak mampu lagi menahan emosinya.
    “Aku menyakitinya?” ulang Pengkhianat dengan wajah seakan-akan tak melakukan kesalahan. “Dia masih milikku kan?”
    “Hatinya memang milikmu, tapi bukan berarti kau bebas mematahkannya!”
    Pengkhianat menatap dengan tatapan tajam, semakin tajam seperti menusuk Cinta dengan ribuan pedang. “Memangnya kamu siapa? Pahlawannya?”
    Ucapan itu terasa sangat menghujam, Cinta menutup mulutnya rapat-rapat. Ia berpikir keras tentang jati dirinya yang belum juga terjawab. Cinta itu siapa? Mengapa dia begitu tak tega jika Jujur disakiti oleh Pengkhianat. Cinta berpikir keras, semakin keras hingga keringatnya mengucur deras.
    “Aku bukan siapa-siapa.” desah Cinta lembut, seperti ada tangis yang terdengar menyayat dalam ucapannya.
    “Sudah tahu bukan siapa-siapa kenapa masih bersikap sok pahlawan?” Pengkhianat bertolak pinggang, ia menaikkan alisnya. “Aku wanita jalang, tapi kamu wanita bodoh!”
    Cinta tak berani menatap wajah Pengkhianat, ia seakan-akan mati rasa dan tak tahu lagi harus mengeluarkan kata-kata apalagi. Kosakata di kepalanya seakan-akan terhapus dan terbawa lari ke dunia antah berantah yang tak mampu Cinta capai. Cinta masih bergumul dengan perasaannya dan berharap rasa keterpurukan itu tak semakin menghantuinya.
    “Kamu memang pernah menjadi segalanya bagi Jujur, tapi kamu tak berhak menyakiti dia lebih lama lagi!”
    “Aku menyakitinya?” suara Pengkhianat terdengar licik disertai dengan tawa sinis. “Aku hanya ingin merasakan pelukan hangat beberapa pria dan merasakan bibir manis pria-pria lainnya. Apa aku salah?”
    “Jangan jadikan dia korban! Dia sangat mencintaimu!”
    “Berarti aku hebat?”
    Tangan Cinta mengepal kuat, rasanya ia ingin melayangkan tinju bertubi-tubi ke wajah yang membuat dirinya naik pitam. Ia masih berusaha menahan emosinya, dan sesekali melirik ke arah Jujur. Pria itu terlihat lemah dan tak berdaya, wajahnya yang pucat mengintip sesekali dari balik jendela. Cinta begitu berjarak dengan Jujur, namun ia masih bisa merasakan apa yang dirasakan oleh jujur. Wanita ini, Cinta, tahu kalau Jujur sedang kebingungan setengah mati.
    “Kamu selalu hebat wanita jalang!” seru Cinta dengan desis yang lirih namun menghujam. “Tapi, kali ini kamu tidak akan kubiarkan menang!”
    “Tidak akan menang?!”
    Cinta menangguk pelan.
    “Kamu hanya dibodohi pria itu! Jujur tak pernah mencintaimu!”
    “Tidak masalah buatku.”
    “Tidak masalah?”
    “Asal dia bahagia. Cukup.”
    “Omong kosong!”
    “Aku tidak pernah bohong, Jujur memang selalu mencintaimu dan ia sangat sulit melupakanmu.”
    Pengkhianat tertawa pelan. “Sekali lagi... aku menang!”
    “Kamu belum tentu menang.” Cinta mengujar dengan pasti. “Waktu bisa mengubah banyak hal yang tak kautahu!”
    “Aku masih segalanya bagi Jujur! Kamu hanyalah persinggahan baginya! Pelarian! Haha!”
    “Kamu boleh tertawa di awal, tapi jangan salahkan aku kalau air matamu terjatuh di akhir!”
    Setiap frasa yang terucap dari bibir Cinta terdengar menohok. Kalimat itu membuat Pengkhianat terdiam, ia mencerna setiap kata yang Cinta ucapkan.
    “Tidak perlu kau sumpahi, Cinta.” tanggap Pengkhianat terdengar enteng. “Aku memang akan selalu tertawa!”
    “Aku tahu sebenarnya kau tidak bahagia. Kamu tertawa di atas tangis orang lain, kebahagiaan semu!”
    Tawa Pengkhianat berubah menjadi wajah yang masam. “Kamu tidak akan bahagia bersamanya, Cinta. Percayalah. Jujur hanya mencintai aku. Akulah yang selalu ada di pikiran Jujur.”
    “Untuk saat ini kau memegang kendali hatinya, tapi untuk saat-saat berikutnya ia akan sadar dan membuka matanya, kau bukan siapa-siapa lagi, wanita jalang!”
    “Kamu benar-benar mencintainya?”
    Nada tanya yang tiba-tiba menyambar cinta itu langsung mendiamkan pita suara Cinta. Ia bergumam dalam-dalam di hatinya.
    “Aku benar-benar mencintainta.”
    “Jika dia tak mencintaimu?”
    Tanpa pikir panjang, cinta bergumam. “Untuk alasan apapun, aku tetap mencintainya.”
    “Jika dia tak akan pernah mencintamu?”
    “Bagiku, melihat senyumnya sudah cukup.”
    “Cukupkah?’
    Cinta mengangguk, ia kembali menatap Jujur dengan tatapan penuh arti. Jujur menangkap sinar mata Cinta, dan tatapan itu membuka mata Jujur semakin lebar. Sudah beberapa menit Cinta berdebat dengan Pengkhianat, ia ingin semuanya sampai pada klimaks. Botol minum yang ada di jemari kirinya masih ia remas gemas, ia menatap mata Pengkhianat dengan tatapan sinis dan menyiramkan semua isi botol itu di tubuh Pengkhianat.
    “BUATMU!” tangan Cinta melibas wajah Pengkhianat dengan botol minum juga sedikit tinju yang lumayan. Cinta mengelak kencang.
    Langkah Cinta terasa ringan, ia menghampiri Jujur dengan wajah berseri-seri. Tangannya mengetuk pintu dan Jujur segera berlari menghampiri Cinta.
    Jujur segera memeluk Cinta lekat dan rapat. Ia mencium lembut kening Cinta.
    “Jadilah masa depanku.”

    with love :)
     
  18. corddeztroyer Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 26, 2010
    Messages:
    106
    Trophy Points:
    31
    Ratings:
    +58 / -0
    Inikah Rasanya Jarak?

    Jarak sejauh ini tak mampu membuat kita berbuat dan bergerak lebih banyak. Seakan-akan aku dan kamu tak punya ruang untuk saling bersentuhan juga saling menatap. Rasanya menyakitkan jika keterbatasanku dan keterbatasanmu menjadi penyebab kita tak banyak tahu dan tak banyak bertemu. Setiap hari, kita menahan rindu yang semakin menggebu dan tak mereda. Inikah cara cinta menyiksa? Melalui jarak ratusan kilometer?

    Aku menghela napas, membayangkan jika kamu bisa terus berada di sampingku dan merasakan yang juga kurasakan. Maka mungkin tak akan ada air mata ketika hanya tulisan dan suara yang bisa menguatkan kita. Maka tentu saja tak akan ada ucapan rindu berkali-kali yang terlontar dari bibir kita, ketika perasaan itu semakin membabibuta.

    Apakah yang kita pertahankan selama ini? Apakah yang kita andalkan sejauh ini? Sekuat apakah perasaan cinta kita? Menahan dan mempertahankan, dan kadangkala memicu pertengkaran. Tapi... itulah manisnya jarak, ia membuat kita saling menyadari, tak ada cinta tanpa luka, tak ada cinta tanpa rindu.

    Sayang, apalah arti ratusan kilometer jika kita masih mengeja nama yang sama? Apakah arti jauhnya jarak jika aku dan kamu masih sangat mungkin mempertahankan semuanya? Kita jarang saling bergenggaman tangan, jarang sekali berpelukan, dan sangat jarang saling berpandangan. Namun, percayalah sayang, tak saling bersentuhan bukan berarti cinta kita punya banyak kekurangan.

    Apa yang kucari dan apa yang kamu cari? Tak ada, kita masih meraba-raba apa itu cinta dan bagaimana kekuatan itu bisa membuat kita bertahan. Rasa cemburu, rasa ragu, dan rasa rindu sebenarnya adalah pemanis. Tidak ada hal yang sangat berat, jika kita melalui berdua melewatinya bersama.

    Selama bulan yang kita lihat masih sama, selama sinar matahari yang menyengat kulit kita masih sama hangatnya, maka pertemuanku dan kamu masih akan tetap terjadi.

    Jarak hanyalah sekadar angka, jika kita masih memperjuangkan cinta yang sama.

    with love :)
     
  19. corddeztroyer Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 26, 2010
    Messages:
    106
    Trophy Points:
    31
    Ratings:
    +58 / -0
    Darah dan pedang

    Sore itu aku berjalan galau di trotoar. Setelah menunggu jemputan tak kunjung datang. Kugerakkan kakiku melangkah ke rumah. 4,5 km jauhnya. Oke lah. Adrenalin dan otak depan ku tak bisa menahan amarah untuk tak melangkah, menyisakan kecemasan dan kesedihan. Biarlah yang menjemputku terbingung aku tak ada ditempat. Karena toh, dia juga salah.
    Sejalan, melewati jembatan. Kemudian melewati trotoar lagi. Melewati trotoar sama payahnya dengan menjadi pemuda tanpa harapan.
    “Trotoar PAYAH!” pekikku dalam hati.
    Beberapa orang di angkringan menoleh padaku. Aku lewat dengan acuh, tanpa memedulikan pandangan mereka. Tetap marah ditambah kacaunya trotoar di Indonesia. Bagaimana tidak? Trotoar tak bisa dilalui dengan nyaman. Naik turun-naik turun. Pejalan kaki pun capek melangkah di trotoar maka tak banyak pejalan kaki di negara ini!
    Lebih nyaman ku jalan di aspal jalan! Rata, biar mereka menabrakku! Dan lihat akibatnya! Setengah perjalanan, mungkin. Kakiku memar, pegal, entah kenapa. Mungkin karena enzim yang terjadi atau bereaksi dengan amarahku sehingga mempercepat keletihan atau apalah, aku tidak menggagasnya! Aku hanya berpikir cepat sampai rumah!
    Berbelok di kilometer 2,5. Mungkin. Trotoar terlihat di jajah oleh pohon pohon! Sebelahnya ada parit kecil mengalir air jernih, deras. Begitu bodoh. Pelebaran trotoar pun gak ada. Dibeberapa bagian sampai hilang trotoar terjajah diameter pohon yang menua.
    “Tahu tidak?” ucapku dengan nada tinggi. “Bodoh kau tumbuh disini! Menghalangi jalan! Bodoh lagi yang menanam kau! Menanam kok ditengah-tengah trotoar?!”
    Kupikir lagi, bodoh juga aku dari tadi mengata-ngatai trotoar! Berbicara dengan benda mati!
    Tak jauh lagi, terlihat, cekungan dulunya adalah sawah, terurug, kian meninggi siap untuk landasan bangaunan. Sial. Bodoh benar mereka! Buat apa aliran air yang terus deras mengalir bila tak digunakan untuk irigasi! Bodoh! Sekali lagi aku berpikir membodohkan yang telah ada.
    Kupikir juga aku terlalu bodoh untuk memikirkan mereka. Kupikirkan juga tak membuat perubahan juga! Kendali otak depan kurasa mulai menguat, mungkin karena kelelahanku. Rasa kembali muncul.
    Tapi toh, buat apa? Aku ssenang dengan kemarahan ini. Toh aku juga tak dijemput sesuai jam yang ada. Enggak ontime!
    Jalan lurus ini tak kunjung usai juga. Capek terhalangi pohon. Aku melangkah ke aspal jalan. Ku menengok ke sisi kanan jalan. Becak. Becak terparkir di trotoar – lagi lagi trotoar – didekatnya terlihat pemulung beristirahat, dan bercakap dengan tukang becak. Sepertinya akrab. Atau saking akrabnya pemandangan itu sehingga para orang lewat tak merasa ada hal yang salah di adegan ini? Ataukah pemandangan ini terlalu wajar di Indonesia?!
    Pemandangan apa? Wajar apa? Apakah wajar mereka tak punya hunian? Tak punya rumah? Dimana rumah mereka? Apakah pernah dipikir oleh pengguna jalan, sedetik saja lewat di depan pemulung itu atau tukagn becak? Dimana rumah mereka? Apakah layak huni atau tidak?
    Huh! Pemikiranku kian kacau, lelah, pegal marah bercampur. Tahu tidak! Menunggu hal yang paling tak kusuka! Dan aku menunggu sudah satu jam hingga aku memutuskan untuk berjalan kaki!
    200 meter dan perempatan. Sekali lagi kumengumpat! Bodoh! Serasa aku tahu segalanya saja! Tapi juga tak guna tak meluapkan perasaan ini! Perempatan. Perempatan mana di sini yang pas membentuk persilangan? Sungguh tak efisien! Mana jalan buatku berjalan, harus ku berbelok dulu untuk sampai kesebrang karena zebra cross nya cukup menjorok ke dalam? Tak urusan!
    Ku menyebrang, tak lewat zebra cross. 20-40 langkah hanya untuuk membelok dan melingkar? Useless buatku! Tahu?
    200 meter yang lain kulihat penjual wadah aneh, tabung dari anyaman, apa itu tak tau aku bahannya. Ku lihat satu penjual beberapa bulan yang lalu, kini menjadi tiga. Tahukah itu pertanda apa? Itu asal muasal pasar! Pasar ya pasar! Tempat tujuan spesifik. Wadah tabung aneh itu! Seorang dengan gigih di tempat itu tiap malam, lama-lama orang pada datang dan sekarang beberapa penjual mengikuti!
    Main ikut-ikutan? Katanya gak kreatif? Kalau enggak ikut-ikutan enggak dapet uang? Hey! Yang bilang enggak kreatif, emang kamu ngasih makan mereka!
    400 meter yang lain, pegal capek, dan terasa sudah cukup ada di hati. Namun masih menyerang terus, dan dendam malah muncul. Rasa yang telah muncul membuatku berharap seorang berbelas kasih untuk memberi tumpangan. Tapi tidak. Tidak mungkin. Untuk apa mereka memberi tumpangan. Sedangkan untuk naik sepeda motor sendiri saja tidak bisa!
    Tak ada manusia yang memedulikan sesamanya lagi. Dari semua spesies yang diciptakan Tuhan, manusia adalah yang paling tega “membunuh” sesamanya. Aku terus berjalan hingga mendekati rumah. Aku menelusup melewati gang kecil dan beberapa tanaman hijau ada di pinggir kiri-kanan jalan. Sesejuk apapun pemandangannya, aku tak terhibur sama sekali, hatiku masih saja panas.
    Aku membuka pintu rumah dan merebahkan tubuhku yang kelelahan, sementara ingatan tentang rumitnya kejadian masih menusuk-nusuk otakku. Aku muak dengan semuanya! Jengkel! Lelah! Dan bingung melampiaskan semuanya pada siapa.
    Belum beberapa menit aku terbaring, seseorang mengetuk pintu dengan kasar. Aku berlari kecil mendekati pintu, dan mendapati seseorang dengan wajah merah padam sedang menatapku.
    “Kemana saja? Saya tadi menjemputmu!” bentaknya kasar lalu mendorong tubuhku yang berdiri di dekat daun pintu.
    Ia memegang dadaku dengan kasar dan aku menyingkirkan tangan kanannya. “Aku menunggumu berjam-jam!”
    “Aku sibuk!”
    “Egois!”
    “Kamu tidak bisa menungguku!”
    “Aku menunggu!” yakinku dengan penuh. “Kamu yang tidak datang!”
    PLAK! Pipiku merah.
    “Habis kesabaranku!”
    “Ini bukan tamparan yang paling menyakitkan! Karena kamu selalu menamparku!”
    “Oh ya? Kamu menghitungnya?” desahnya sinis, menajamkan tatapannya ke arahku.
    Aku mengela napas dan tak ada air mata. Seperti biasa, aku selalu tahu bahwa semua akan berakhir dengan makian lalu tamparan.
    BUK! Kepalan tangannya menyentuh wajahku. Aku tersungkur di dekat tembok.
    Dengan usaha keras aku mencoba berdiri, jemariku menyentuh pedang warisan yang tertempel di dinding. Sudah lama tak digunakan. Bisikku dalam hati.
    Aku menarik pedang dengan kasar dan menebas dia dari arah belakang. Ia tak lagi berkata-kata, mulutnya yang cerewet langsung tertutup.
    Tawaku membahana ketika cipratan darah mengotori bajuku.
    Sempurna.

    with love :)
     
  20. corddeztroyer Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 26, 2010
    Messages:
    106
    Trophy Points:
    31
    Ratings:
    +58 / -0
    Kekasih 18 Jam

    Rintik-rintik hujan menyapa mendung yang tercipta, suara deras hujan belum terlalu terdengar. Suasana lalu-lintas ramai oleh kendaraan roda dua dan roda empat. Cleo dan Papa masih menikmati Have I told You Lately That I Love You yang memenuhi setiap sudut mobil. Suara Van Morrison terdengar indah dan hangat, seketika suasana terasa begitu damai.
    “Beneran kamu mau ke Yogyakarta tanggal 27 Desember?” Papa melajukan mobil dengan kecepatan sedang. “Emangnya kamu berani pergi sendirian naik bus?”
    Cleo mengangguk pelan. “Kesempatan perdana bisa naik bus sendirian. Selama ini keseringan naik pesawat, cuma 45 menit, enggak ada pengalaman sama sekali.”
    Papa tak mampu menahan tawa, pipinya tertarik hingga membentuk lengkung lebar di bibirnya. “Oke, di Cibinong memang banyak agen bus, mungkin kita coba yang itu dulu ya?”
    “Aku enggak tahu juga sih, kita coba yang di dekat sana aja, Pa.” ujar Cleo menunjuk ke salah satu sudut jalan.
    Tanpa pikir panjang, Papa langsung membelokkan stir. Cleo dan Papa menuruni mobil ketika kendaraan roda empat itu telah merapatkan tubuhnya pada tempat parkir. Mereka berjalan santai menuju agen bus. Tempat itu terlihat tak ramai, juga tak terlalu besar. Agen bus yang meletakkan beberapa plang di depannya terletak di teras rumah yang terbuka. Ada beberapa bangku dan satu meja yang dijaga oleh seorang wanita paruh baya berkacamata.
    “Yogyakarta untuk tanggal 27 Desember ada ya, Bu?” Papa membuka percakapan dengan ramah. Beliau duduk berhadapan dengan wanita itu. “Naik bus apa? Kalau bisa eksekutif ya.”
    Wanita itu mengangguk pelan. “Sebentar, Pak. Saya akan menanyakan tiket bus yang masih tersedia, berhubung minggu ini adalah minggu liburan; banyak orang yang berpergian.”
    Cleo yang sibuk dengan gadget-nya tak mau terlalu mendengar percakapan Papa dan wanita itu. Hujan mulai datang dengan intensitas sedang, sementara Cleo menggeser posisi duduknya agar tak terkena cipratan air. Beberapa menit ia menunggu, seorang pria datang tergesa-gesa memasuki tenmpat agen bus. Pria itu melipat payungnya dan segera duduk di samping Cleo. Dengan perasaan tak bersalah, ia segera memantik rokoknya dan menghisap batang rokok dalam-dalam. Asap diembuskan secara santai agar menghangatkan tubuhnya yang kedinginan karena hujan. Merasa terganggu dengan bau tak sedap, Cleo mulai milirik pada seseorang yang ada di sampingnya.
    Deg.
    Bibir Cleo terkunci rapat. Ia seperti melihat ksatria yang baru turun dari relief-relief candi. Pria berkacamata yang merokok tepat di sampingnya terlihat memesona. Entah kata-kata seperti apa yang mampu menggambarkan sosok indah yang kini berhadapan dengannya. Sekelebat bayangan maya tiba-tiba menusuk-nusuk otaknya. Cleo seperti kehilangan kesadaran. Wajah oriental, berhidung mancung, bibir tipis, serta dagu seperti lebah bergantung. Tuhan mendorong seorang malaikatnya masuk ke dalam dunia.
    Nampaknya, pria itu tak sadar sama sekali bahwa Cleo memerhatikan wajahnya yang manis dan rupawan. Orang tampan memang tak pernah salah, pada akhirnya Cleo tak jadi menegurnya. Cleo yang mulutnya menganga malah sibuk merapikan debar jantung yang berdegup cepat, seperti siap meledak di titik kulminasi. Ada sesuatu yang menjalar di dadanya, cepat sekali hingga Cleo tak mampu memprediksi apa yang terjadi pada tubuhnya.
    Tanpa memedulikan Cleo, pria bermata sipit itu membunuh batang rokok yang makin menciut. Ia meninggalkan tempat duduknya dan berjalan menuju meja agen bus. “Yogyakarta tanggal 27 Desember ada ya, Bu?”
    Cleo yang sejak tadi memasang telinga tambah tak karuan tingkahnya. Wanita penjaga agen bus memberi isyarat agar pria berkacama menunggu terlebih dahulu.
    Jadi. Pria itu. Juga ke Yogyakarta. Disimpulkan. Bahwa. Cleo. Satu bus. Dengan pria yang membuat debaran jantungnya berdetak membabi buta.
    “Pak, Mas...” ucap wanita penjaga agen bus sambil menatap Papa dan pria manis itu. “Bapak dapat bangku nomor 31 dan Mas dapat bangku nomor 32, keberangkatan bus pukul dua siang.”
    Pria itu tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Ia segera membeli tiket dan meninggalkan tempat agen bus. Ia mengembangkan payungnya dan berjalan tergesa-gesa meninggalkan sosok Cleo yang mematung. Ia tak percaya bahwa ada keajaiban yang secara tak sengaja ia dapatkan. Keajaiban memang seperti maling, ia seringkali datang tiba-tiba dan mengagetkan secara sederhana.
    Papa tersenyum menghampiri Cleo. Beliau mengulurkan tangannya dan memberikan tiket itu pada Cleo. Ada sesuatu yang aneh terpancar dari tatapan Cleo, wanita ini mematung dan membiarkan gadget yang digenggamnya terus menyala tanpa digunakan.
    “Ehem!” Papa sengaja terbatuk, ia berusaha menyadarkan Cleo dan membawa jiwanya kembali masuk ke tubuh.
    Cleo masih mematung dan terdiam.
    “Cleo! Cleo!” bentak Papa keras, namun beliau tetap tak berhasil menarik tubuh Cleo yang hampir menyentuh langit ketujuh.
    ***
    Papa memasukan koper besar Cleo ke bagasi, Cleo melambaikan tangan ke arah Papa. Ia sengaja masuk lebih awal ketika bus datang, karena hujan kembali membendung langit Bogor. Cleo duduk di bangku 31 dan menatap ke bangku sampingnya, bangku nomor 32. Tak ada pria oriental yang ia temui kemarin. Ia menyandarkan tubuhnya di bangku, helaan napasnya terdengar kecewa.
    Cleo melempar pandang ke arah mobil Papa yang sebentar lagi meninggalkan parkiran, dari sebuah gang sempit, seseorang dengan tas punggung berlari dengan tergesa-gesa. Senyum Cleo langsung melengkung sempurna. Ia langsung merapikan rambutnya juga bajunya, tangannya merogoh-rogoh tas untuk mencari cermin. Cleo bahkan tak sadar kalau tingkahnya sudah sangat berlebihan.
    Pria itu berjalan pelan-pelan di tengah bus, ia mencari-cari nomor sesuai nomor bangku yang tertera di tiketnya. Setelah mendapatkan bangku yang dimaksud, dia meletakkan barang di tempat yang telah tersedia dan duduk di samping Cleo.
    Cleo terdiam. Tidak! Kali ini ia tak boleh terlihat bodoh dan salah tingkah. Cleo berusaha bertindak seperti biasa, namun rasanya berat. Akan sulit bertindak seperti biasa ketika wanita duduk berdekatan dengan pria yang membuat debaran jantungnya berdetak tak karuan.
    Bus berjalan di tengah hujan, melenggang dengan santai membelah Jalan Raya Bogor. Tak ada percakapan antara pria itu dan Cleo. Ia lebih sering mengutak-atik handphone-nya sementara Cleo sibuk menatap jalanan basah yang tersentuh derasnya hujan. Lengan mereka secara tak sengaja memang bertemu, dan itu embuat Cleo seperti tersengat listrik. Napasnya tercekat dan bibirnya langsung terkunci rapat.
    Lama sekali mereka terdiam, hingga siang berganti petang, dan senja kemerahan berganti malam menghitam. Bus berjalan dengan kecepatan sedang, sesekali Cleo memang mencuri pandang ke arah pria itu, namun ia tak berani menatapnya lebih dalam dan lebih lama. Bagi sebagian orang, menatap sedetik pun sudah cukup berarti daripada tak menatap sama sekali.
    Semua penumpang terlihat tertidur pulas. Pukul duabelas malam bergulir dengan cepat, tak ada musik dan putaran lagu yang terdengar. Hanya beberapa suara dengkuran penumpang pria yang berdengung di telinga Cleo, juga suara air conditioner yang seketika terdengar bising. Cleo mencapai titik kebosanan, ia tak lagi sering-sering menatap ke arah pria itu. Alhasil, Cleo malah menikmati jalanan yang mulai terlihat lengang di luar bus. Ia menatap ke jendela dengan tatapan bosan. Dibenarkannya lagi posisi duduknya, ia mengembuskan napas.
    Tak sengaja, Cleo iseng menatap pria itu lagi. Ternyata, dia sudah tertidur pulas. Bibir tipisnya mengatup. Rambut cepaknya terlihat berantakan namun tak menghancurkan sisi ketampanannya. Hidungnya mancung. Kacamatanya juga tak di lepas, menyebabkan wajah Cleo yang sibuk memerhatikan pria itu langsung terpancar di lensanya. Jaket yang pria itu gunakan terlihat hangat. Lehernya yang jenjang tertutup oleh kerah jaket. Cleo seperti melihat keindahan lain di dalam bus ini. Rasa bosannya hilang seketika. Sempurna.
    Ada pikiran iseng yang bergelut dalam otaknya. Berhubung pria itu sudah tenggelam dalam dunia mimpi, Cleo ingin mencari kesempatan untuk bersandar di bahunya, seakan-akan Cleo tertidur pulas. Ia tertawa puas. Diluncurkannya keberanian sekuat hati, ia pura-pura tidur dan bersandar di bahu pria itu.
    Hangat. Dan, nyatanya pria itu juga tak sadar kalau Cleo sedang bersandar di bahunya. Tatapan Cleo kembali menatap jendela, ia tersenyum malu-malu tanpa sebab. Ada kehangatan yang berbeda di bahu pria itu. Cleo memindahkan pandangannya, ia sangat dekat dengan leher jenjang pria itu. Ia perhatikan sangat dalam dan semakin dalam, tiba-tiba jakun pria itu terlihat bergerak seperti menelan sesuatu.
    ANJRIT! INI ORANG SEJAK TADI ENGGAK TIDUR? Teriak Cleo dalam hati. Ia tersentak dan bergeser memindahkan kepalanya dari bahu pria itu.
    Cleo kembali mengumpulkan keberanian, otaknya sedang meramu kosakata. “Sejak tadi kamu enggak tidur?”
    Tak ada jawaban, ia hanya terdiam, ia juga tak membuka matanya. Pria itu mengarahkan tangannya menyentuh lembut kepala Cleo, gerakannya membuat Cleo kaget. Ia malah mengarahkan kepala Cleo mendarat sempurna di bahunya.
    “Aku kira kamu tidur beneran, ternyata pura-pura.” bisikan pria itu terdengar hangat dan ramah. Matanya masih tertutup.
    Tanpa pikir panjang, Cleo lancang memasukkan lengannya ke lengan pria itu. “Aku kira kamu udah tidur, aku numpang mencari bantal, ketemunya ya di bahumu.”
    Pria itu berdesis. Ia mengulum bibirnya dan tertawa kecil. “Tadi yang mengantar Papamu ya?”
    “Iya.” jawab Cleo dengan cepat. “Kok tahu?”
    “Kelihatan aja, mukanya mirip.”
    Cleo tertawa dengan suara kecil. Lengan mereka yang saling bertemu membuat Cleo merasa hangat.
    “Nama kamu siapa?” bisik pria itu lembut, seperti menggelitik telinga Cleo.
    Bisikkan itu membuat Cleo jadi merinding. “Cleo, kalau kamu?”
    “Raditya.” pria itu membenarkan posisi duduknya, menatap Cleo dengan tatapan mendalam. “Yogyakarta-nya di mana?”
    “Daerah selatan, kalau kamu?”
    “Jombor, masih di utara.”
    Tak ada kata-kata, mereka menikmati tatapan mata yang saling mengunci. Jarak wajah mereka hanya beberapa senti. Wajah Raditya terlihat sangat tampan, sinar lampu jalanan yang menelusup melalui jendela memancarkan kesan hangat.
    Pria itu mendekat. Bibir Cleo dan Raditya bertemu. Beberapa detik kejadian romantis itu tercipta, mereka langsung saling melepaskan.
    “Sorry, kebawa situasi. Soalnya di sini dingin banget.” ucap Raditya canggung, ia merasa bersalah.
    Cleo tertawa sebentar, dan menatap wajah Raditya dengan tatapan berarti. Pelan-pelan ia menyentuh bibir Raditya dengan lembut. Cleo memagut dan sedikit mengigit, hingga Raditya mendesah pelan.
    “Bibir kamu manis.” bisik Cleo pelan di tengah-tengah pagutan bibir mereka yang bersentuhan.
    “Karena filter rokok, Cleo.” jawab Raditya masih menikmati detik-detik menyenangkan itu.
    Gantian Raditya yang mengigit bibirnya, Cleo mencari jalan pintas dengan mengarahkan lidahnya menyentuh lidah Raditya. Mereka sama-sama tenggelam dan tak sadar pada lingkungan sekitar, untung saja para penumpang sudah tertidur pulas.
    Beberapa menit bibir mereka bertemu, Cleo dan Raditya saling melepaskan. Mereka saling menghangatkan di tengah dinginnya embusan air conditioner.
    “Kamu punya pacar?” tanya Raditya membelai lembut rambut Cleo.
    Cleo mengangguk malu-malu. “Punya, kalau kamu?”
    “Punya juga, dia di Yogya.”
    Cleo menatap lurus-lurus ke arah Raditya. “Apa kata mereka nanti kalau tahu kita berbuat gini?”
    Raditya tertawa pelan, ia mengecup bibir Cleo tanpa basa-basi. “Makanya, kamu enggak perlu bilang ke pacarmu, aku juga begitu.”
    Dalam gelapnya malam, mereka terantuk oleh rasa lelah. Sama-sama tertidur dalam pelukan hangat. Hangat sekali, dekat sekali, sampai-sampai mereka tak sadar bahwa perkenalan mereka masih terlalu singkat dan terlalu cepat untuk melakukan sentuhan fisik. Cleo dan Raditya baru terbangun ketika matahari masih mengintip pelan-pelan. Mereka menikmati matahari terbit berdua dalam keadaan mengantuk dan rambut yang berantakan.
    Tak terasa sebentar lagi mereka sampai di tempat tujuan. Yogyakarta.
    Jombor berada di utara Yogyakarta, itu berarti Raditya lebih dulu turun daripada Cleo. Helaan napas mereka sana-sama berat, ketika Jombor terlihat Raditya langsung melepaskan peluknya. Ada perasaan berat yang mengganjal hatinya, ia segera mengambil tas dan bersiap-siap meninggalkan Cleo.
    “Duluan ya, Cleo.” ujar Raditya dengan nada tak ikhlas, ia menuruni bus dan mencari-cari bayangan Cleo dari jendela.
    Cleo tersenyum getir ketika menatap Raditya yang semakin menjauh. Tak menitip nomor handphone juga identitas diri.
    Ia tak ingin menghapus bekas bibir Raditya di bibirnya.

    with love :)
     
  21. corddeztroyer Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 26, 2010
    Messages:
    106
    Trophy Points:
    31
    Ratings:
    +58 / -0
    Apa Kabar Kamu di Ujung Norfolk County?

    ‎"Pakai ilmu pindah-pindahnya Sentot Ali Basya. Yang konon bisa ke Mekah dalam sekejap. Pelajarilah ilmu itu. Entah apapun namanya. Biar kita bisa segera bertemu" - Kamu

    Ini tidak pernah dialamatkan untuk kamu. Aku hanya ingin menulis sesuatu yang mungkin saja bisa menerjemahkan perasaan yang selalu menggebu-gebu. Bukan... ini bukan surat cinta, hanya beberapa perasaan kecil sebagai lambang kekagumanku terhadapmu.

    Berapa hari kita kenalan? Cukup lama. Sampai aku lupa tanggalnya dan lupa harinya. Tapi, ada satu hal yang tidak kulupakan, peristiwa yang tejadi di dalamnya. Manis. Sulit untuk digubris.

    Aku seperti seseorang yang tersesat dan kebingungan mencari jalan pulang. Lalu, sosokmu datang dengan cahaya benderang, mengantarkanku menuju cahaya terang. Aku belum pernah membayangkan seberapa hangat sinar matamu dan seberapa hangatnya genggaman tanganmu. Bagiku tak masalah tidak mengetahui dua hal itu, karena kalimat-kalimat dalam setiap paragraf yang kau ciptakan sudah sangat hangat memelukku.

    Jarak kita jauh, kamu di ujung negara sana dan aku di ujung negara sini. Rasanya aneh memang jika membicarakan jarak yang terbentang, tidak adil jika jarak menjadikan kita seakan-akan tak kenal. Lagipula, ada waktunya kamu akan pulang ke Indonesia, dan menatap di kota kelahiranmu, Yogyakarta.

    Oh iya, aku suka setiap kata yang kautuliskan dimanapun. Kadang, aku sering termenung beberapa detik dan dibikin melayang oleh kata-katamu. Sederhana namun penuh magis, sulit dijelaskan, tapi aku mengagumimu. Aku menyediakan 24 jam milikku untuk memerhatikan gerak-gerikmu yang memang tak tersentuh jemari.

    Diam-diam, aku melawan pergolakan hati, kamu yang jauh di sana tak mungkin tersiksa seperti ini. Perasaan kita pasti berbeda, dan semua kebersamaan kita pasti kauanggap sebagai teman biasa. Iya, lebih baik menganggap tak ada apa-apa daripada mengarahkan perasaan ini ke arah yang lebih rumit.

    Oke, mari memutar otak sebentar, ingat ketika kata “hey” yang begitu sulit terseret dari jemariku langsung menodongmu tanpa alasan yang jelas? Mungkin, kamu harus tahu debaran jantungku yang memburu ketika melakukan hal itu. Aku berjuang keras hanya untuk mengetahui lebih lanjut tentang sosokmu. Aku terlalu penasaran dengan segala tingkah laku dan karaktermu.

    Rasa penasaran itu semakin membabibuta. Memang kamu tidak perlu tahu, bahwa aku menekan tulisan older entries hingga halaman terakhir blog-mu hanya untuk menyelami semua isi pikiranmu. Tapi, aku tetap tak berhasil. Kamu terlalu rumit bagiku, kamu terlalu sulit dibaca oleh akal sehatku.

    Ini bukan retorika, atau gombalan tengah malam. Aku juga tak ingin mengganggumu dengan perasaan yang selama ini menggebu-gebu di hatiku. Aku tak akan pernah rela melihatmu tersiksa karena perasaan yang kupunya.

    Malam ini, bulannya enggan menunjukkan seluruh tubuhnya. Bintang juga sedang malas keluar kandang, ia memilih berselimut dalam peraduannya, menunggu malam lebih pekat dari biasanya. Di sini dingin, di sana pasti sudah pagi hari ya? Matahari di Brookline, Massachusetts pasti sedang hangat-hangatnya menciumi tubuhmu dengan gemas. Apa ya rasanya bisa memegangi rambutmu yang ikal itu? Bagaimana ya rasanya mengenggam jemarimu yang selalu menghasilkan kata-kata indah itu? Semanis apakah suara medokmu yang selalu kudengar dalam musikalisasi puisi itu?

    Gun n Roses, kamu “tersindir” kalau aku tidak tahu groupband itu, kamu bilang separuh jiwamu sudah melekat kuat dengan pemain musik slow rock itu. Jika mereka, para pria bisa membuat hatimu melekat, apakah hatimu tak pernah terpikirkan untuk melekat pada wanita?

    Pernah kucoba untuk menciptakan percakapan, saat aku bertanya perbedaan Imam Bonjol dan Sentot Ali Basya. Lucunya, kamu menjawab pertanyaan itu dengan serius dan percakapan tersebut mengalir dan berputar dalam topik yang sama. Sulit membawa dirimu bergerak lebih jauh ke percakapan yang mungkin lebih menarik dan lebih menyentuh.

    Aku belum tahu kamu milik siapa, tapi sepertinya kamu memang sudah dimiliki oleh seseorang. Dari tulisanmu, dari kata-katamu, tersirat makna kalau kamu seringkali merindukan seseorang. Aku menghela napas. Bagiku tak masalah, kamu milik siapa dan sudah menjadi kecintaan siapa, yang paling penting aku menyukai sosokmu, dan aku tak berpikir untuk melanjutkan perasaanku ke jenjang yang lebih rumit atau malah bikin sakit.

    Namamu ada di kitab Perjanjian Lama, kitab 28 yang diapit oleh Daniel dan Yoel. Untuk saat-saat ini, namamu menjadi penghangat hati saya yang dingin. Beberapa minggu ini tulisanmu menjadi sebab saya tersenyum dan meringis tanpa alasan yang jelas.

    Tetaplah misterius seperti kita pertama kali saling tahu, karena hal itu bisa membuatku termangu ketika kita bertemu. Teruslah sehangat tulisanmu, aku ingin mencair dari rasa beku. Lihat mataku. Baca isi otakku. Kamu berotasi di situ.

    Dari pemujamu
    yang selalu ingin berkata "Aku ingin lebih dari sekedar pengagummu"

    with love :)
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.