1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Novel - Untitled [yet]

Discussion in 'Fiction' started by cooleve, Oct 22, 2011.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. cooleve Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Apr 11, 2010
    Messages:
    26
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +10 / -0
    Maaf, saya bingung tulisan saya ini dimasukin ke kategori apa ya harus nya??
    Blom kepikiran jg judul nya krn blom slese :D

    anyway, here it is.. :D
     
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Oct 22, 2011
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. cooleve Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Apr 11, 2010
    Messages:
    26
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +10 / -0
    Bunyi telepon genggam yang nyaring membuat sang pengemudi mobil terpaksa melepaskan salah satu tangannya dari setir. Matanya melirik nama yang ada di layar ponsel sebelum akhirnya ia menjawab, “Kenapa?”​
    “Ron, ada di mana lo?” sapa Billy dari sebrang telepon.​
    “Di jalan.” jawab Ronald singkat.​
    “Lama amat sih? Gw udah nungguin lu daritadi tau!”​
    “Nunggu?” Ronald mengamat-amati jalan dari dalam mobilnya sambil menunggu jalanan kembali lancar. Tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu yang menarik perhatiannya. Seorang cewek tersandung ketika sedang berjalan di separator jalan. Untungnya, ia dapat segera menjaga keseimbangannya lagi sehingga tidak terjatuh ke tanah. Wajahnya yang ekspresif menoleh dan menatap batu yang telah membuatnya tersandung itu seakan menyalahkannya atas kejadian memalukan yang baru saja menimpanya.​
    “Yah, sebenernya sih bukan gw, tapi Elaine, dia nyariin lu terus dari...” cerita Billy. Namun, kata-katanya tak didengar oleh Ronald. Ia terus memperhatikan cewek tadi yang kini sedang berjalan ke arahnya dan menyebrang – dengan sedikit takut - tepat di depan mobilnya. “Halo..? haloooooo? Lu dengerin gw nggak sih?” tanya Billy mulai kesal karena sudah hampir semenit dia menunggu tanpa ada jawaban dari Ronald.​
    “Tunggu gw di depan. Bentar lagi gw nyampe.”​
    “Eh tung...” tahan Billy, tapi percuma, Ronald sudah menekan tombol merah di Hp-nya. Ia kembali memperhatikan cewek – berambut sebahu - tadi berjalan masuk ke dalam kompleks perumahan di samping kiri jalan. Dengan segera Ronald menunduk untuk melihat papan nama kompleks tersebut. Perumahan Gracilla.​

    ***​

    “Kenapa tadi lu tiba-tiba matiin telepon gw?? Gw kan belom selesai ngomong...!” omel Billy ketika Ronald baru saja turun dari mobil Ferrari hitamnya dan menyerahkan kunci mobilnya pada petugas valet.
    “Mana kadonya?” tanya Ronald cuek mengulurkan tangannya.
    “Dasar! Salah apa gw bisa punya temen kayak lu.” keluh Billy pasrah sambil menyerahkan sebuah kado yang dihias dengan pita lucu berwarna pink.
    “Ngapain pakai pita? Norak tau.” Ronald berjengit.
    “Justru karena itu jadi tambah manis. Gw jamin, Elaine pasti suka.”
    “Mendingan tadi gw suruh Franky yang beli.”
    “Ronald!” panggil seorang cewek yang mengenakan gaun malam manis berwarna pink sambil berjalan menghampiri mereka berdua. “Lama banget sih datengnya? Gw kan udah nungguin daritadi... Ayo masuk.” ajaknya manja seraya menggandeng tangan Ronald. Ronald segera melepaskan tangannya dari gandengan sambil berpura-pura menyerahkan kado.
    Happy Birthday.
    “Waw thanks! Lu tau aja gw suka warna pink.” seru Elaine. Mukanya merona merah. Ronald melirik tajam ke arah Billy, yang dengan segera langsung mengalihkan perhatian.
    “Ayo masuk, nggak baik ninggalin tamu lama-lama.” katanya sambil mendorong Elaine sedang Ronald mengikuti di belakangnya.
    Setelah dengan bersusah payah melepaskan diri dari Elaine yang terus-terusan memaksa Billy dan - terutama Ronald - untuk berkenalan dengan teman-temannya, akhirnya mereka dapat lolos juga dan memutuskan untuk menyembunyikan diri mereka di salah satu sudut ruangan.
    “Gila tuh cewek! Sekalian aja satu kampung dikenalin ke kita!” komentar Billy.
    “Siapa yang kemaren maksa gw buat dateng ke sini?” sindir Ronald.
    “Yah… nggak ada salahnya juga kan? Paling nggak temen-temennya dia banyak yang cantik kan?” kilah Billy. “Gimana? Ada yang membuat lu tertarik?”
    “....”
    “Oh come on, masa dari segini banyak cewek nggak ada yang bikin lu tertarik sih?” tanya Billy. “Mereka ini termasuk high quality loh.”
    It doesn’t matter with the quality... They’re just... look the same...
    “Hhh... gw gak ngerti sama selera lu. Di kasih cewek cantik nggak mau. Ya udah, mendingan buat gw aja.” kata Billy yang kemudian berjalan menghampiri segerombolan cewek yang sejak tadi melirik-lirik ke arah mereka.

    ***​

    Beberapa hari kemudian, Ronald kembali melintasi perumahan Gracilla karena ia sedang ada urusan di sekitar situ. Mobil Berplat B 120 N miliknya kembali terjebak macet hampir di tempat yang sama dengan kemarin. Tiba-tiba ia teringat lagi akan hal menarik yang kemarin dilihatnya. Ia melongok ke kiri dan ke kanan mengharapkan akan melihat hal seperti itu lagi – atau mungkin cewek itu yang ingin dilihatnya – entahlah, ia sendiri tak tahu. Ia sudah hampir menyerah ketika akhirnya – setelah untuk kesekian kalinya ia menengok – ia melihat cewek itu sedang berjalan di sepanjang trotoar menyandeng sebuah tas slempang berwarna hitam di bahu kirinya sambil tersenyum senang, tampaknya sedang membayangkan sesuatu yang lucu. Ronald terus memperhatikannya berjalan dengan langkah ringan sampai akhirnya ia menghilang di ujung jalan.

    ***​

    Tidak sampai seminggu kemudian, kegiatan perkuliahan sudah di mulai lagi. Billy – yang ternyata sekelas lagi dengan Ronald – terpaksa harus menumpang mobil Ferrari Ronald karena mobilnya sedang diperbaiki.
    “Lu liat gak tadi? Anak-anak baru itu? Lumayan, banyak juga yang cantik. Baguslah...” kata Billy. Ronald tidak mengacuhkan omongan temannya itu. Ia terus menyetir dalam diam.
    “Eh, kok lewat sini sih? Kita mau ke apartemen lu kan?” tanya Billy yang akhirnya menyadari jalan yang dilaluinya. “Tuh kan macet. Lu sih kurang kerjaan, pake lewat sini segala. Lu kan tau di sini rawan macet.” keluh Billy ketika mereka harus berhenti, mengikuti mobil yang ada di depan mereka. Namun Ronald kelihatan tenang-tenang saja, malah sepertinya terlihat senang.
    “Lu nyari apaan sih?” tanya Billy bingung melihat temannya yang terus-terusan melirik ke kanan dan kiri. Tepat pada saat itu ‘cewek tersandung’ kemarin muncul lagi. Namun kali ini ia sedang berdiri di samping jalan - sepertinya sedang menunggu angkutan – tanpa menyadari bahwa ada seseorang yang sedang memperhatikannya.
    “Oi, udah jalan Ron!” teriak Billy beberapa saat kemudian. Ronald dengan setengah kaget memalingkan mukanya kembali ke depan.
    I see now, lu lewat jalan ini buat ngeliat cewek itu kan?” tuduh Billy yang telah berhasil mengidentifikasi siapa yang tadi dipandang temannya. “Eh liat, dia nengok ke sini lho. Wah, seneng dong Ron." goda Billy membuat Ronald salah memasukkan gigi sementara mobil-mobil di belakangnya sudah tak sabar dan terus-terusan membunyikan klaksonnya.​
    “Dia nengok gara-gara kita gak jalan-jalan tau!” seru Ronald galak sambil meneleng kepala Billy karena menggodanya. Akhirnya ia dengan segera bisa menguasai dirinya lagi dan menjalankan mobilnya sebelum bunyi klakson protes bertambah nyaring.​
    Do you like that girl? Wah akhirnya, sang pangeran bisa jatuh cinta juga. Since when? Kok lu nggak bilang-bilang gw.” tanya Billy antusias.​
    “....”​
    Come on, kasitau gw dong. Gw kan sohib lu.” paksa Billy.​
    “Cuma karena gw ngeliatin dia bukan berarti gw suka kan?”​
    “Aduh bro, sadar dong. Lu kan udah gede.” kata Billy sambil menghela nafas. “Begini, gw ini kan udah kenal elu sejak gw masi belajar jalan, dan seinget gw, elu nggak pernah ngeliat cewek sampe nggak sadar keadaan sekitar begitu. So, it means that you’re interested with her, right?”​
    “....”​
    “Dan sebagai orang yang sudah berpengalaman, gw bisa jamin kalo rasa tertarik itu adalah awal dari yang namanya CINTA.” sambung Billy sok tau tidak mempedulikan sikap diam temannya. “Oh ya, siapa namanya? Kuliah atau masih sekolah?”​
    Ronald mengangkat kedua bahunya. “Gw nggak tau apa pun tentang dia.”​
    “Gimana bisa lu suka sama dia tapi gak tau apa pun tentang dia? Bahkan namanya aja nggak tau?” tanya Billy heran. “Oh!” Billy menjentikkan kedua jarinya. “Jangan-jangan lu... jatuh cinta pada pandangan pertama?” sambungnya menyebabkan semburat merah muncul di wajah Ronald. “Jadi bener? Elu jatuh cinta pada pandangan pertama? Oh, how sweet...!”​
    “Emangnya gw pernah bilang kalo gw suka sama dia?” bela Ronald dengan muka merahnya.​
    “Kalo nggak kenapa lu tadi ngeliatin dia?”​
    “Gw cuma ngerasa kalo dia... entahlah, menarik.”​
    “Dan seperti yang gw bilang tadi, tertarik adalah awal dari cinta.” sambung Billy sok tau.​

    ***​

    Ronald sedang berbelok di ujung koridor kampus ketika seseorang yang sedang berbelok dari arah berlawanan menubruknya tepat di dadanya.​
    “Auuch..” keluh seorang cewek bermata coklat sambil mengelus-elus dahinya. “Sorry...” sambungnya seraya meninggalkan cowok jangkung yang baru saja ditabraknya.​
    “Ha..ha..ha.. Sharon... makanya kalo jalan liat ke depan dong ha..ha..ha..” tawa temannya yang kini menyusul Sharon dan berjalan di sampingnya.​
    “Udah deh, gw malu tau...”​
    “Ha..ha..ha.. habis lucu sih... Eh, tapi lumayan juga, nabrak cowok cakep.”​
    “Dasar, bukannya khawatirin gw malah merhatiin cowok...”​
    Ronald masih diam ditempatnya ditabrak ketika Billy tiba-tiba datang dari arah samping dan mengagetkannya. “Oi Ron, ngapain lu nangkring di sini?” sapa Billy menepuk bahu temannya, namun Ronald tetap diam, tak mengacuhkan candaan temannya itu. “Ke kantin yuk. Gw laper banget nih, dari pagi belum makan. Enaknya ke mana ya? Ah iya, ke...”​
    “Bil, lu banyak kenal cewek-cewek di sini kan?” potong Ronald tiba-tiba.​
    “Mmm.. lumayan. Kenapa?”​
    “Lu kenal sama yang namanya... Sharon?”​
    “Sharon? Siapa tuh? Tumben lu nanyain cewek.” Billy tersenyum nakal.​
    “Bukan siapa-siapa. Udahlah, gak jadi.”​
    “He..he..he jangan gitu dong. Gw cuma bercanda kok.” tahan Billy menyeringai nakal. “Sharon cewek yang kemarin lu liatin itu kan? Tenang, udah gw selidikin kok.” Billy mengambil nafas sejenak sebelum akhirnya melanjutkan. “Ok, kita mulai dari mana ya?” pikirnya. “Yah, seperti yang lu tau, namanya Sharon. Dia mahasiswi baru jurusan IT. Anak pertama dari 2 bersaudara. Hobi main basket. Ah ya, yang paling penting, dia belum punya cowok, dan menurut informasi yang bisa dipercaya, dia juga belum pernah jadian. Gimana? Seneng dong. Bisa jadi pacar pertamanya...” goda Billy. Ronald segera ngeloyor pergi sebelum ia diledek lebih jauh lagi oleh Billy.​
    “Woi, tungguin dong! Dasar nggak tau terima kasih!” seru Billy sambil mengejar Ronald.​
     
    Last edited: Oct 22, 2011
  4. cooleve Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Apr 11, 2010
    Messages:
    26
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +10 / -0

    Matahari sudah setengah jalan ingin menyembunyikan dirinya ketika tiba-tiba seorang lelaki kurus berkemeja biru disertai dua orang laki-laki yang otot-ototnya terlihat jelas di balik kaos hitam ketat yang mereka pakai, berhenti tepat di depan sebuah rumah berukuran sedang dengan pagar hitam yang berdiri kokoh di depannya. Lelaki kurus tadi mengeluarkan sebuah map merah dari tas kerjanya yang sudah tampak agak lusuh. Ia membaca sekilas kertas yang ada di dalam map kemudian menoleh lagi untuk mengecek nomor yang tertera di tembok di samping pagar. Ia mengangguk sedikit sebelum kemudian berteriak, “Permisi!”


    Sharon, yang baru saja pulang kuliah dan mau makan, membatalkan niatnya untuk mengambil piring karena mendengar ada seseorang yang berteriak di depan rumahnya. Ia membuka pintu depan dan melihat tiga orang pria tadi berdiri di depan pagar rumahnya. Sekelebat firasat buruk menghampiri pikirannya, namun cepat-cepat di usirnya. Karena penampilan 2 orang diantara mereka yang tidak seperti orang pada umumnya dan ia juga tidak mengenal ketiga pria tersebut, maka ia memutuskan untuk tidak membuka pagar terlebih dahulu. “Cari siapa ya?” tanyanya.


    “Apa benar ini rumah pak Chandra?” tanya pria yang bertubuh paling kecil.


    “Ya.” jawab Sharon diikuti dengan sedikit anggukan ketika ia mendengar nama ayahnya disebut.


    “Anda anaknya?” tanya pria itu lagi. Dan Sharon kembali mengangguk untuk kedua kalinya. “Kalau begitu bisa saya bertemu dengan papanya?”


    Sharon berpikir sejenak sebelum menjawab, karena meskipun orang itu bertanya dengan cukup sopan, namun kedua pria yang di belakangnya terlihat sangat mencurigakan. “Papa masih kerja. Belum pulang. Ada perlu apa?” tanya Sharon mencoba sopan, sesopan yang dapat dilakukannya saat itu.


    “Oh, kalau begitu apa mamanya ada? Kami perlu bicara, penting.”


    Kecurigaan Sharon bertambah, namun ia tak tau apa yang harus dilakukannya saat itu. Akhirnya ia memutuskan untuk memanggil mamanya sesuai dengan permintaan mereka. “Tunggu sebentar.” katanya seraya masuk kembali ke dalam rumah. Ia tetap tak membukakan pintu pagarnya dan tak peduli lagi apakah hal tersebut akan dianggap tak sopan, yang ia inginkan hanyalah cepat-cepat memanggil mamanya dan memastikan mereka tidak akan memanjat pagar selama ia masuk ke dalam.


    “Ma...” Ia berteriak sambil cepat-cepat berjalan ke kamar mamanya. “Ada tamu di depan.”


    “Siapa?” tanya seorang wanita paruh baya yang baru saja keluar dari balik kamar yang terletak di samping kamar mandi.


    “Nggak tau. Nggak kenal.” geleng Sharon diikuti ekspresi bingung mamanya yang segera berjalan cepat-cepat ke pintu depan. Sharon mengikuti dari belakang. Ia ingin memastikan bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang buruk pada mamanya.


    “Ada apa ya?” tanya sang mama dari balik pagar, rupanya ia juga menaruh kecurigaan kepada mereka.


    “Selamat sore, saya Surya. Saya diperintahkan oleh perusahaan tempat bapak bekerja untuk datang ke sini dan membicarakan tentang masalah uang yang diambil Pak Chandra dari perusahaan.” jelas pria berkemeja biru tadi.


    “M...maaf? Apa tadi anda bilang?” tanya Bu Linda, tak mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Begitu juga dengan Sharon, ia sempat menganga selama beberapa detik sebelum akhirnya ingat untuk menutupnya kembali.


    “Saya ingin membicarakan tentang masalah uang yang digelapkan pak Chandra dari perusahaan, Bu.” ulang pria tadi dengan lebih pelan.


    “A..apa?! Tidak, maaf, tapi anda pasti salah. Suami saya tidak mungkin melakukan hal itu, pasti.. pasti ada kekeliruan.” bela Bu Linda diikuti anggukan keras Sharon yang berdiri di belakang mamanya.


    “Maaf, tapi ini benar. Saya diperintahkan langsung oleh perusahaan untuk datang ke sini. Kalau anda tidak percaya silakan anda telepon ke sana.” jelas pria tersebut. “Jadi, Pak Chandra belum memberitahukan hal ini kepada anda?” lanjutnya.


    Bu Linda menggeleng. Wajahnya kini menjadi pucat pasi begitu juga Sharon. Ia menengok kepada mamanya, mengharap mendapatkan bantuan atas kejutan mengerikan yang baru saja diterimanya, namun percuma, mamanya sendiri juga tampak kaget sekali. Sekarang dia tahu kenapa ada 2 orang pria bertubuh besar dan berwajah sangar datang ke rumahnya.


    “Ba..bagaimana..” tanya Bu Linda yang sudah mulai bisa mengendalikan kekagetannya.


    “Akan saya beritahukan rinciannya, tapi bisakah kita bicara di dalam saja?”


    “Oh, ya.. tentu saja.. maaf..” kata Bu Linda terbata-bata. Ia menghabiskan waktu lebih lama dari biasanya untuk membuka gembok dengan tangannya yang gemetaran. Pria tersebut masuk dan duduk di sofa ruang tamu dengan ke 2 bodyguardnya – yang sedari tadi diam saja - duduk di sebelah kanannya. Jantung Sharon berdegup kencang. Hal itu bukan karena ia marah ketika sofa tuanya yang berwarna biru gelap langsung melesak ke dalam begitu diduduki oleh kedua bodyguard yang beratnya tak kurang dari 150 kg itu, tapi karena ia akan mendengar sesuatu yang ia yakin adalah hal buruk.


    “Ja.. jadi.. bagaimana..?” tanya Bu Linda segera.


    “Begini Bu” Pria itu mengambil nafas sejenak sebelum akhirnya melanjutkan. “Beberapa hari yang lalu, tepatnya 3 hari yang lalu, perusahaan kami mengetahui bahwa suami anda, yaitu Pak Chandra, terlibat dalam usaha penggelapan uang yang terjadi di dalam perusahaan kami. Begitu tahu, dewan direksi segera memanggil suami anda dan suami anda langsung mengakuinya. Kemarin dewan direksi sudah mengambil keputusan, dan saya diperintahkan untuk ke sini dan memberitahukannya.”


    Suasana hening. Tidak ada yang bersuara sampai pria tadi melanjutkan, “Jadi apa ibu tahu kemana bapak pergi?”


    “Ti..tidak. Bukankah dia ada di kantor?” tanya Bu Linda yang kemudian segera menyesali pertanyaannya. Bila suaminya memang ada di kantor, mereka pasti tak akan ke sini dan mencari suaminya.


    “Tidak, suami anda sudah dibebastugaskan sejak perusahaan mengetahui hal ini.” Tepat pada saat itu terdengar suara pagar yang dibuka. Seorang pria separo baya dengan rambut terpangkas rapi berjalan dan berhenti di ambang pintu, tampak kaget.


    “Selamat sore, Pak. Saya Surya. Anda pasti Pak Chandra. Saya ke sini karena diperintah oleh dewan direksi untuk menyampaikan keputusan yang sudah diambil oleh mereka.” Sambut Pak Surya seraya berjalan mendekat dan menyodorkan tangannya untuk menjabat tangan Pak Chandra. Kedua bodyguardnya pun segera berdiri sambil mengepalkan tangan di depan.


    “Ja.. jadi..” sahut Pak Chandra, masih dengan wajah kagetnya. Namun ia bukannya berbicara dengan Pak Surya dan besar kemungkinannya ia juga bukannya kaget dengan kedatangannya, melainkan kaget karena istrinya pasti sudah mengetahui tentang masalah yang telah dibuatnya.


    “Ya pa, kami sudah tahu… Semuanya...” kata Bu Linda berat.


    “A.. aku..” Pak Chandra memandang bergantian antara Bu Linda dan Sharon. “Ma.. maaf..” sambungnya, agak menunduk. Bu Linda dan Sharon tak dapat berkata apa-apa. Sangatlah jelas sudah bahwa ayah dan suami tercinta mereka memang melakukan hal seperti yang disebutkan oleh pria berkemeja tadi.


    “Maaf, tapi kami harus segera menyampaikan pesan dari dewan direksi. Kami tak punya banyak waktu.” sela Pak Surya sedikit merasa tak enak karena telah mengganggu ketenangan keluarga mereka. “Begini.” ia berdeham, “Dengan berat hati kami harus memberitahukan bahwa dewan direksi telah memutuskan untuk memberhentikan anda sehubungan dengan kasus yang telah anda perbuat tersebut. Dan karena mengingat jasa-jasa yang telah anda berikan kepada perusahaan selama 15 tahun ini, perusahaan memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini dengan jalan kekeluargaan. Jadi anda hanya perlu mengganti sebesar yang anda ambil yaitu 100 juta rupiah...”


    “A..apa?!” seru Bu Linda diikuti dengan tarikan nafas panjang Sharon. “Se.. sera.. seratus... juta?!”


    “Ya. Dan perusahaan memberi kompensasi waktu pelunasan selama 6 bulan mulai dari sekarang. Jadi hutang tersebut harus segera dilunasi paling lambat akhir bulan April tahun depan.” jelas Pak Surya.


    “Enam bulan? Ce.. cepat sekali. Apa tak bisa diperpanjang lagi?” pinta Pak Chandra.


    “Maaf Pak, saya hanya diminta menyampaikan hal ini kepada bapak.”


    “Oh, be.. begitu. Terima kasih dan tolong sampaikan juga rasa terima kasih saya kepada dewan direksi atas kebijaksanaannya.” balas Pak Chandra cepat-cepat.


    “Baiklah, kalau begitu kami permisi dulu.” Ia mengangguk kepada dua orang pria kekar tadi memberi isyarat untuk mengikutinya pergi.


    Setelah mengantar mereka ke depan, Pak Chandra segera menutup pintu depan untuk mengantisipasi kalau-kalau istri atau anaknya marah-marah, sehingga suaranya tidak terdengar sampai keluar. Dan hal itu memang terbukti.


    “Jadi?” kata Bu Linda memulai. Jelas sekali dia tak dapat menyembunyikan amarahnya.


    “Ma.. maaf ma, aku.. aku tak bermaksud menyembunyikan hal ini. Ta.. tapi.. ini.. ini.. semuanya terjadi dengan begitu cepat. Tiba-tiba saja keadaan berubah menjadi buruk dan tak ada lagi yang bisa kulakukan.” jelas Pak Chandra.


    “Tapi pa, kenapa hal ini bisa sampai terjadi?! Buat apa papa menggelapkan uang perusahaan?! Tega-teganya... Bisa-bisanya papa melakukan perbuatan serendah itu! Kenapa pa?! Kenapa!” geram Bu Linda, campuran antara marah, kecewa, dan bingung.


    “Ma.. maaf. Aku juga sebenarnya tidak bermaksud melakukan hal itu. Tapi.. tapi.. aku terdesak ma, aku.. aku butuh uang!” bela Pak Chandra.


    “Butuh uang? Buat apa pa?! Gaji papa kan sudah cukup untuk biaya hidup sehari-hari!” Bu Linda mengambil nafas sejenak, menenangkan diri sedikit kemudian melanjutkan “Seratus juta. Buat apa uang sebanyak itu pa?! Uang itu hampir 6x lipatnya uang kuliah anak kita pa! Jadi jangan bilang bahwa papa menggunakannya untuk kuliah anak kita.” ancam Bu Linda. Sharon yang sedang berdiri sambil mendengarkan di belakang mamanya bergidik sedikit, ia tahu bahwa papanya harus mengeluarkan cukup banyak uang dari koceknya karena jurusan yang dia ambil merupakan jurusan yang cukup mahal di kampusnya. Sekelebat rasa bersalah menyelimuti dirinya.


    “Tidak ma.” bantah Pak Chandra yang melihat ekspresi bersalah di wajah Sharon. “Uang kuliah Sharon kuambil dari tabungan kita.” sambungnya menatap lembut Sharon.


    “Jadi sebenarnya apa yang papa lakukan dengan uang itu pa? Apa?!” tuntut istrinya.


    “Se.. sebenarnya.. sebenarnya uang itu papa gunakan untuk..”


    “Untuk apa pa? Kata... !”


    “Untuk berjudi ma...” aku Pak Chandra akhirnya.


    “A..apa?? Ber.. berjudi..?!” seru Bu Linda diikuti jeritan tertahan Sharon.


    “Pa.. papa.. Bagaimana papa bisa melakukan itu? Berjudi.. Bagaimana bisa? Sejak kapan...?” tanya Sharon yang tak kuasa untuk menahan dirinya lagi untuk diam saja.


    “Ma.. maafkan papa nak.” jawab papanya sangat sedih mendengar nada kekecewaan dalam ucapan anaknya.


    “Bagaimana bisa? Pasti ada yang mengajak papa! Iya kan? Siapa pa?! Siapa yang mengajak papa? Siapa yang telah membuat papa terjerumus?!” tuntut Bu Linda.


    “I..itu...”


    “Katakan saja pa, tidak ada gunanya lagi papa menyembunyikannya!”


    “Gun.. Gunawan. Dia yang mengajak papa. Awalnya papa pikir papa mau coba-coba saja. Siapa tahu beruntung. Rencananya uangnya akan papa gunakan untuk membuka perusahaan sendiri. Tapi.. apa mau dikata. Ternyata papa kalah. Dan tanpa sadar ternyata papa sudah kecanduan bermain judi.” bela Pak Chandra.


    “Sudah berapa kali kubilang, jangan terlalu dekat dengan Gunawan! Dia bukan orang baik-baik, mama tahu itu! Lihat kan akibatnya sekarang?!” Bu Linda mengambil nafas lagi, “Dan bagaimana dengan uangnya? Tidak mungkin sudah habis semua kan?”


    Pada saat itu Bu Linda dan juga Sharon sangat berharap bahwa Pak Chandra akan menggeleng, tapi ternyata ia hanya diam saja.


    “A..apa? Tidak mungkin! Papa sudah menghabiskan semuanya? Semuanya pa??” tanya Bu Linda berharap dia salah mengartikan sikap diam Pak Chandra.


    “Maaf, ma... aku... aku benar-benar kecanduan. Ketika kukatakan pada Gunawan bahwa sebenarnya aku masih ingin main namun aku tidak punya uang lagi, ia mengajakku untuk berkomplot dengannya untuk menggelapkan uang perusahaan. Percayalah, awalnya aku tidak mau. Namun ketika Gunawan bilang untuk menganggapnya seperti meminjam uang dari perusahaan - dan ia meyakinkanku bahwa aku pasti bisa membayarnya - akhirnya aku... aku...” jelas Pak Chandra merasa sangat menyesal sekali. “Dan waktu itu aku merasa yakin sekali akan menang, tapi ternyata...”


    “Ternyata papa tidak menang kan?? Dan apa hasilnya sekarang? Kita berhutang 100 juta pa! 100 juta! Bagaimana kita bisa melunasinya sedangkan sekarang papa sudah dipecat...” isak Bu Linda.


    “Maaf ma... maaf... aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku akan berusaha sekuat tenaga agar bisa mendapatkan pekerjaan dalam waktu dekat ini.” hibur Pak Chandra, mendekati istrinya dan membelai lembut rambutnya. Tepat pada saat itu, seorang anak perempuan dengan rambut panjang dikuncir dua yang sudah acak-acakan, keluar dari pintu kamar yang ada di depan ruang tamu. Dia mengucek-ngucek matanya seakan protes atas suara-suara keras yang telah mengganggu tidur siangnya. “... mama?” tanyanya heran melihat situasi aneh yang terjadi di rumahnya.


    “Sharon, tolong bawa san-san main di kamarnya.” perintah papanya. Sharon mengangguk dan segera mendorong adiknya untuk segera berjalan memasuki kamar yang ada di sebelah kamar mandi. Sharon cepat-cepat menutup pintu coklat di belakangnya dan ketika itu tanpa terasa air mata yang sudah ia tahan dari tadi mengalir di pipinya.


    “Kak Sharon? Kakak kenapa? Mama juga. Kenapa semuanya menangis?” tanya Susan polos. “Kakak dimarahin mama ya gara-gara tadi kakak beliin coklat diam-diam buat san-san? Maafin san-san kak. Lain kali san-san nggak akan maksa minta dibeliin coklat lagi deh. Kakak jangan nangis lagi dong...”


    Sharon segera menghapus air matanya dan berusaha menggantinya dengan senyuman. “Nggak kok, mama nggak marahin kakak kok.” jawab Sharon mengusap-usap kepala San-san.


    “Trus kenapa kakak dan mama nangis?”


    “Mama cuma lagi sedih aja. Udah ayo kita main aja ya. Mau main apa? Main boneka atau masak-masakan?”


    “Boneka!” jawab San-san antusias.

    “Hai Shar!” sapa Ellen ketika mereka berpapasan di tangga kampus.​

    “Hai.” Sharon membalasnya dengan senyum yang seadanya.​

    “Kenapa lu? Mata lu kok bengkak gitu?”​

    “Em nggak kok, paling cuma kurang tidur.” dalih Sharon.​

    “Oooo...” komentar Ellen. Sharon lega sekali melihat reaksinya. Dia tidak tahu alasan apalagi yang dapat ia pakai bila Ellen tidak mempercayainya. Mana bisa ia bilang kalau kemarin ia nangis semalaman karena ternyata papanya kecanduan judi dan menggelapkan uang perusahaan, sesuatu yang selama ini dianggapnya merupakan perbuatan yang sangat tercela. Dan sekarang keluarga mereka terlibat utang yang begitu besar dan ia tidak yakin papanya akan dapat melunasi utang tersebut dalam waktu setengah tahun. Semalaman ia berpikir bagaimana hal ini dapat menimpa dirinya. Dari sekian banyaknya keluarga yang ada di dunia ini, kenapa malah keluarganya yang tertimpa masalah ini? Kenapa justru papanyalah – orang yang dikaguminya sejak kecil - yang terlibat dengan kasus penggelapan itu. Orang yang dia anggap sebagai pahlawannya...​

    Sharon baru saja duduk di kursinya ketika seorang cewek berbaju kuning yang duduk di sebelahnya bertanya padanya, “Lu kenapa Shar? Kayak habis ditonjok gitu...”​

    “Apanya yang kayak habis ditonjok?” tanya Sharon tak mengerti.​

    “Mata lu itu loh, merah n bengkak banget.”​

    “Oh, ini. Kemarin gue kurang tidur.”​

    “Boong lu, mana mungkin kurang tidur bisa bikin bengkak kayak gitu.” kata Ririn, ternyata cewek yang satu ini nggak gampang dibohongi. “Lu abis nangis ya?”​

    “Bener kok, gw kurang tidur semalem.” bela Sharon bersikeras meyakinkan temannya. Lagipula, memang benar kalau semalam ia kurang tidur, karena terlalu banyak menangis tentunya.​

    “Nggak mungkin. Gw nggak percaya.”​

    Belum sempat Sharon membela dirinya lagi, seorang wanita setengah baya yang mengenakan kemeja biru dipadu dengan celana hitam panjang muncul dari balik pintu. Sharon merasa lega karena itu berarti ia punya sedikit waktu untuk mengarang alasan yang lebih tepat sebelum temannya itu memojokannya lagi.​

    Tapi ternyata pikirannya salah, ia tidak dapat menemukan alasan lain yang lebih masuk akal, bahkan tidak ada sedikit pun pelajaran yang tersangkut di kepalanya. Kejutan yang diterimanya kemarin terus berputar-putar di otaknya, tidak memberikan kesempatan kepada hal-hal lain untuk masuk ke dalamnya.​

    “Gimana? Udah mau kasih tau gw apa yang ngebuat mata lu sampai kayak gitu?” tanya Ririn menunjuk mata Sharon dengan dagunya.​

    “Hah?” tanya Sharon terkejut. Dia sudah lupa sama sekali akan hal itu. “Oh, ini.” Sharon memegang bawah matanya. “Kan tadi udah gw kasitau.”​

    “Kan tadi udah gw bilang kalau lu bohong.” tiru Ririn. Dan mereka berdua pun tertawa bersama.​

    “Oh iya, hari ini kan kita ada latihan basket. Lu ikut kan?”​

    “Oh iya!” Sharon menepuk dahinya. “Hampir aja gw lupa. Jam berapa sekarang?”​

    “jam 3 kurang 5”​

    “Waaa bisa telat nih.”​

    ***​

    “Hai, nama saya Billy, dan ini Ronald.” sapa seorang pemuda jangkung berambut hitam kepirangan dan menunjuk pemuda jangkung lainnya yang berdiri di sampingnya. “Kita berdua yang bakal ngelatih kalian. Ada pertanyaan?” tanyanya yang disambut dengan beberapa jari yang terangkat ke atas. “Ya?” tanyanya kepada seorang cewek yang berdiri di barisan paling depan di pojok kanan.​

    “Mmmm kakak udah punya pacar belum?” tanya gadis itu sambil tersipu malu. Sharon melongo tak percaya sedangkan Ririn tampak bersemangat.​

    “Yang mana maksud kamu? Dia atau saya?” tanya Billy menunjuk dirinya dan Ronald bergantian.​

    “Dua-duanya!” teriak beberapa cewek, termasuk Ririn.​

    “Oh, kita berdua masih single kok. Tenang aja. Ada pertanyaan lain?” Billy meluaskan pandangannya ke kanan dan kiri. “Ya, kamu.” katanya sekarang menunjuk gadis yang berdiri di belakang Ririn.​

    “Jurusan dan umur?”​

    “Kita berdua sama-sama ambil IT, semester 5. Umur 20 tahun. Jadi jangan panggil kami kakak, kesannya udah tua banget. Panggil nama aja ok?” jelasnya. “Ada pertanyaan lagi?”​

    “Minta No. Hp dong!” seru seorang gadis di barisan belakang.​

    “Ok, catet ya. No. Hp gw...” jawab Billy diikuti bunyi kasak kusuk para cewek yang dengan segera mengeluarkan Hp mereka atau apa pun alat yang dapat digunakan untuk menulis. “0811155xxxx kalau dia 08...” namun ucapan Billy terpotong oleh dehaman Ronald. “Eh, kalian tanya aja sendiri.” sambung Billy takut melihat tatapan tajam temannya.​

    “Ok waktu untuk tanya jawab selesai.” potong Ronald disertai dengan desahan kecewa para cewek. “Sekarang kita mulai latihan. Kita pemanasan dulu selama 10 menit. Kalian ikuti kami.”​
     
    Last edited: Oct 27, 2011
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.