1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Ashrugun

Discussion in 'Fiction' started by DeadlyEnd, Jan 9, 2012.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. DeadlyEnd Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Dec 5, 2008
    Messages:
    143
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +22 / -0
    Oke...
    Sudah lama saya tidak kesini karena banyak hal...
    Tapi mumpung ada cerpen beres, taruh dulu...

    Update: Cerpen keempat ditambahkan...

    Hari masih cerah dengan matahari nyaris tepat di atas kepala ketika Kudungga masuk ke dalam hutan. Beliau datang bersama dengan beberapa penjaga, namun ketika beliau masuk, beliau sendirian.

    Tubuhnya agak tambun, tapi bentuk mukanya menunjukkan bahwa beliau bukan orang yang bisa dikalahkan dengan sekedar pelototan, bagaimanapun juga beliau adalah raja yang memimpin sebuah negara.

    Jalan setapak disusurinya dengan tenang dan ketenangan yang beliau cari. Beberapa saat yang lalu beliau baru saja mengadakan persembahan untuk dewata, melambangkan masuknya agama Hindu dalam sendi-sendi kehidupan negaranya.

    Meskipun upacara berlangsung sukses, beliau cemas. Banyak pertanyaan yang tidak bisa beliau lepaskan dari dalam kepalanya. Beliau merasa jika tidak melakukan perjalanan ini maka kemampuan memimpin beliau akan terganggu.

    India, nama daratan tempat negara agama itu berasal, di dengarnya menaklukan berbagai wilayah di sekitar Kutai dan menguras harta benda negara-negara yang mereka kuasai. Hanya satu cara mencegah itu agar tidak terjadi, Kutai masuk agama Hindu.

    Beliau sebenarnya tidak rugi apa-apa. Kasta Ksatria adalah kedudukan barunya di tatanan agama Hindu dan hanya berada di bawah kasta Brahma, para pendeta dari India yang biasanya tidak memiliki andil apa-apa tentang masalah negara kecuali upacara keagamaan.

    Apa yang mungkin dipikirkan sang Raja? Apa yang menyebabkannya begitu cemas? Raut beliau sendiri tidak menunjukkan apa yang dipikirkan olehnya, yang jelas beliau terus berjalan dengan pasti.

    Semakin dalam beliau masuk ke dalam hutan, semakin redup cahaya matahari, semakin keras juga gema suara para penghuni hutan. Memberi semacam ketenangan tersendiri bahwa meskipun tidak terlihat siapapun, beliau tidak sendirian.

    Yang beliau cari memang tidak terlihat siapapun.

    Tidak lama kemudian beliau telah tiba di depan sebuah pohon besar. Jika saja tidak ada hiasan berupa beberapa tali besar dari serabut kelapa yang melingkar dan beberapa hasil kerajian dan alas di depannya, pohon itu tidak akan bisa dibedakan dari pohon lain.

    Namun nilai dari pohon ini hingga sebelum upacara yang diadakan Kudungga adalah tidak terhingga. Arwah leluhur dipercaya menghuni pepohonan besar ini oleh rakyat negara ini, setidaknya sebelum mereka menganut ajaran Hindu.

    Lalu apa yang seorang raja seperti Kudungga lakukan di sini, ketika beliau memutuskan untuk membuang kepercayaan lamanya?

    Kudungga tidak berbicara, beliau hanya menggerakkan kedua tangannya dan merapatkannya. Beliau lalu menutup matanya dan menundukkan kepala. Semua dilakukan dalam diam hingga hanya samar-samar gema suara binatang dan suara semilir angin yang terdengar.

    “Disana rupanya kau.”

    Suara seorang perempuan tiba-tiba terdengar tidak jauh di belakang Kudungga. Seorang perempuan kini sedang bersandar di sebuah pohon besar lain namun pohon itu tidak memiliki penanda apapun.

    Tubuhnya kurus, berbeda dari kebanyakan perempuan yang berusaha mempergemuk tubuh mereka untuk menunjukkan kekayaan mereka. Raut mukanya tampak tidak senang, tapi memang itu yang selalu dia pasang, dan dia tetap terlihat cantik meski dengan raut itu.

    “Oh, Koh. Maaf aku tidak melihatmu.”

    Kudungga segera membuka matanya dan menjawab. Beliau tidak melihat ke arah Koh, hanya sedikit melirik sebelum kembali melihat pohon besar dihadapannya.

    “Jangan bilang seperti itu, kau tahu hanya kau disini yang bisa melihatku.”

    Perempuan bernama Koh itu memang bukan manusia, dia adalah Ashurugun. Ashurugun mungkin dahulu manusia karena wujudnya yang tidak berbeda dari manusia, namun mereka tidak bisa dilihat sembarang orang sebagai kompensasi atas berbagai kekuatan mereka.

    Koh sendiri sudah lupa, apakah dulu dia adalah manusia atau terlahir sebagai Ashurugun. Baginya yang terpenting adalah terus hidup dengan segala kelebihan dan kekurangannya saat ini.

    Mendengar jawab Koh, Kudungga hanya tertawa kecil dan meminta maaf.

    “Jadi, apa yang kau lakukan disini?”

    Posisi Kudungga tadi biasa dilakukan untuk berdoa di ajaran lama. Tapi mengapa beliau berdoa menggunakan ajaran lama ketika beliau baru saja menganut ajaran baru? Ataukah beliau meminta restu untuk menganut ajaran baru?

    Koh sadar bahwa alasan Kudungga berada disini bisa menjadi sebuah penghinaan dan tindakannya bisa menghina bahkan semua hal yang ada di negara ini. Dia memikirkannya sambil menanyakan pertanyaan itu pada Kudungga.

    “Aku hanya mengucapkan selamat tinggal.”

    Jawab Kudungga sambil memegang batang pohon di depannya. Angin semilir berhembus dari belakang pohon melambaikan kain pakaian Kudungga dan selendang yang terikat di pinggang Koh.

    “Selamat beberapa generasi, kami selalu menumpahkan kekecewaan, amarah, dan harapan kami pada pohon-pohon ini. Akan sangat tidak sopan jika kami meninggalkannya begitu saja tanpa mengatakan selamat tinggal.”

    Layaknya teman yang selalu bisa diacak bicara tentang keluh kesah, pepohonan ini sudah menemani rakyat negeri ini menjalani berbagai macam situasi, dari yang paling buruk hingga paling jaya.

    “Jadi hanya karena itu saja kau datang kesini?”

    Koh menghela nafas. Kudungga memang selalu begitu, cukup sensitif pada hal-hal yang bersifat simbolis seperti ini. Tapi sebagai raja yang sampai beberapa saat lalu memiliki andil dalam urusan keagamaan, sifat ini memang pantas dan harus dimiliki.

    “Tidak hanya itu saja Koh, aku mencarimu.”

    Koh tidak berkomentar. Dia memang menghilang dari istana sejak beberapa saat sebelum Kudungga memutuskan akan mengadakan upacara penerimaan ajaran Hindu.

    “Jadi begitu rupanya.” Koh menghela nafasnya sebelum melanjutkan, “Apa yang kau cari dariku?”

    Koh menatap Kudungga yang tidak bergerak sedikitpun. Tubuh beliau terus menatap ke arah pohon besar dihadapannya.

    “Aku butuh nasehatmu.”

    Kudungga memang mencari hal yang tidak bisa dilihat kebanyakan orang, tapi bukan arwah leluhur, bukan juga arwah ayahnya yang konon bersemayam di pohon tepat di depan beliau ini. Tapi Koh yang memang hanya bisa dilihat oleh Kudungga seorang.

    Koh adalah sahabat, guru, dan penasehat Kudungga. Ketika beliau tidak tahu apa yang sebaiknya beliau lakukan, beliau bertanya pada Koh. Koh yang selalu berada di sampingnya menghadapi berbagai hal dan membantu beliau dalam berbagai kesempatan.

    Kini, yang beliau hadapi sangat berat. Beliau pada dasarnya tidak begitu mempercayai pemikiran bahwa arwah leluhur yang berpulang akan masuk ke dalam batu, pohon, atau medium lainnya. Utamanya karena beliau bisa melihat Koh tapi tidak bisa melihat yang lain.

    “Tapi yang kukhawatirkan bukan itu Koh, yang kukhawatirkan adalah inti ajarannya.”

    Untuk selalu hidup bersama alam, mempunyai hubungan yang erat dengan alam, menghormati alam, dan hidup harmonis dengan alam. Di ajaran lama, semua dikaitkan dengan arwah para leluhur. Namun di ajaran baru?

    Kudungga khawatir jika ajaran hidup akhirnya diterima sepenuhnya dalam sendi-sendi kehidupan rakyat negaranya kini, maka inti ajaran itu akan dilupakan atau lebih parah, akan dianggap tabu, salah, dan segera dilanggar.

    “Kau pernah menjelajah jauh ke dalam hutan, melampaui batas-batas yang ayahku saja tidak pernah kembali setelah mencapai batas-batas itu. Lalu yang kau berikan adalah laporan bagaimana semua yang hidup di dalamnya hidup sesuai ajaran itu.”

    Kudungga khawatir, apakah rakyatnya akan melakukan apa yang beliau takutkan? Jika iya, lalu apa konsekuensi yang akan mereka tanggung ketika melanggarnya? Jika tidak, lalu apa manfaat yang mungkin mereka dapatkan? Tapi, apakah pemikiran beliau ini benar?

    Terdengar helaan nafas Koh, dilanjutkan dengan keheningan, tapi tidak ada seorangpun yang beranjak. Koh lalu mulai membuka mulutnya untuk berbicara.

    “Seorang raja harus yakin dengan pilihannya. Raja adalah standar kebenaran dan dia harus bisa memberika jaminan akan hal itu dengan bersikap tegas. Namun raja tetap harus memikirkan rakyatnya, karena hanya tiran yang memimpin tanpa berpikir.”

    Deskripsi yang hampir selalu Kudungga dengar dari Koh ketika beliau memimpin, deskripsi yang ingin beliau raih. Apakah beliau sudah mencapainya? Beliau percaya hanya rakyat yang tahu, bukan beliau sendiri atau orang-orang dekat beliau.

    “Perubahan itu menyeramkan, Kudungga. Tapi seseorang harus menentukan apakah dia akan berubah atau tidak dan untuk sebuah negara tugas itu diemban oleh raja dan ditanggung oleh rakyat. Pertama lihat sisi positif dan negatif dari kedua hal, setelah itu tentukan.”

    Apakah ajaran lama lebih baik dari ajaran yang baru? Apakah keselamatan negara dan rakyatnya terjamin oleh ajaran lama atau ajaran baru? Kudungga sudah melakukannya, bagaimanapun juga beliau adalah murid dari Koh dan mengerti cara pandang Koh.

    “Terakhir, jika kau tahu akan hal yang mungkin membahayakan rakyatmu, apapun pilihanmu, tinggalkanlah petuahmu. Kau adalah raja, ucapanmu adalah mutlak dan tuah serta titahmu adalah prioritas utama di negara ini.”

    Koh menatap punggung Kudungga karena beliau tidak pernah berbalik. Mungkin tidak disengaja, tetapi keduanya sama tersenyum dan mendengus begitu Koh menyelesaikan kalimatnya itu, tapi Koh belum selesai.

    “Perubahan itu menyeramkan, Kudungga. Tapi kita tidak akan tahu kecuali kita mencoba. Terkadang, pilihan kita salah, tapi setidaknya kita bisa belajar dari kesalahan itu dan meninggalkan pesan bagi generasi mendatang.”

    Koh berbalik, menyelesaikan rangkaian kalimatnya. Rangkaian kalimat inilah yang ditunggu oleh Kudungga dan kini, gilirang beliau menatap punggung Koh yang mengarah keluar hutan.

    “Koh, kau ingat pertama kali kita bertemu?”

    “Ya, kau kira-kira setinggi pinggangku.”

    “Kau ingat pendapatku tentang dirimu?”

    Begitu Koh menyebutkan ‘muda, pemarah, dan menyebalkan’, mereka berdua tertawa kecil. Sudah banyak hal yang berubah sejak saat itu, tapi deskripsi Koh tetap sama.

    “Sudah lama sejak saat itu.”

    “Kalau informasi tentang waktu yang kudapat dari sebuah peradaban nun-jauh disana tepat, kau seharusnya berusia tujuh tahun waktu itu.”

    “Terima kasih, untuk selama ini.”

    “Kalau informasi yang sama itu tepat, kau seharusnya 31 tahun sekarang.”

    Kudungga ingat baju yang dipakai Koh ketika dia pertama kali tiba, baju yang sama yang dikenakannya saat ini. Itu hanya bisa berarti satu hal.

    “Jaga dirimu baik-baik Kudungga. Jangan biarkan apapun membuat idealismemu goyah, jangan biarkan apapun mengambil keputusan ketika idealismemu goyah.”

    Kudungga berusaha menahan air mata yang ingin menetes keluar dari sudut matanya. Memorinya segera mengingaat semua hal yang dia lakukan selama ini bersama Koh, semua hal yang mereka berdua lakukan demi negara ini.

    “Iya. Kau juga Koh!”

    Koh hanya melambaikan jari telunjuk dan tengah dari tangan kanannya tanpa sekalipun berbalik. Dia berjalan menembus siraman cahaya matahari dan menghilang dari pandangan, meninggalkan sebuah negara yang dia bangun untuk menyongsong masa depannya sendiri.

    Cerpen dua: Coklat
    Cerpen tiga: Teman
    Cerpen empat: Rekan
     
    Last edited: Mar 21, 2012
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. DeadlyEnd Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Dec 5, 2008
    Messages:
    143
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +22 / -0
    Ashurugun - Coklat

    Cerpen yang sejujurnya menurut saya sendiri aneh karena tidak memiliki fokus yang jelas pada akhirnya dan terlalu banyak bicara untuk sebuah cerpan, tapi settingnya pas dengan bulan ini jadi saya taruh saya disini dan selamat menikmati...

    Namanya Handoko Wijoyo, seorang laki-laki berusia 17 tahun. Dia sedang memakai celemek dan berdiri dengan gagah, di dapur, mengocok-ocok sebuah adonan dengan penuh semangat.

    Disampingnya adalah Koh, seorang Ashurugun, makhluk seperti manusia yang tidak bisa dilihat oleh kebanyakan orang, sebagai gantinya dia memiliki kekuatan yang luar biasa, namun saat ini tidak ada kemampuannya yang berpengaruh.

    Mereka sedang membuat coklat makanya kekuatan Koh tidak berguna sama sekali disini. Dia mungkin bisa mengocok sangat cepat tapi malah akan menghancurkan adonan yang sedang dia kocok.

    Dia sebenarnya tidak heran kenapa Jaya, nama panggilan Handoko, begitu bersemangat membuat coklat, namun dia segera teringat bahwa Jaya menyukai seseorang dan sekarang mendekati hari Valentine.

    “Bukannya valentine itu perempuan yang memberikan coklat?”

    “Tidak harus begitu...”

    Koh yang awalnya tidak berminat terus dibujuk oleh Jaya untuk membantunya membuat coklat, alasannya karena dia tidak ingin sendirian membuat coklat.

    “Bukannya kalau bersamaku, kau akan tetap terlihat sendirian?” Namun karena dia sendiri tidak memiliki kerjaan, dia memutuskan untuk ikut membuat coklat.

    Bagi mereka berdua, membuat coklat sendiri tergolong hal yang baru. Koh mungkin terlihat seperti perempuan di usia 17 tahun, tapi dia sebenarnya sudah sangat tua, meskipun begitu ini pertama kalinya dia membuat coklat dengan peralatan modern.

    “Aku tidak mengerti...” Koh berbicara sambil mengocok adonan coklatnya, “Kau merayakan valentine?”

    “Memangnya kenapa?”

    “Tidak... Aku hanya akhir-akhir ini sering dengar tentang orang yang tidak senang dengan perayaan valentine.”

    “Memangnya kenapa?”

    “Tidak... Aku hanya berpikir mungkin kau sepaham dengan orang-orang itu.”

    “Memangnya kenapa?”

    Koh terdiam sejenak, “Jangan meniru tape recorder rusak begitu.”

    Jaya hanya tertawa sambil tetap mengocok adonannya, “Lalu aku harus menjawab apa? Dan apa hubungannya dengan coklat ini?”

    “Yah, kalau kau setuju dengan pendapat orang-orang yang mengatakan valentine itu dilarang, katakan saja iya, tapi kalau kau menjawab iya berarti ada yang salah dengan otakmu saat ini.”

    “Dari perbuatanku saat ini, jelaskan pilihanku yang mana?”

    “Yah, katakan saja tidak.”

    “Tapi kau bertanya kenapa...”

    “Tidak.”

    “Baiklah... Jawabanku tidak.”

    “Tapi kau mengerti ‘kan sejarah dibalik valentine?”

    “Teori konspirasi toko coklat agar orang-orang membeli coklat? Itu sama saja seperti mengatakan Idul Fitri adalah konspirasi toko baju agar orang-orang membeli baju.”

    “Bagaimana dengan teori mengenai sejarah valentine?”

    “Dimana orang-orang menggunakan valentine untuk melakukan tindakan P*rn* seharian penuh? Aku tahu teorinya.”

    “Lalu kau tetap melakukannya dengan muka polos? Atau jangan-jangan itu tujuanmu?”

    “Tentu saja tidak!” Jaya berhenti mengaduk adonan coklatnya sebentar karena takut meluber karena tenaganya untuk membantah Koh.

    Koh sementara itu tidak mengatakan apa-apa sambil menunggu Jaya tenang.

    Sambil kembali mengocok, Jaya kembali berbicara, “Sejarah kelam dan lain sebagainya, pada akhirnya hanyalah sejarah. Mengungkit-ungkit hal itu dan mengatakannya sebagai sebuah alasan absolut untuk meniadakan valentine adalah konyol. Ambil kehidupan sebagai contoh.”

    Koh menatap Jaya yang tidak langsung melanjutkan dengan heran.

    “Kenapa ada yang namanya kehidupan? Bukankah kalau hidup itu sendiri tidak ada maka tidak ada yang namanya kesengsaraan? Bukankah sebelum kehidupan jiwa kita berada di alam sana, hidup tanpa ujian dan cobaan?”

    Jaya tetap mengocok adonannya dengan tenang sambil terus berbicara.

    “Orang mungkin berpendapat, kita hidup agar kita berusaha dan berdoa? Lalu kenapa kita harus berusaha? Karena itu kewajiban kita sebagai makhluk hidup? Tapi bukankah kalau kehidupan itu sendiri tidak ada maka kewajiban itu sendiri tidak akan jatuh pada kita?

    Kalau hanya berdoa, bukankah sebelum kita disini kita selalu berdoa? Untuk mendapatkan kebahagiaan yang berada di ujung usaha? Kalau kewajiban itu sendiri tidak ada, hak kita untuk kebahagiaan itu juga tidak ada.

    Tapi apa yang membuktikan bahwa kebahagiaan itu sendiri hanyalah alasan yang dibuat-buat agar kita berusaha? Apa yang tidak menyangkal bahwa kebahagiaan itu mungkin milik kita, tapi kita diberi hidup dan kebahagiaan itu diambil dan kita diwajibkan berusaha?

    Bagaimana kalau misalnya skema ini adalah prinsip dasar kehidupan kita? Mengambil kebahagiaan agar orang lain bekerja untuk tujuan yang kita ingin capai lalu mengembalikan apa yang pada dasarnya milik mereka tapi kita ambil, atau pinjam, dengan semena-mena?”

    “Aku tidak yakin kalau aku mengerti.”

    “Sama.” Jaya menjawab dengan senyum sementara Koh hanya menatapnya dengan aneh, “Tapi semua yang kukeluarkan itu intinya adalah pesimisme mengenai arti kehidupan, bahwa kita hidup dan berjuang adalah sebuah kesia-siaan dan hanya menjadikan kita budak.”

    “Kau percaya itu?”

    “Tentu saja tidak. Anggaplah yang kukatakan itu benar, tapi fakta bahwa kebahagiaan itu indah itu saja sudah cukup bagi manusia untuk menerima usaha sebagai kewajibannya dan jika saat kita berusaha, kita memberikan orang lain kebahagiaan mereka, itu jadi bonus.

    Valentinepun begitu, anggaplah bagian seksnya atau konspirasi penjualan coklat itu benar, tapi yang terpenting adalah apa niatanmu saat membuat coklat ini, demi dirimu sendiri atau demi orang yang kau berikan coklat?

    Hadiah adalah hal yang istimewa bagi setiap orang, tapi jika setiap hari diberi hadiah, esensi hadiah itu sendiri akan hilang. Saat itulah yang namanya hari-hari spesial seperti ini sangat bermanfaat, meskipun hanya sekedar alasan.”

    Jaya menuangkan coklatnya ke cetakan diikuti oleh Koh.

    “Bagaimanapun juga, di setiap hari bahagia ada ketidakbahagiaan yang mendahului, entah itu penderitaan atau semacamnya. Entah dalam bentuk perjuangan dan pengorbanan atau niat bejat.

    Tapi yang kita perlu lakukan adalah menyucikan keberadaan hari itu dari sejarahnya yang kelam, bukan dengan meniadakan hari itu, tapi dengan menjawab harapan-harapan polos orang-orang yang bermimpi di hari ini.

    Kalau yang bisa kita lakukan hanyalah menghancurkan, melenyapkan, lalu mengabaikannya seolah-olah itu tidak ada, maka kita tidak akan pernah bijak dan kita akan selalu melewatkan nilai-nilai positif yang ada dan memundurkan kehidupan kita.

    Aku tidak berkata valentine memiliki dampak sebesar itu, tapi siapa tahu kita melewatkan hal besar dengan memikirkan terus hal-hal negatif? Contohnya, momen kepuasan ketika aku bisa memberikan orang yang kucintai sesuatu.”

    Jaya menaruh coklatnya di kulkas yang disusul oleh Koh yang tidak berkomentar apa-apa. Dia sudah puas dengan apa yang dia dapat pada hari itu. Sebagai gantinya Jaya mendapatkan ide bagus dari Koh soal coklatnya.

    “Jaya, sebagai ganti ceramahmu yang panjang itu, aku akan memberikan satu saran bagus. Aku tahu kau agak kesulitan mendekati perempuan pujaanmu itu karena dia orang yang sangat baik, cool, dan tentu saja populer.

    Jadi, yang harus kau lakukan pertama adalah mempersiapkan coklat ini di wadah yang tepat. Bungkus coklatmu dengan bungkus merah sementara punyaku dengan warna hitam. Berhubung bentuknya berbeda, kita tidak perlu terlalu jauh mempersiapkan lebih.

    Setelah kau bertemu dengannya, berikan dulu coklat buatanku setelah itu coklat buatanmu. Karena dia populer seharusnya ada beberapa orang yang juga memberikan coklat, apalagi karena sekolahmu itu agak elit, jadi minta dia mencicipi secuil saja.

    Ingat ini, coklat seperti makanan lain akan menjadi lebih enak jika dibuat dengan ‘cinta’.”

    “Ah, rasanya biasa saja menurutku.”

    “Bodoh, hanya orang yang benar-benar kau cintai dan mencintaimu balik yang akan merasakan perbedaannya. Itulah kenapa coklatku menjadi penting, orang itu akan menyadari betapa enaknya coklatmu karena ada coklatku sebagai pembanding.”

    Seperti yang sudah dikatakan olehnya, Jaya tidak begitu percaya akan hal seperti itu, tapi mendengar bahwa dia akan lebih dilirik oleh orang yang disukainya membuat Jaya melakukannya juga.

    Esoknya, Jaya memberika coklat itu pada perempuan yang disukainya tepat sebelum mereka masuk ke dalam sekolah, waktu yang sangat pagi sekali. Tentu saja perempuan itu terkejut dan berusaha menyimpan coklat pemberikan Jaya untuk lain kali saja.

    Namun Jaya berkilah bahwa coklat yang dia buat itu untuk sampel coklat buatan keluarganya sehingga pendapatnya akan sangat berharga. Tidak mampu berkelit, dia mencicipi kedua coklat itu, seperti anjuran Koh, coklat Koh dulu baru coklat Jaya.

    Tampak perempuan itu agak terkejut setelah memakan coklat Jaya, “Hm... Aku tidak pernah makan coklat yang seenak begini. Bagaimana ya... Rasanya mungkin tidak benar-benar enak dalam artian manis luar biasa atau semacamnya, tapi pas sekali...”

    Perempuan itu masih berpikir ingin mengatakan apa, dia akhirnya mendapatkan kalimat yang pas, “Kedua coklat ini sejujurnya memiliki rasa yang sama, seharusnya sama. Tapi entah kenapa aku bisa merasakan sesuatu yang lain...”

    Sesuai sugesti Koh, pikir Jaya agak tersipu tapi dia mampu menahannya.

    “Jadi, yang mana yang lebih enak?” Jaya bertanya dengan senyum cerah.

    Dengan senyum yang tidak kalah cerah, perempuan itu membalas, “Yang bungkusnya hitam.”

    Eh-?
     
    Last edited: Feb 14, 2012
  4. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    terkadang ada dialog yang membingungkan, mungkin karena kurang penjelasan siapa yang mengatakan apa...

    btw ceritanya ngalor ngidul juga yah, tapi diamblik hikmahnya aja :hahai:
     
  5. DeadlyEnd Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Dec 5, 2008
    Messages:
    143
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +22 / -0
    Terima kasih komentarnya... :hi:

    Saya pingin pembaca terbawa alur cepat ceritanya jadi tidak disebutin siapa yang bicara, tapi saya memang masih perlu banyak belajar...

    Dan ceritanya ngalor ngidul mungkin karena settingnya banyak...
    Bagusnya sih kalau hikmahnya bisa didapat (wong ini yang jadi tema saya nulis)... :hehe:
     
  6. Grande_Samael M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Dec 18, 2011
    Messages:
    264
    Trophy Points:
    36
    Ratings:
    +283 / -0
    hahaha, siplah, keep writing fict!
     
  7. DeadlyEnd Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Dec 5, 2008
    Messages:
    143
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +22 / -0
    Ashurugun - Teman

    Cerpen ketiga yang semoga ada hikmahnya :P

    Namanya Majou, seorang perempuan di awal usia tiga puluhnya. Seharusnya dia masih bisa berkarya dan memang ada banyak hal dalam pikirannya yang dia ingin lakukan, apalagi dia mempunyai beberapa anak yang masih berusia remaja untuk yang paling tua.

    Namun apa daya, tubuhnya terkujur lemah di atas kasur dari bulu domba. Matanya sayu dan suara orang-orang di sekitarnya, orang-orang yang berusaha berdoa untuk kesembuhannya, tidak lagi terdengar dalam telinganya.

    Hanya satu orang yang bisa dia lihat, satu orang yang selalu hanya dia yang bisa melihatnya. Seorang perempuan dengan pakaian yang tidak biasa, paras cantik, dan tatapan mata yang begitu jernih dan tegas, seolah-olah berusaha masuk dalam ke lubuk dan sanubari Majou.

    Namanya Koh, seorang Ashurugun, suatu makhluk yang secara fisik dan pikiran adalah manusia, namun selalu hanya segelintir orang yang bisa melihatnya. Di desa ini, hanya Majou yang bisa melihat Koh, dan kini hanya Koh yang bisa dia lihat.

    “Koh...” Suara lemah Majou keluar dari dalam mulutnya.

    “Ssshh...” Koh berusaha mendiamkan Majou, dia tidak ingin Majou yang sudah sangat lemah memaksakan diri untuk berbicara.

    Dan juga, meskipun Majou tidak bisa melihatnya, dia sedang dirawat oleh seorang tabib dari timur yang kebetulan datang.

    “Koh...” Kembali suara Majou terdengar namun kini dia bisa melanjutkan kalimatnya sebelum Koh bisa memotong, “Kau ingat ketika kita pertama kali bertemu?”

    Koh yang tidak tahu apa yang terbaik bagi Majou yang kini sedang sakit, hanya bisa tersenyum dan mengikuti keinginan Majou, menyeritakan kenangan itu.

    Mereka bertemu di sebuah gurun pasir, tempat mereka kini, namun sebelum penduduk desa itu ditambah pertolongan Koh yang hanya bisa dilihat Majou, membuat sebuah irigasi. Yang tahu jasa Koh hanya Majou maka hanya Majou yang berterima kasih padanya.

    Mereka berteman sejak saat itu, malam ketika perayaan selesainya irigasi dirayakan.

    Sejak saat itu, Koh dan Majou selalu bersama meskipun pada akhirnya kegiatan yang mereka lakukan tidaklah sama.

    Koh sebagai Ashurugun yang memiliki kekuatan lebih dari manusia biasa, membantu penduduk, utamanya keluarga Majou, mengurus kawanan domba mereka. Sementara Majou yang kondisi tubuhnya tidak begitu sehat bertugas menenun.

    Mereka berdua hanya bisa bertemu biasanya di awal pagi dan sore hari serta ritual keagamaan. Namun mereka terus menjaga agar tetap menjadi teman baik, berbagi pemikiran, keluh-kesah, dan canda-tawa.

    Sebagai Ashurugun, Koh yang datang dari timur jauh tidak punya banyak teman untuk diajak berbicara, maka Majou menyadari bahwa keberadaannya adalah hal yang sangat penting, bahkan mungkin hal paling penting dalam hidup Koh.

    Seseorang yang bisa diajak berbagi berbagai hal.

    “Kau ingat Koh, cerita pertamamu?”

    Pertanyaan Majou itu membuka kembali ingatan Koh tentang berbagai cerita yang selalu dia utarakan pada Majou ketika malam begitu gelap hingga tiada satupun yang bisa dilihat dalam tenda Majou.

    Cerita mengenai sebuah daratan yang menyerupai karpet hijau tua karena hutan yang ada begitu lebat setelah sebelumnya Koh menjelajah tanah putih bersih karena salju yang tidak kunjung berhenti turun.

    Koh bercerita bagaimana ketika dia melewati daratan putih itu pertama kali, tidak laut di antaranya namun begitu dia melewati untuk kembali, sebuah lautan sudah terbentuk.

    Majou yang lemah masih ingat bagaimana suara Koh terdengar begitu sarkastik dan lucu hingga dia tidak bisa menahan tawanya, padahal dia dan Koh sengaja berbicara pelan agar tidak mengganggu orang lain yang sedang tertidur.

    Cerita lain yang selalu diingat Majou dari Koh adalah kisah mengenai perjalanan pertama Koh, perjalanan dari tanah kelahirannya karena sebuah ledakan besar dari gunung berapi. Sebuah awal yang tidak pernah Koh duga, namun tidak pernah pula dia sesali.

    Majou bisa merasakan kesedihan dalam suara Koh yang berusaha terdengar normal, namun dia juga tidak bisa menyembunyikan perasaan senang karena akibat kejadian itulah Koh terus menjelajah dan akhirnya bertemu dengannya.

    “Maaf, Koh...” Suara lemah Majou terdengar kembali, sayup-sayup terhalang suara tabib yang berteriak keras.

    “Aku yang seharusnya meminta maaf...” Koh menggenggam erat tangan Majou, sambil mengingat kembali apa yang dia sudah lakukan.

    Lima tahun sejak dia bertemu dengan Majou, beberapa orang bermata sipit dan kulit kekuningan masuk ke lembah tempat desa. Koh mengenal ciri-ciri itu meskipun bukan kenal langsung secara pribadi.

    Rasa nostalgia Koh menjalar ke dalam dirinya dan dia memutuskan untuk menjelajah ke timur, bersama orang-orang yang rupanya pedagang itu.

    Tiga hari mereka berada di desa itu, beberapa menetap untuk membuka toko sementara beberapa kembali ke tempat asal mereka untuk mengambil barang-barang dagangan juga untuk menjual barang yang mereka beli dari desa ini.

    Satu tahun Koh pergi hingga dia kembali. Majou sudah menikah seorang salah satu pedangan yang menetap dan menunggu kelahiran anak pertamanya. Koh agak terkejut dengan hal itu, tapi dia sendiri tidak keberatan atau heran.

    Majou adalah seorang perempuan cantik, enak diajak bicara, dan juga baik. Di kalangannya sendiri saja dia sudah menjadi primadona.

    Sebagai ganti karena tidak bisa menghadiri pernikahan Majou, dia memutuskan untuk membantu merawat anak Majou. Dia mungkin tidak akan terlihat di pandangan anak-anak Majou, namun bukan berarti dia tidak bisa mengasuh mereka.

    Sejak tahu bahwa Majou sudah menikah ketika dia pergi, Koh berjanji bahwa dia tidak akan pernah meninggalkan Majou agar dia bisa berbagi pengalamannya bersama Koh. Hingga satu bulan yang lalu.

    Sebuah badai pasir perlahan datang, namun beberapa domba belum kembali. Kekeringan yang akhir-akhir ini melanda membuat desa itu benar-benar bergantung pada binatang piaraan mereka sebagai dagangan untuk makanan yang tiba dari barat.

    Koh memutuskan untuk mencari domba-domba itu, dia tidak memberi tahu Majou karena tidak ingin dia merasa khawatir. Namun justru karena dia tidak bisa kembali sebelum Majou sadar bahwa dia tidak ada membuat Majou secara sembrono mencari Koh.

    Datanglah badai pasir itu.

    Satu bulan sejak Majou terjebak dalam badai pasir, kondisi tubuhnya yang tidak pernah bagus semakin lemah. Awalnya hanya batuk dan kini menggeser kepalanya saja butuh kekuatan yang besar.

    Suami Majou kini sedang mencari bahan-bahan yang dibutuhkan tabib untuk menyembuhkan Majou, beberapa tanaman liar yang berada di sekitar lembah tapi tidak di dalamnya. Koh ingin membantu, tapi Majou ingin Koh berada di sisinya tidak peduli apapun yang terjadi.

    Koh tidak bisa menolaknya, tidak dengan janjinya untuk selalu untuk bersamanya, tidak dengan permintaan yang hanya dirinya saja yang tahu, permintaan yang hanya dia saja yang bisa memenuhinya.

    “Maafkan aku Majou... Maaf tidak bisa terus bersamamu... Maaf karena aku melanggar janjiku... Maaf karena aku tidak bisa membantumu...”

    Koh menaruh tangan Majou di dahinya sambil mengucapkan permintaan maafnya. Majou sementara itu hanya tersenyum.

    “Aku yang perlu minta maaf Koh...”

    Koh yang terkejut menatap mata Majou yang sayu.

    “Aku tidak bisa terus bersamamu, aku tidak bisa membuat orang lain tahu kau ada, aku hanya menyimpanmu untukku sendiri, dan aku malah menyibukkan diriku dengan keinginanku sendiri ketika kau terus membantuku...”

    “Aku...”

    “Koh... Aku selalu menuntutmu, memintamu, dan terus memaksamu. Dari mulai ketika kita pertama bertemu hingga akhirnya kini, memaksamu untuk terus di sisiku...”

    Suara lemah Majou terdengar terengah-engah diselilingi batuk sesekali. Koh membujuk Majou untuk berhenti berbicara, namun Majou memegang tangan kanan Koh yang menyilang di mulutnya sambil menggelengkan kepala.

    “Koh... Maukah kau memaafkanku?” Suara Majou ini, terdengar persisi seperti ketika Koh pertama kali bertemu dengannya. Pertanyaan yang diajukan berbeda, tapi suara itu sama dan mengiang dalam telinga Koh.

    “Kau tidak salah Majou...” Air mata akhirnya menetes dari mata Koh, “Tapi jika itu permintaanmu, aku memaafkanmu... Tapi Majou, bertahanlah... Jangan tinggalkan aku...”

    Tangis Koh semakin keras namun hanya Majou yang bisa mendengarnya, namun bahkan diapun sudah tidak bisa mendengarnya lagi. Permintaannya yang terakhir adalah suara terakhir yang bisa Koh dengar.

    Koh yang merapatkan keningnya ke kening Majou terus berharap Majou akan membalas permintaannya. Namun pada akhirnya yang Koh terima hanya sebuah senyuman, ekspresi terakhir Majou untuk Koh.

    Seketika itu juga, ketika Koh akhirnya melihat ekspresi yang tidak berubah lagi itu, tangisnya meledak menjadi raungan, raungan yang hanya dia yang bisa dengar. Raungan sepi dalam dunia yang tidak akan pernah menyadarinya ada.

    .......

    Koh keluar dari dalam tenda setelah raungannya berhenti. Dia bisa melihat suami Majou, membawa beberapa ikat tanaman. Mukanya yang letih memburuk menjadi muka penuh keputusasaan. Dia membuang tanaman yang dia bawa dan berlari menuju tenda.

    Dia menabrak sisi Koh, kembali sebagai Ashurugun dia tidak bisa dirasakan oleh orang lain. Suami Majou tidak sadar dia sudah menabrak Koh dan begitulah dunia Koh tanpa Majou.

    Kematian sudah berulang kali dilihat oleh Koh, tapi perasaan perih itu tidak pernah berkurang atau menunjukkan tanda-tanda akan menghilang dari setiap pertemuan Koh dengan kematian.

    .......

    Tubuh Majou yang tidak bernyawa dimasukkan dalam liang lahatnya. Koh menatap terus tubuh Majou hingga akhirnya tidak bisa dilihat lagi, tertutup oleh tanah yang digunakan untuk menutup lubang itu.

    Ini adalah tanda perpisahan.

    Koh menatap ke kejauhan, “Kalau begitu, sekarang melanjutkan ke barat ya...” Ujarnya tenang lalu melangkah pergi dari lembah Tarim.
     
  8. DeadlyEnd Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Dec 5, 2008
    Messages:
    143
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +22 / -0
    Ashurugun - Rekan

    Cerita ini...
    Selamat menikmati...

    Handoko Wijoyo, biasa dipanggil Jaya, adalah seorang remaja kelas satu SMA yang biasa-biasa saja. Dia bukan anak yang jenius atau luar biasa atletik atau bintang majalah.

    Satu-satunya hal yang tidak biasa adalah fakta bahwa rumahnya kemarin kecurian dan seorang Ashurugun menolongnya mengatasi pencurui bersenjata yang merambah rumahnya.

    Ashurugun adalah sebutan untuk makhluk yang memiliki penampilan layaknya manusia biasa namun memiliki kemampuan dan tenaga yang luar biasa sebagai ganti tidak bisa dilihat oleh kebanyakan orang, kebetulan Jaya adalah bagian dari segelintir orang itu.

    Keberadaan Ashurugun ini membangkitkan gairah Jaya yang ingin bisa tampil seperti pahlawan super pembela kebenaran dan keadilan yang muncul bersama rekannya, meskipun untuk kasusnya parternyalah yang memiliki kekuatan super.

    “Sudah pernah ada ceritanya.” Komentar Ashurugun yang diinginkan Jaya menjadi rekannya, Koh, begitu mendengar celetukan Jaya.

    Hanya saja ada satu masalah, Ashurugun yang diinginkan Jaya menjadi rekannya saat ini kerjanya hanya menonton televisi sambil memakan makanan ringan alih-alih berjalan bersama Jaya di jalan berusaha memecahkan masalah besar yang ada di kotanya.

    Jaya berpikir dia tidak bisa juga menyalahkan Koh, selama dua minggu ini tidak ada sesuatupun yang bisa dikatakan menarik di kotanya. Namun dia tidak yakin setiap hari hanya duduk menonton televisi dan makan cemilan baik untuk Koh.

    Hari ini dia merasa dia harus melakukan sesuatu.

    “Koh, ayo keluar!” Jaya berbicara dengan penuh semangat, dia mengenakan jaket coklat dengan kerah beludru kesukaannya.

    “Ada apa?” Koh bertanya malas sambil terus mengunyah cemilan dan menonton televisi.

    “Kita pergi belanja.” Jawaban Jaya membuat Koh menatapnya dengan heran dan sebelum Koh bisa berbicara apa-apa, Jaya menambahkan, “Perintah ibuku. Rumah ini milik orang tuaku jadi aku rasa kau punya tanggung jawab untuk membantuku untuk urusan ini ‘kan?”

    Koh tidak bisa berkata apa-apa dan hanya menghela sebelum mengikuti Jaya, setidaknya hingga mereka tiba di tempat tujuan.

    “Kukira ketika kau berkata kau diminta berbelanja, yang harus kau beli adalah daging atau bahan makanan lain...”

    “Lalu?”

    “Kau disuruh belanja baju wanita?”

    “Baju perempuan.” Jaya mengoreksi ucapan Koh sambil terus melihat-lihat jajaran baju sementara Koh terus melihat dengan ekspresi tidak percaya.

    “Kau yakin kau disuruh oleh ibumu?”

    “Tentu saja! Hanya ibuku saja yang bisa membuatku berbelanja baju! Apalagi baju perempuan!” Jaya kini berbicara dengan nada kesal namun tetap tidak terlalu keras. Koh tidak bisa dilihat orang sehingga dia akan dianggap orang gila kalau berbicara keras.

    “Yah sebenarnya ibuku dan perempuan yang kusuka.”

    Kalimat lanjutan Jaya membuat Koh merespon, “Lalu?”

    “Karena kau ada disini aku pikir aku bisa bertanya baju apa yang sebaiknya aku pilih jika suatu saat aku membelikan baju untuk perempuan yang kusuka.”

    “Apa kau sudah mengungkapkan perasaanmu pada perempuan itu?”

    “Belum.”

    “Lalu kau ingin membelikan dia baju?”

    “Bukan untuk sekarang hanya sekedar ingin tahu seleranya...”

    “Kenapa kau bertanya padaku?”

    “Karena kau secara sepintas mirip dengan orang yang kusuka, beberapa sifatnya setidaknya.”

    “Memangnya dia orang yang seperti apa?”

    “Dia perempuan yang keren, kalem, atletik, pintar, dan cukup terkenal. Hampir selalu tersenyum meskipun tetap tegas ketika dibutuhkan.”

    “Kau pikir aku seperti itu?”

    “Bagian atletiknya.”

    Koh terdiam sejenak sebelum melanjutkan, “Kalau mendengar deskripsimu aku jadi punya pertanyaan kedua, kau yakin bisa mendapatkan perempuan itu?”

    “Ya, tentu saja. Aku pasti akan mendapatkannya.”

    Jawaban Jaya membuat Koh mendengus sebelum akhirnya membantu Jaya memilih baju. Mereka melakukan kegiatan itu hingga akhirnya mereka berjalan keluar.

    “Akhirnya kau tidak membeli baju...”

    “Tentu saja tidak karena akhirnya ibuku mau mengerti bahwa sangat aneh bagi laki-laki untuk membeli baju perempuan, lebih tepatnya baju ibu-ibu! Dan sms tentang ukurannya sama sekali bukan hal yang bisa meyakinkanku!”

    Setelah berbicara agak keras, baik Jaya dan Koh tidak berbicara hingga mereka tiba dipinggir jalan. Suasana yang ramai membuat Jaya bisa berbicara dengan Koh tanpa takut ada yang terlalu memperhatikan dia, meskipun tetap bersuara rendah untuk jaga-jaga.

    “Sekarang kita pulang?”

    “Tentu saja tidak. Sekalian kita ada di jalan, aku rasa tidak ada salahnya jika kita coba jalan-jalan.”

    Setelah beberapa saat mereka berjalan akhirnya Koh kembali berbicara.

    “Jaya, kau bilang kita akan berjalan-jalan.”

    “Ya, lalu?”

    “Kenapa kita sekarang berada di sini?”

    Koh dan Jaya kini berada di sebuah supermarket berbelanja daging dan bahan-bahan makanan yang lain.

    “Tadi kau bilang ‘kan, seharusnya kalau aku ingin pergi berbelanja, aku berbelanja bahan-bahan makanan.”

    “Tapi bukannya kau tidak ingin berbelanja kalau kau tidak disuruh oleh ibumu?”

    “Ini permintaan ibuku sebagai ganti aku tidak mau, tidak bisa, dan tidak akan membelikan gaun untuk ibuku.”

    Koh menghela nafas sambil memijit-mijit dahinya setelah mendengar jawaban Jaya.

    “Sudahlah, daripada kau terus menghela nafas, kenapa kau tidak membantuku memilihi daging mana yang lebih segar?” Jaya menyodorkan dua daging yang dibungkus rapat dalam wadah plastik.

    “Kenapa kau memintaku melakukan itu?”

    “Kau bilang kau adalah petualang sebelum kau tiba disini ‘kan? Aku rasa kemampuanmu sebagai petualang, belum dihitung kemampuanmu sebagai Ashurugun, akan sangat membantu dalam menentukan daging mana yang lebih segar.”

    “Aku tidak menanyakan alasanmu dengan mempertimbangkan kemampuanku. Aku menanyakan kenapa harus aku? Kenapa tidak bertanya pada petugas supermarket yang mempersiapkan daging-daging ini.”

    “Karena kau rekanku.” Jawab Jaya singkat. Dia tidak menjelaskan lebih detail dan hanya memberikan seulas senyum pada Koh.

    Koh sendiri hanya diam menatap Jaya sebelum mendengus dan membantu Jaya memilih bahan makanan terbaik. Setelah membeli semua bahan makanan yang diminta oleh ibu Jaya, mereka keluar dari supermarket dan kali ini berjalan menuju rumah Jaya.

    “Jaya, kau yakin tentang masalah ‘rekan’ ini?” Koh bertanya begitu mereka tiba di sebuah jalan sepi. Dia yang berjalan di belakang Jaya berhenti dan menatap dengan serius.

    “Hm? Tentu saja.” Jawab Jaya dengan senyum. Dia berhenti berjalan, berbalik, dan membalas tatapan Koh dengan yakin.

    “Kau mengatakan kau ingin seperti pahlawan super dengan beragam petualangan. Aku katakan sekali lagi, cerita seperti itu sudah ada. Tapi kali ini aku akan berkata lebih serius, dunia tidak seperti dalam cerita superhero.”

    “Aku tahu.” Jawab Jaya singkat, dia mungkin ingin Koh membalas tapi keheningan yang terjadi menunjukkan Koh tidak ingin Jaya melanjutkan.

    “Dunia bukan tempat dimana orang bisa terbang, mengeluarkan cahaya hijau, atau berlari secepat cahaya. Tapi dunia memiliki tantangannya tersendiri, tantangan yang sangat menarik dan akan semakin menarik jika ada Ashurugun yang terlibat.”

    “Kenapa kau bisa yakin?”

    “Kenapa kau bisa tidak yakin?” Jawab Jaya dengan pertanyaan balik. Namun Koh tidak sempat menjawab karena Jaya melanjutkan kalimatnya. Pertanyaannya bukan dilontarkan agar Koh menjawabnya.

    “Koh, dua minggu kita berdiam diri. Dalam waktu sepanjang itu bisa saja angin topan sudah terjadi, banjir sudah melanda, atau gempa sudah menerjang. Mungkin hiperbola tapi itu adalah hal-hal yang bisa terjadi dalam dua minggu.”

    Jaya mengambil jeda sebelum melanjutkan. Dia ingin Koh bisa memikirkan sejenak perkataannya.

    “Dunia mungkin tidak semenarik cerita, tapi dunia bukan tempat yang bisa dinikmati dengan sekedar melihat televisi. Dunia harus dijelajahi dan hanya bisa dinikmati dengan cara itu. Permasalahannya, dunia bukan tempat untuk satu orang sendiri.

    Koh, kau adalah rekanku. Satu-satunya orang, atau dalam kasusmu Ashurugun, yang kupilih menjadi orang yang menemaniku menjelajahi dunia yang luas ini, yang kupilih untuk mendengarkan keluh kesahku, dan kumintai saran.

    Utamanya soal perempuan yang kusuka dan masalah berbelanja.

    Tapi kau tidak bsia menjadi rekanku jika hanya aku yang menginginkannya. Semua manfaat dan kenikmatan menjadi rekan hanya bisa dirasakan dan dimanfaatkan jika kedua orang bersedia menjadi rekan.”

    “Jaya.” Ucapan Koh memotong penjelasan Jaya, “Aku tanya sekali lagi. Kau yakin tentang masalah ‘rekan’ ini? Kau berjanji akan memberikanku, Ashurugun yang sudah hidup sangat lama ini, pengalaman yang bisa dikenang olehnya?”

    Jaya tersenyum mendengar pertanyaan Koh, “Ya, aku ingin kau menjadi rekanku dan aku pastikan kau mendapatkan pengalaman itu.”

    Setelah mengatakan itu, Jaya berbalik dan kembali berjalan. Di belakangnya, Koh berkomentar, “Ayah dan anak sama saja.” Sebelum mengikuti Jaya dari belakang.

    Cerita Ashurugun dimulai disini.
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.