1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Tales of Gaea: Children of The East

Discussion in 'Fiction' started by MaxMarcel, Mar 7, 2011.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    [​IMG]
    Art by Benedictus P.​

    Genre: Medieval-Fantasy, Adventure, Romance


    Prologue


    Index

    ACT I: The Last Survivor, The Grief, and The Hatred
    And the people are dying to see one man overthrown


    Chapter I: Against A Giant (page 1)
    Chapter II: The Great Ambassador (page 1-2)
    Chapter III: Before The Storm (page 2)
    Chapter IV: Fortress of The Djinn (page 3)
    Chapter V: Might of The Ironscale Clan (page 4)
    Chapter VI: Clement and The Mount Thorn (page 4-5)
    Chapter VII: Under a Clement’s Sleeve (page 5)
    Chapter VIII: The Noble’s Duel (page 5)
    Chapter IX: All Hope Is Not Lost (page 6)
    Chapter X: An Old Wound (page 6)
    Chapter XI: Behind The Front Line (page 7)
    Chapter XII: The Reason (page 7)


    ACT II: Guardian of The East, Master of The East, Wild Force of The East
    Several victories won't change the whole war


    Chapter XIII: The Other Side (page 8)
    Chapter XIV: A New Kind of Enemy (page 8)
    Chapter XV: Siege of the Ancient Stronghold (page 9)
    Chapter XVI: Surprissing Guest (page 9)
    Chapter XVII: The Lone Soldier’s Journey (page 9-10)
    Chapter XVIII: Hidden Plot (page 10)

     
    • Thanks Thanks x 6
    • Like Like x 3
    Last edited: Dec 26, 2011
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    reserved for something important
     
    • Like Like x 1
  4. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Chapter I: Against A Giant

    Equor, hanyalah sebuah kerajaan kecil pada sebuah pulau di samudra timur. Sebuah kastil kecil berdiri tinggi pada sebuah bukit di hilir laut. Di bawah, rumah-rumah kayu sederhana berdiri secara tidak beraturan. Walaupun mungkin bukan kerajaan yang kaya, penduduk Equor dapat hidup mandiri tanpa bantuan luar dengan kekayaan alam pulau yang terbatas.

    Dengan populasi seribu orang, Equor seharusnya tidak cukup signifikan untuk menarik perhatian Kekaisaran Zar’goza. Tapi fakta berkata lain.

    Malam itu tampak lima buah kapal besar mendekati pelabuhan kota Equor. Raja Equor yang tidak biasanya mendapat tamu dalam jumlah besar langsung memerintahkan pasukannya untuk bersiaga di pelabuhan.

    Kecurigaan sang raja terbukti tepat. Kapal-kapal pedagang yang tampak tidak berbahaya tersebut tiba-tiba menembakkan panah api ketika mendekat. Pasukan Equor berjuang dengan gagah untuk melindungi kota tercinta mereka. Tapi perjuangan mereka langsung runtuh begitu tentara kirzka tiba-tiba keluar dari dalam kapal dan memberi mereka kejutan besar.

    Tidak ada yang menyangka bahwa kapal-kapal tersebut mengangkut tentara Kekaisaran Zar’goza.

    ***​

    Sophie meringkuk dengan takut di balik sebuah tumpukan jerami. Ingin sekali ia memejamkan matanya dan menghindar dari pemandangan mengerikan di hadapannya. Tapi rasanya tubuhnya sudah membeku dan tidak lagi menuruti kehendaknya.

    Aroma hangus dan asap hitam membumbung tinggi dari segala penjuru kota. Orang-orang yang berlarian dengan panik. Dan makhluk itu. . . Sophie tidak akan pernah bisa menghilangkan bayangan mereka yang kejam.

    Ia selalu mendengar mereka disebut-sebut dalam cerita atau digunakan untuk menakuti dirinya ketika ia nakal. Tapi ia tidak pernah melihat mereka secara langsung. . . Para kirzka, mereka jauh lebih mengerikan dari pada yang diceritakan orang-orang.

    Makhluk-makhluk jangkung dengan tubuh yang dipenuhi sisik. Pandangan mata mereka yang dingin dan kejam di tengah kegelapan. Taring dan cakar mereka yang pucat dan ternodai darah.

    Sophie masih dapat mengingat jelas bayang-bayang mereka di antara asap kebakaran. Kilauan dari pedang mereka. Dan wajah-wajah yang ia kenal, dihiasi tatapan kosong yang menyedihkan. Tatapan kosong tanpa kehidupan. Tatapan yang menyedot segala kehidupan menjadi kehampaan, hampa. . . Hampa.


    Sophie terbangun dari tidurnya dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Napasnya tersengal-sengal dan ia mendapati dirinya ketakutan, takut akan suatu hal yang tidak ia ketahui.
    Sophie melihat ke sekeliling. Ini hanyalah kamarnya yang biasa ia tempati. Tidak ada yang aneh. Ia aman disini.

    Sambil menghela napas Sophie memandang ke arah bulan yang bersinar di luar jendela kamarnya. Apa yang telah terjadi? Kenapa kenangan dua belas tahun yang lalu itu kembali lagi. Aku sudah berusaha untuk melupakannya tetapi kenapa. . . AKu bukan lagi gadis kecil yang meringkuk ketakutan dua belas tahun yang lalu, aku sudah berubah. Sekarang aku. . . aku. . .

    Sophie meringkuk di ranjangnya dan perlahan-lahan air mata menetes keluar. Ia terisak, mungkin ia memang tidak berubah selama dua belas tahun ini. Mungkin keputusannya untuk menjadi seorang tentara salah. Tapi mungkin, mungkin ia memilih jalan takdir yang tepat.

    ***​

    Pagi harinya, Sophie kembali bangun dengan terkejut. Tapi bukan karena mimpi buruk ataupun perasaan janggal. Ia terbangun dengan panik mengingat matahari yang sudah tinggi di langit. Ia terlambat untuk pekerjaannya.

    Dengan buru-buru ia melompat dari ranjangnya dan membuka lemari pakaian. Ia mengambil satu set seragam militer Kerajaan Cavaliar. Tanpa pikir panjang ia mengganti bajunya dengan kemeja linen berwarna merah dan celana panjang hitam. Ia mengambil crest tanda pangkatnya dan mengalungkannya.

    Sambil melihat ke cermin Sophie mengenakan sebuah rompi berwarna merah dan mengatur letak crest yang ia pakai agar cocok dengan rompinya. Sambil setengah berlari ia mengambil ikat pinggang kulit beserta pedangnya yang tergantung di sisi dinding.

    Dengan suara bedebum kecil Sophie menendang pintunya dan megejutkan beberapa pegawai militer yang sedang lewat. Ia mengabaikannya dan berlari keluar hanya untuk sadar bahwa ia melupakan sesuatu.

    Ia kembali ke dalam kamarnya dan mengambil sepasang sarung tangan putih di meja. Dalam hatinya ia sedikit menyesal memiliki pangkat yang cukup tinggi. Entah kenapa semakin tinggi pangkatmu, semakin rumit pula seragam formalmu, dan semakin kau dituntut untuk tampil rapih.

    Seharusnya ia sudah ada di ruang kerja Jendral Ishtar sejak tiga puluh menit yang lalu. Tapi disinilah dirinya, berlari di lorong-lorong akademi tentara mencoba mengambil jalan pintas tercepat ke kantor atasannya.

    Setelah lima menit yang penuh adrenalin, Sophie berhenti dengan napas terengah-engah di depan pintu kayu besar yang akan membawanya ke ruang kerja Jendral Ishtar. Ia menyeka keringat di wajahnya dan merapihkan lekukan-lekukan pada bajunya.

    Sambil menahan napas Sophie mengetuk tiga kali pada pintu kayu tersebut. Ia menunggu, tapi tidak ada balasan. Dengan sedikit ragu-ragu Sophie mendorong pintu kayu tersebut hingga terbuka. Tampaklah ruang kerja Jendral Ishtar yang sudah dangat familiar dengan dirinya.

    Di tengah-tengah ruangan, tampak Jendral Ishtar sedang membaca surat dari balik meja kerjanya. Raut wajahnya menandakan ia sedang dihadapkan pada hal yang serius. Mestinya Sophie langsung melapor ke atasannya dan minta maaf atas keterlambatannya. Tapi melihat sang Jendral yang sedang serius berpikir ia mengurungkan niatnya. Ia hanya memperhatikan Jendral Ishtar yang tampaknya sedang berpikir keras.

    Berapa kalipun ia memandang atasannya saat ini, Sophie selalu terpesona oleh keanggunan unik yang dimiliki Jendralnya. Orang-orang berkata bahwa Ishtar dulunya seorang tentara bayaran dengan kemampuan luar biasa. Keahliannya di pertempuran membuat Kerajaan Cavaliar tidak dapat memalingkan wajahnya dari wanita itu. Ia direkrut oleh Kerajaan Cavaliar sebagai tentara dan dalam waktu cepat meraih pangkat tinggi walaupun dirinya merupakan seorang perempuan.

    Walaupun Jendral Ishtar memiliki perjalanan karir yang gemilang, ia lebih dikenal karena penampilannya. Bahkan sampai detik ini penampilan Jendral Ishtar tetap menjadi hal yang mengherankan bagi Sophie.

    Rambutnya yang berwarna perak alami serta matanya yang berwarna merah darah. Sophie pernah memberanikan diri dan menanyakan hal itu, dan sang Jendral dengan enteng mengatakan warna rambut dan matanya sudah seperti itu sejak ia dilahirkan.


    “Sophie sudah berapa lama kau menunggu.” tiba-tiba sebuah suara lembut menyadarkan Sophie dari lamunannya.

    “Uh. . . Baru saja.” jawab Sophie spontan.

    Jendral Ishtar menaruh surat yang tadi ia baca dan menghela napas pelan, “Maaf Sophie, aku membuatmu menunggu.”

    “Tidak apa.” jawab Sophie, walaupun tahu sebenarnya ia lah yang harus meminta maaf.

    “Pesan penting, Jendral?” tanya Sophie mencoba memecah keheningan.

    Sekarang Jendral Ishtar menatap Sophie dengan pandangan yang aneh. Ia tidak dapat mendefinisikan arti pandangan tersebut. Tapi satu hal yang pasti, pandangan tersebut membuat Sophie bergerak tidak nyaman.

    Ingin sekali ia berkata, ‘apa ada sisa makanan di mulutku?’ tapi mengingat ia bahkan belum makan pagi ini yang keluar dari mulutnya hanyalah, “Ada sesuatu yang salah, Jendral?”

    Sekali lagi Jendral Ishtar menghela napas. Sophie tahu pasti ada sesuatu, hanya saja ia tidak tahu apa.

    “Sophie. . . Duduklah.” kata Jendral Ishtar sambil mengisyaratkan Sophie untuk menduduki kursi di depan meja kerjanya. Sophie hanya menurut dan duduk di atas kursi antik tersebut.

    “Aku tidak yakin apa yang harus kulakukan.” Jendral Ishtar berbicara dengan lemah.

    “Mengenai apa?” tanya Sophie polos.

    Jendral Ishtar hanya melambaikan surat yang tadi ia baca.

    Suara Jendral Ishtar selanjutnya terdengar sedih dan kebingungan, “Surat ini berisi laporan militer. Jujur saja, aku tidak ingin memberitahumu apa isi laporan tersebut. Tapi kau, diatas siapapun punya hak untuk mengetahuinya. . .”

    Sophie sama sekali tidak mengerti apa maksud sang Jendral, “Apa maksudmu?”

    “Kau ingat kota Whetly?” tanya Jendral Ishtar tiba-tiba.

    “Ya, bukankah kita baru dari sana beberapa bulan yang lalu?”

    Ishtar mengangguk pelan, “Kota itu baru saja dibakar hingga rata dengan tanah. Pasukan patroli sudah mengelilingi sisa-sisa kota Whetly. Tidak ada yang selamat.”
     
  5. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Sophie hanya duduk di bangkunya dengan hening. Ia membayangkan kota Whetly dengan bangunan-bangunan bertingkat yang dicat putih dan barisan kincir anginnya. Orang-orang ramah yang menghuni kota tersebut. Semuanya musnah. . . Sama seperti kampung halamannya. . .

    Jendral Ishtar memandang Sophie dengan ragu dan melanjutkan apa yang ingin disampaikannya, “Saksi mata mengatakan mereka melihat sekelompok kaum kirzka dengan bendera Kekaisaran Zar’goza meninggalkan kota Whetly di kejauhan, tepat setelah mereka menemukan kota tersebut dalam keadaan hancur.”

    Sophie tampak terenyak di kursinya. Wajahnya menunjukkan berita yang didengarnya telah menjadi sebuah pukulan berat.

    “Sophie maafkan aku. . . Aku sama sekali tidak ingin membuka luka lama di hatimu kembali. Tapi kau harus mengetahui hal ini.” kata Jendral Ishtar dengan lembut sambil berusaha menenangkan dirinya.

    “Jendral Ishtar, apa yang akan terjadi selanjutnya. . . Apakah kejadian ini akan diabaikan seperti biasanya.” kata Sophie pelan. Ia dapat merasakan api kebencian yang membara di dalam dirinya. Sekali kaum kirzka dan Kekaisaran Zar’goza melintasi jalan takdirnya.

    “Kita tidak tahu Sophie. Raja Alphonse sudah mengirim pesan kepada Kekaisaran Zar’goza untuk meminta kejelasan atas tindakan mereka yang tidak beralasan. Berharaplah konflik ini dapat berakhir dengan damai.”

    Sophie mengangguk singkat, walaupun dalam hatinya ia sama sekali tidak terima kalau pembantaian ini hanya diakhiri secara diplomatis. Di dalam hatinya ia mendambakan kesempatan untuk membuat kaum kirzka membayar perbuatan mereka dengan darah.

    Jendral Ishtar hanya dapat memandang Sophie yang tengah tenggelam dalam perasaannya dengan khawatir. Ia takut berita tersebut membangkitkan luka yang telah lama terpendam dalam diri Letnannya.

    ***

    Beberapa hari setelah insiden mengejutkan di kota Whetly, kekaisaran Zar’goza memberikan balasannya. Sebuah pesan singkat yang intinya berbunyi: “Itu bukan urusanmu. Bagaimana kalau kalian diam saja layaknya ternak yang baik.”

    Tentu saja jawaban tersebut menimbulkan kegelisahan, bukan hanya di Kerajaan Cavaliar tapi juga di kerajaan-kerajaan manusia lainnya di timur. Tindakan agresif Kekaisaran Zar’goza yang tidak dilandasi alasan apapun menimbulkan pertanyaan: “Apakah kita aman disini? Apakah mungkin kita menjadi korban selanjutnya dari kegilaan ini?”

    Sebuah rapat besar diadakan untuk membahas hal ini. Seluruh raja-raja dan kaum bangsawan diundang untuk membahas masalah ini.

    Tampak Raja Alphonse duduk di tengah singgasananya. Sosoknya yang tua dan bijak diharapkan dapat menyatukan pendapat seluruh orang di ruangan tersebut.

    Dan disinilah aku berdiri, disamping Jendral Ishtar yang juga menghadiri rapat tersebut.

    “Saudara sekalian aku berterima kasih kalian telah rela meluangkan waktu kalian dan datang jauh-jauh ke sini.” seru Raja Alphonse membuka rapat.

    “Masalah di depan kita merupakan sebuah masalah yang tidak dapat dipecahkan dari jaman nenek moyang kita. Masalah yang selalu menghantui pikiran kita. Aku ingin mendengar pendapat kalian tentang Kekaisaran Zar’goza.”

    Layaknya kata ajaib, semua peserta rapat saling berbisik dan bertukar pandang begitu kata ‘Kekaisaran Zar’goza’ diucapkan.

    “Tidak perlu menyembunyikan fakta, Kekaisaran Zar’goza selalu bertindak agresif tanpa alasan yang jelas. Dua belas tahun lalu mereka menghancurkan sebuah kerajaan tanpa sebab. Dan sekarang mereka menghancurkan kota tanpa peringatan. Siapa yang tahu apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.”

    Sophie mengepalkan tangannya dengan sangat keras, mengingat kampung halaman yang telah dirampas darinya. Tapi tiba-tiba seseorang memegang tangannya dengan lembut dan membuat ia mengendurkan kepalannya.

    Ia melihat atasannya tengah memandang dirinya dengan prihatin. Jendral Ishtar memegang kepalan tangannya dan menggeleng pelan seakan tengan menasihati dirinya. Sophie hanya mengangguk lemah.

    Tiba-tiba salah satu peserta rapat berteriak, “Kenapa tidak kita ancam mereka dengan kekuatan militer dan menyuruh mereka untuk lebih ‘beralasan’!”

    “Dasar bodoh, bagaimana kalau Kekaisaran menanggapi ancaman tersebut dengan serius dan melibas habis kita semua.” balas seorang bangsawan.

    “Maka kita akan melawan mereka! Aku sudah lelah ditakut-takuti oleh kadal setiap harinya!” balas seorang pria dengan pakaian militer.

    “Kita hanya ibarat tikus gurun di hadapan naga bila harus menghadapi Kekaisaran Za’goza!” protes orang lainnya.

    Dalam waktu singkat rapat tersebut menjadi ricuh. Secara garis besar banyak raja-raja yang ingin menggulingkan Kekaisaran Zar’goza. Hanya saja Kekaisaran Timur tersebut terlalu kuat untuk menjadi lawan mereka.

    Tiba-tiba seorang pria berdiri dan berdeham keras, “Aku sudah mendengar keinginan kalian semua. Kami mengerti bahwa kalian menginginkan Kekaisaran Zar’goza untuk menyingkir tapi tidak cukup percaya diri untuk melakukannya. . .” pria tersebut membiarkan kata-katanya menggantung dan menimbulkan kesan tersendiri bagi raja-raja.

    “Bila kalian memang sungguh-sungguh ingin menggulingkan rezim Zar’goza di sini. Maka Kerajaan Aesyr akan menawarkan dukungannya.”

    Ruang rapat kembali dipenuhi bisikan, beberapa orang tampak mendapatkan harapannya kembali. Sophie dapat mendengar samar-samar bisikan para kaum bangsawan.

    “Kerajaan Aesyr, bukankah katanya mereka memiliki satu juta tentara lebih.”

    “Kalau dibantu mereka, kita punya kemungkinan untuk menghancurkan Zar’goza.”

    Mengetahui apa yang terjadi sesungguhnya Sophie juga mendapatkan harapan untuk balas dendam.

    “Aku merupakan utusan dari Kerajaan Oceanor, dan kerajaan kami juga siap untuk mendukung kalian dalam invasi ini!” tiba-tiba seorang pria tengah baya berseru.

    “Apa Oceanor juga akan membantu kita?” tampak para bangsawan berteriak dengan senang.

    “Dengan ini manusia kadal itu tidak akan bisa bertahan melawan kita!” seru seorang Raja mengejek Kekaisaran Zar’goza.

    Sophie tersenyum dan berkata pada atasannya, “Jendral Ishtar, bukankah ini hal yang mengagumkan. Setelah sekian lama kita akan melawan tiran yang telah lama menekan kita.”

    Tapi Jendral Ishtar hanya memberikan senyum lemah, “Oh Sophie. Ini bukan hal yang mengagumkan.”

    “Mengapa begitu?” gerutu Sophie penasaran.

    “Memang benar kita akan menjatuhkan tiran ini. Tapi pikirkanlah berapa banyak yang harus gugur sebelum tiran ini dapat jatuh. Lagi pula Kekaisaran punya alasan mereka sendiri untuk kekejaman mereka. Mereka hanya tidak ingin memberitahunya. Aku yakin begitu.”

    Sophie terdiam seribu bahasa mendengar kata-kata dari atasannya. Ia sama sekali tidak memikirkan hal tersebut.

    “Aku sama sekali. . .” Sophie mencoba untuk mengatakan sesuatu. Mencoba untuk membela pendapatnya, bahwa dunia lebih baik tanpa para kaum kirzka. Tapi pada akhirnya ia tidak bisa mengatakan apapun.

    “Walaupun mereka tidak adil, kadang aku berpikir keadaan ini jauh lebih baik. Keadaan dimana kita memasrahkan nyawa kita pada mereka. Tapi mungkin saja aku salah.”

    Sophie dapat menangkap nada sedih dalam kata-kata Jendral Ishtar.

    “Tidak Jendral, kau tidak salah. Aku terlalu naïf.” kata Sophie menyesal.

    Jendral Ishtar menggeleng lemah, “Tidak, kau benar. Seseorang harus melawan pada akhirnya.”

    Sophie hanya dapat memandang Jendral Ishtar dengan rasa bersalah. Untuk pertama kalinya ia merasa bersalah akan pendapatnya mengenai Kekaisaran Zar’goza.
     
    • Thanks Thanks x 1
  6. Lyco Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Nov 3, 2008
    Messages:
    8,648
    Trophy Points:
    221
    Ratings:
    +9,754 / -0
    Woh akhirnya dipost juga :top:

    eh dalam dunia ini ada berapa ras sih?:iii:
    manusia & kirzka doang atau ada yang lain?

    Kyknya Ishtar punya "special relation" ama kirzka yah :hehe:
     
  7. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    kalo ras sebenernya banyak. Masi ada elf, dwarf, orc, goblin, giant, dst di dunia fantasy Gaea. Tapi yang keluar di sini secara langsung paling cuma beberapa aja.

    Special relation? Oh itu tunggu saja perkembangannya :ngacir:
     
  8. setanbedul Veteran

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Dec 9, 2008
    Messages:
    4,678
    Trophy Points:
    221
    Ratings:
    +11,657 / -0
    itu mah bukan prolog tp sinopsis..
    ini cocoknya masuk ke prolog neh

    pemakaian kata2 chapter/bab.. bagaimana kalau Season..
     
  9. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Wae bener juga ya itu lebih mirip sinopsis >.<

    Kalo season bukannya cakupannya lebih besar ya. Kayak film2 series kan pake season XD
     
  10. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Chapter II: The Great Ambassador


    Setelah hasil rapat yang berakhir dengan cukup mengejutkan tersebut, Sophie sering melihat Jendral Ishtar melamun ataupun berpikir keras. Nampaknya ia memang tidak menyukai hasil rapat tersebut.

    Pagi ini Sophie masuk ke dalam ruang kerja atasannya dan menemukan ruangan tersebut dalam keadaan berantakan. Berbagai dokumen-dokumen dari kertas perkamen tampak bertebaran di seluruh ruangan.

    “Jendral Ishtar.” panggil Sophie dengan ragu-ragu begitu ia memasuki ruangan.

    Seakan-akan menyambut panggilannya, Sophie dikagetkan oleh suara dengkur kecil di sudut ruangan. Sophie menemukan atasannya sedang tertidur dengan lelap di atas meja kerjanya sendiri.

    Untuk pertama kalinya ia menemui atasannya sedang dalam keadaan tidak sigap. Sophie teringat akan betapa sigap dan siaga atasannya dalam latih tanding. Tapi keadaannya saat ini sungguh berbeda.

    Jendral Ishtar tampak tertidur di atas sebuah kertas perkamen besar. Kepalanya bersandar pada meja, mulutnya terbuka kecil dan tampak kertas perkamen di bawahnya agak basah oleh air liurnya sendiri. Rambut peraknya yang panjang tergerai ke segala arah dan tampak seperti jaring laba-laba.

    Sophie melompat-lompat kecil sambil menahan tawanya sendiri. Tapi ia tidak tega membiarkan atasannya seperti ini, jadi ia memutuskan untuk membangunkannya.

    “Jendral Ishtar?” panggilnya pelan sambil mengguncang bahu sang Jendral.

    “. . . Uhh. . . Sophie?” Ishtar membuka matanya.

    Hal pertama yang dilakukan Jendral Ishtar adalah mengelap air liur yang keluar dari mulutnya dengan punggung tangannya. Sophie tersenyum kecil melihat hal tersebut.

    “Apakah ini sudah pagi? Aku pasti ketiduran.”

    Sophie dapat menangkap nada lelah dari perkataan sang Jendral. Mata merah milik sang Jendral juga masih kelihatan sayu dan tidak bersemangat.

    “Bekerja hingga larut malam lagi?” tanya Sophie sambil membantu Ishtar berdiri.

    “Begitulah.” Jawabnya lemah.

    Dengan terhuyung Ishtar mencoba berjalan ke sofa terdekat dan langsung ambruk di atasnya.

    “Uhh. . . Leherku terasa sakit.”

    “Itu karena anda tertidur di meja, Jendral.” balas Sophie yang sedang merapihkan dokumen-dokumen.

    “Lain kali kau perlu mengingatkanku untuk tidak bekerja hingga larut malam.” pinta Ishtar.

    “Aku sudah melakukannya, Jendral. Kau hanya menyuruhku kembali ke kamar.”

    “Benarkah? Mungkin lain kali aku harus menyuruhmu untuk membantuku hingga larut malam.” balas Ishtar dengan senyum nakal.

    Sophie hanya membalas senyuman atasannya dan kembali memunguti dokumen yang bertebaran di lantai. Untuk beberapa saat terdapat keheningan yang janggal di antara mereka berdua. Dan mereka berdua menyadari keheningan ini. Sophie hanya terus memunguti dokumen-dokumen yang bertebaran dengan agak gugup. Entah kenapa tekanan yang diciptakan atasannya di ruangan ini tampaknya masih memiliki efek yang kuat. Ia masih bisa merasakan kerja keras atasannya untuk mencegah perang di seluruh penjuru ruangan.

    “Sophie.” Tiba-tiba Jendral Ishtar memanggil namanya dengan nada serius.

    “Y-ya?” jawabnya dengan kaget.

    “Sophie, apakah aku terlalu berlebihan?”

    “Apa maksudmu, Jendral?”, Sophie menyadari bahwa ini akan membawanya ke dalam sebuah perbincangan yang cukup serius.

    Terdengar nada kebingungan yang mendalam di dalam suara Ishtar, “Maksudku. . . Bagaimana aku mencoba menghindari konflik ini. Apakah aku terlalu berlebihan? Karena tampaknya hanya aku. . Hanya aku yang tidak menginginkannya.”

    Kalimat tersebut seakan mengguncang hati Sophie dengan kuat. Beberapa hari terakhir ini ia sangat menyadari bagaimana Jendral Ishtar berusaha keras mencegah konflik besar di hadapannya menjadi kenyataan. Dia terus bekerja hingga larut malam, mencari informasi yang mungkin dapat membuat Raja-raja di selatan mengurungkan niat mereka. Dan walaupun Jendral Ishtar telah mengerahkan seluruh tenaganya, ia sama sekali tidak mendapat hasil hingga detik ini.

    Di sisi lain, Sophie yang menyadari niat Jendralnya sama sekali tidak memberikan dukungan kepada orang yang ia layani. Ia merasa sedikit malu pada dirinya sendiri, tetapi harus ia akui, ia sebenarnya menginginkan konflik ini. Ia ingin melihat orang-orang yang telah menekan dirinya selama ini dijatuhkan dalam sebuah perang berdarah. Ia yakin Jendral Ishtar tidak akan mengerti tekanan yang sudah menghantuinya hingga detik ini.

    Sophie berjalan mendekati atasannya, “Jendral, mungkin kau harus menghentikan semua ini. Kau terlalu memaksakan dirimu. . . Bagaimana kalau kau beristirahat di kamarmu sementara aku merapihkan ruangan ini." usulnya.

    Ishtar memalingkan kepalanya dan memandang Sophie dalam-dalam dengan kedua matanya. Dengan perlahan ia melemparkan sebuah senyum lemah.

    “Terkadang aku merasa iri dengan orang-orang yang hanya melaksanakan perintah pemimpin mereka tanpa banyak pertimbangan. Sepertinya hidup mereka jauh lebih mudah.” balas Ishtar dengan nada datar.

    Tanpa Sophie sadari, Jendral Ishtar sudah bangkit dan berjalan menuju ke kamarnya yang terletak di sebelah ruang kerja. Ia hanya bisa mempertanyakan kata-katanya sendiri. Apakah ia sudah mengatakan hal yang benar kepada orang yang merupakan atasannya, orang yang seharusnya ia tunjukkan kesetiaannya.
     
  11. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Spoiler for chapter 2 part 2:

    Sophie memandang dengan lesu tumpukan perkamen di depannya. Ia selalu berpikir bahwa pekerjaan seorang Jendral itu sangat santai dan tidak melelahkan. Sekarang ia makin menginginkan pankatnya diturunkan.

    Ia sama sekali tidak tahu bagaimana Jendral Ishtar menghadapi semua ini. Laporan-laporan yang perlu di tanda tangani dan berbagai urusan merepotkan lainnya. Ia menidurkan kepalanya di atas meja kerja Jendral Ishtar.

    “Uu, Jendral kemana sebenarnya kau pergi?” ringisnya.

    Tiga hari telah berlalu sejak terakhir kali ia berpapasan dengan Ishtar. Ishtar tampak lengkap dengan pakaian bertualangnya dan dengan buru-buru berkata, ‘Sophie, aku perlu pergi sebentar. Tolong urus semua masalah administrasi sementara aku pergi.’ dan ia menghilang dari pandangan Sophie secepat ia muncul.

    “Apa ini semua karena perkataanku pada Jendral Ishtar sebelumnya? Uh, maafkan aku. Cepatlah kembali Jendral!” Sophie mulai merengek karena frustasi.

    ***​

    Ia menutupi matanya dengan tangan kanannya. Ishtar dapat merasakan butir-butir kasar pasir gurun mendera seluruh tubuhnya saat ia berkuda melawan bagai pasir ini. Ia hanya tahu ia harus terus berjalan ke utara untuk dapat menghubungi mereka. Ia harus berkonsultasi dengan mereka.

    Kudanya meringkik keras, mencoba memberitahu penunggangnya bahwa ia menderita. Ishtar hanya bisa mengelus-elus leher kuda tersebut sambil berbisik keras, mencoba mengalahkan suara angin.

    “Bertahanlah kawan, sebentar lagi kita akan sampai. Tolonglah, bertahan untukku.” pinta Ishtar pada kudanya yang sudah kewalahan menghadapi badai pasir.

    Ishtar membatin, ini gawat. Bila badai pasir ini tidak berhenti maka aku terpaksa harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Tolonglah dewa, buat badai pasir ini berhenti.

    Baru saja Ishtar mengucapkan pengharapannya, kuda yang ditungganginya tiba-tiba berjalan dengan terhuyung dan jatuh dengan keras di atas permukaan pasir. Ishtar dengan tangkas langsung melompat turun sebelum kudanya jatuh. Tapi walaupun ia berhasil menghindar dari bahaya tertindih kudanya sendiri, ia tetap harus menghadapi panasnya pasir gurun. Kulitnya terasa terpanggang ketika ia terguling-guling menuruni gunungan pasir.

    “Aaaahh.” katanya lemas begitu ia sudah tergeletak seperti boneka kayu yang baru saja dibanting-banting.

    “Setidaknya badai pasirnya sudah berhenti.” katanya pasrah sambil meliht ke langit yang cerah, mungkin malah terlalu cerah. Entah kenapa matahari terasa sepuluh kali lebih ganas di tempat ini.

    “Lolos dari badai tapi kehilangan tunggangan atau tetap berada dalam badai dan mempunyai tunggangan. Entah mana yang lebih buruk.” katanya sambil bangkit berdiri.

    Kakinya terasa lemas dan keringatan bercucuran di seluruh tubuhnya. Dengan memaksakan otot-ototnya Ishtar mulai berjalan mendaki gunung-gunung pasir yang ada di hadapannya. Kepalanya terasa ringan dan pandangannya sedikit kabur. Ia tahu ia dapat roboh kapan saja, tapi tetap ia melanjutkan perjalanannya.

    Setelah penderitaan selama satu jam, peruntungan Ishtar sepertinya mengalami perubahan. Ia melihat pasir-pasir yang beterbangan di kejauhan. Mungkinkah ini sesuai apa yang ia harapkan?

    Ishtar menyipitkan matanya berusaha untuk melihat, walaupun terik matahari cukup membutakannya. Ia tersenyum lemah setelah barhasil mengidentifikasi penyebab kepulan pasir tersebut.

    Sekitar setengah lusin tentara kavaleri kirzka tampak sedang berpatroli. Ia mengenali makhluk-makhluk jangkung tersebut, dengan sisik hitam mengkilat mereka. Mereka tampak berbahaya di atas tunggangan mereka. Tunggangan mereka sendiri merupakan sejenis kadal sepanjang tiga meter yang dipenuhi sisik-sisik besar berduri yang mencuat kemana-mana. Tidak salah lagi, mereka adalah tentara kirzka.


    Dengan perlahan Ishtar mencabut pedang yang dari tadi tergantung di ikat pinggangnya. Sepertinya kelompok kirzka tersebut belum menyadari keberadaannya. Ia menancapkan pedangnya di pasir dan menggesernya sehingga pedangnya memantulkan cahaya matahari. Ia mengarahkan pantulan matahari tersebut ke arah kavaleri kirzka sambil menunggu hasilnya.

    Kelompok kecil tersebut langsung menyadari pantulan cahaya dari Ishtar dan dengan cepat mereka memacu tunggangan mereka ke arah Ishtar.

    “Jangan bergerak. Beritahu apa keperluanmu disini, manusia.” desis salah satu dari penunggang ketika mereka sudah mendekati Ishtar.

    Sekarang Ishtar dapat melihat mereka dengan lebih jelas. Kadal yang menyerupai bentuk manusia dengan tambahan ekor dan moncong ala reptil. Serangkaian taring yang tajam menampakkan diri begitu mereka berbicara. Ada delapan orang kirzka di hadapannya, masing-masing dengan sisik hitam mengkilat dari kaki hingga kepala.

    “Aku datang untuk menemui ketua kalia-“ tiba-tiba Ishtar menghentikan kalimatnya. Salah satu dari penunggang tersebut tiba-tiba maju ke depan dari antara kelompoknya.

    “Ishtar?” desis penunggang tersebut.

    Suara desis yang membentuk bahasa manusia tersebut terdengar cukup familiar di telinganya. Sudah bertahun-tahun lewat sejak terakhir kali ia mendengar suara tersebut. Ishtar melihat kirzka yang memanggilnya dan menyadari dia adalah seseorang yang ia kenal.

    “Zieno kaukah itu?” tanya Ishtar terkejut.

    ***​
     
  12. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Ishtar bersyukur ia dapat bertemu dengan anggota Darkscale clan sebelum ia pingsan dan mati tertimbun pasir. Walaupun berada di atas tunggangan kirzka terasa tidak nyaman, tapi ini jauh lebih baik dari pada berjalan kaki.

    Ishtar berpikir mungkin ia dapat mengistirahatkan tubuhnya sebentar. Dengan santai ia mencoba bersandar pada objek keras di belakangnya.

    “. . . Ishtar. . . Maaf, tapi kau membuatku tidak nyaman.” desis orang dibelakangnya.

    “Maaf, Zieno. Aku hanya sedikit lelah.” Jawab Ishtar sambil tertawa lemah.

    “Kau dapat beristirahat saat kita mencapai Etiqua.” balas Zieno.

    “Aku takut aku tidak akan sempat untuk bermalam, aku sedang dikejar waktu saat ini.”

    Zieno hanya mengeluarkan suara geram bingung.

    “Ngomong-ngomong ZIeno. Bagaimana keadaan ayahmu?” tanya Ishtar serius.

    “Ayah? Dia baik-baik saja.”

    “Baguslah kalau begitu. Dia masih menjadi ketua klan, bukan?”

    Dari nadanya Ishtar tahu Zieno menganggap pertanyaannya sedikit aneh, “Ya, tentu saja. Ia tampaknya tidak ingin pensiun dalam jangka waktu yang lama. Ia menganggap Ziegrad masih butuh lebih banyak pengalaman sebelum bisa menggantikan dirinya.”

    “Ah, Ziegrad” nama tersebut seakan membangkitkan kenangan lama Ishtar, “Bagaimana kabar kakak-kakakmu?”

    “Mereka baik-baik saja atau setidaknya itu kabar terakhir yang kudengar dari mereka. Ziegrad dan Ziefer saat ini sedang berada di barat. Urusan diplomasi, dari yang kudengar sepertinya cukup serius.”

    “Oh.” jawab Ishtar sedikit kecewa.

    Mereka berdua berbincang-bincang, bertukar berita setelah sekian lama tidak berjumpa. Tanpa disadari, ladang-ladang pasir yang tandus perlahan-lahan berubah menjadi tanah keras yang ditumbuhi rumput-tumput liar. Pohon-pohon palma mulai bermunculan walaupun jarang. Dari perubahan pemandangan ini, Ishtar tahu sebentar lagi ia akan sampai pada tujuannya.

    “Etiqua” desis Zieno sambil menunjuk sebuah kota di kejauhan.
    Kota Etiqua terletak di atas sebuah sungai bawah tanah sehingga mempunyai pasokan air yang cukup. DItambah dengan pertanian yang cukup maju, kota Etiqua ibarat permata di tengah padang pasir.

    Ishtar memandangi ladang-ladang keemasan yang terhampar di luar dinding kota yang berwarna kecoklatan. Dia melihat menara batu yang menjulang di sisi timur kota Etiqua. Akademi Etiqua, sudah lama aku tidak mengunjunginya. Pikir Ishtar yang sedang terbawa kenangan masa lalu.

    Melihat keramaian orang-orang yang berjalan di luar dinding kota membuat Ishtar menyadari sebuah perubahan besar di kota ini.

    “Zieno. Sepertinya pendatang manusia di kota ini bertambah cukup banyak.” katanya begitu menyadari jumlah manusia yang cukup banyak di antara kaum kirzka.

    Zieno nyengir dan menampilkan sebaris taring tajam, “Ya. Sepertinya sejak ayah membuka hubungan diplomasi ke barat para manusia jadi berdatangan dari barat. Mereka sangat antusias untuk menjadi pelajar di akademi kota ini.”

    “Barat ya. . .” Ishtar merenung.

    Sementara Ishtar berpikir rombongan mereka mulai memasuki kota. Dengan perlahan tunggangan-tunggangan kirzka tersebut mulai menelusuri jalan-jalan kota Etiqua. Bangunan-bangunan batu bertingkat dua tampak mengisi kota Etiqua.

    Ishtar memperhatikan populasi kota yang tampaknya sudah bertambah sejak pertama kali ia datang ke sini. Kirzka-kirzka bersisik hitam berjalan hilir mudik dan terkadang terlihat manusia yang sedang bercakap-cakap dengan kawan kirzka mereka.

    Ishtar menghela napas sambil tersenyum melihat keadaan ini. Andaikata semua orang bisa berdamai seperti orang-orang kota ini.

    “Kita sudah sampai.” kata Zieno tiba-tiba.

    Ishtar memandang bangunan di depannya. Sebuah bangunan kayu besar yang ditopang oleh panggung dari batu berwarna perunggu. Sisi-sisi bangunan tersebut tampak dihias dengan ukiran kayu yang membentuk gambar naga.

    Dengan diantar oleh Zieno, Ishtar masuk ke dalam sebuah ruangan besar di dalam istana sang ketua klan. Ishtar mengenali ruangan ini sebagai apa yang biasanya disebut ruang elder.

    “Duduklah, aku akan memanggil ayahku.” kata Zieno sambil meninggalkan ruangan.

    “Terima kasih, Zieno.” balas Ishtar dengan tulus.

    Ia dapat mencium bau daun tembakau yang terbakar serta bau benda terbakar lainnya. Sebuah bau yang sangat khas di ruangan ini, pikirnya.

    Ruangan itu sebenarnya sangat sederhana, hanya ruang kosong dengan beberapa alas untuk duduk bersila berupa bulu binatang. Kalau tidak salah ingat biasanya ruangan ini dipakai untuk pertemuan klan.

    Terdengar suara pintu kayu dibuka. Ishtar menengok dan dapat melihat sebuah sosok memasuki ruangan. Kirzka yang memasuki ruangan tersebut sudah termakan usia hingga tubuhnya membungkuk dan perlu berjalan dengan menggunakan tongkat.

    “Tuan Arzt.” seru Ishtar sambil mendekati sosok tersebut.

    “Hahaha, Ishtar. Kau sudah berubah banyak sejak terakhir kali aku melihatmu.” kirzka tua tersebut langsung memegang kedua bahu Ishtar sambil mengamati dirinya.

    “Dan kau sama sekali tidak berubah.” canda Ishtar.

    “Kau tampak lebih dewasa sekarang.” nada kirzka tua tersebut tiba-tiba terdengar lebih serius.

    Sang kirzka menatap mata Ishtar dalam-dalam.

    “Aku selalu dapat melihat lautan merah dalam matamu. . . Kenapa aku tidak dapat melihat pantulan diriku sendiri?” sang kirzka berbicara hampir dalam teka-teki.

    “Maaf, kalau aku menakutimu.” kata sang kirzka sambil mundur selangkah. “Silahkan, duduklah dimana kau mau.” katanya lagi seraya menunjuk ke hamparan kulit binatang di seluruh ruangan.

    “Erm. . Baiklah.” kata Ishtar sambil duduk di atas sebuah kulit serigala yang dekat dengannya.

    Arzt mengikuti Ishtar kemudian duduk bersila di sampingnya.
    “Jadi, untuk apa kau mencariku? Aku yakin kau tidak hanya sekedar kangen atau ingin berlatih tanding atau belajar dari akademi.” kata Arzt langsung ke intinya.

    “Tuan Arzt, aku ingin meminta saranmu. Mungkin ini akan sedikit mengejutkan. Tapi saat ini kerajaan-kerajaan manusia di selatan sedang berencana untuk menyerang Zar’goza.”

    Arzt tampak tenang, “Hanya kerajaan selatan? Adakah orang dari seberang lautan yang ikut mendukung invasi ini?”

    “Oceanor dan Aesyr” jawab Ishtar jujur.

    Untuk sesaat Arzt tampak diam saja. Sampai akhirnya ia menarik napas panjang dan membuangnya .

    “Aku telah menduga hal ini akan terjadi. . . Cepat atau lambat.” Arzt bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menjauh. Secara reflek Ishtar juga bangkit dan mengikuti kirzka tua itu dari belakang.

    “Kau tahu, sudah menjadi tugas klan kami. Klan Darkscale untuk melindungi hubungan Zar’goza dengan kerajaan lain.” ucap Arzt perlahan-lahan.

    Ishtar hanya mengangguk, ia sudah mengetahui hal tersebut. Karena itulah ia datang kesini.

    “Kalau begitu kenapa Kekaisaran menyerang banyak kota-kota yang tidak bersalah?” tiba-tiba Ishtar bertanya.

    Arzt hanya terus berjalan untuk sesaat ia tampaknya tidak ingin menjawab pertanyaan terrsebut, tapi pada akhirnya ia membuat Ishtar sadar, “Begini. . . Kau dan aku, kita tidak berbeda. Kita sama-sama punya pemimpin untuk kita taati. Dan saat pemimpin kita memberi perintah langsung, tidak ada yang dapat kita lakukan selain melaksanakannya. Aku hanya ingin mengatakan sang Kaisar punya niat baiknya sendiri. . .”

    Ishtar berhenti. Yang dikatakan Arzt merupakan hal sederhana yang sangat masuk akal. Ketika Ishtar sadar, Arzt sudah beberapa meter di depannya.

    “Arzt! Kau punya ide untuk menghentikan perang ini?” tanya Ishtar sambil berlari mengejar Arzt.

    Arzt menoleh sebentar ke Ishtar lalu kembali berjalan, “Mencegahnya? Aku takut hal itu tidak mungkin, sayang.”

    “Lalu kau punya saran lain?” tanya Ishtar sedikit kecewa.

    Tanpa Ishtar duga, Arzt telah menggiringnya ke pintu keluar.

    “Ya, aku punya saran. Jauh-jauhlah dari medan perang, aku tidak suka melihat orang yang jujur dan baik meninggal di dalamnya.”

    “Mungkin saran untuk bertahan hidup?”

    Arzt menggeleng, “Kau sungguh keras kepala. Mungkin ini terdengar sedikit angkuh. Tapi ini adalah kenyataannya. Sebesar apapun kekuatan yang dihimpun raja-raja selatan, mereka tidak mungkin mengalahkan Zar’goza. Kemungkinan besar klan Ironscale dan Flamesight akan menghalau kalian. Mereka adalah dua klan yang paling dekat dengan front selatan.”

    “. . . Bagaimana dengan klanmu? Apakah aku harus menghadapi kalian?” Tanya Ishtar dengan nada sedih.

    Arzt menatap Ishtar dalam-dalam kemudian berkata, “Dari antara semua klan. Klanku lah yang paling. . . terikat. . . dengan manusia. Aku ragu anggota klanku sendiri mau ikut dalam perang ini. Tapi, bila kaisar sudah memberi perintah, bahkan aku tidak dapat menolaknya.”

    “Arzt. . .”

    Tiba-tiba pandangan Arzt menjadi keras seakan mencoba memberi peringatan, “Karena itulah aku lebih suka bila kau menjauh dari medan perang. Sekarang pergilah, aku sudah menyiapkan kuda untukmu. Aku juga menyuruh beberapa pasukanku untuk mengawalmu dalam padang pasir.”

    Sebelum Ishtar dapat berkata-kata lagi Arzt sudah mengusir dirinya secara lembut untuk pergi.
     
  13. setanbedul Veteran

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Dec 9, 2008
    Messages:
    4,678
    Trophy Points:
    221
    Ratings:
    +11,657 / -0
    kalau githu pake episode..
    mirip kayak chapter dan cocok kl pake judul tambahannya :cool4:
     
  14. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    I love my own style :XD:

    Ga ada komentar ni soal ceritanya? :XD:
     
  15. setanbedul Veteran

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Dec 9, 2008
    Messages:
    4,678
    Trophy Points:
    221
    Ratings:
    +11,657 / -0
    butuh 100 kata buat menjelaskan kejelekan tulisan ini
    tp butuh 1 kata buat menjelaskan bagusnya tulisan ini
    :clap:

    anyway.. saat ini gw ngak nemuin kejelekan.. tetapi kalau boleh saran.. bagaimana bila membuat pandangan dr sudut pandang orang pertama.. sehingga kita pembaca seolah2 menjadi Sophie.. itu kalau boleh lho.
    *permintaan lewat aja..

    oh iya tambahan.. Sophie khan hadir dalam sosok yg lemah.. rapuh.. gambarkan kerapuhannya di kisah berikutnya.. misal saat dia mendengar ttg kota dibakar.. dia seolah kehilangan nafas.. hatinya dililit batang mawar berduri yang membuat dia ingin berteriak tetapi apa suara yang dia keluarkan tak ada karena diasendiri tak kuasa bernafas..
     
  16. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Waw puitis banget penggambarannya :matabelo:

    Thx komennya :D
     
  17. spinx04 Veteran

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Nov 22, 2009
    Messages:
    1,675
    Trophy Points:
    217
    Ratings:
    +2,539 / -0
    entah kenapa aq merasa kata2 yang di bold sepertinya ga mengimbangi aliran kata2 keren sebelumnya...:sigh:

    IMO orang yang melalukan perjalanan melintasi gurun panas pasti menggunakan mantel tebal kk, so aq merasa aneh pada bagian ini kenapa istar terkena butir2 pasir? lagipula pasti dia berlindung di balik kudanya karena badai pasir :unyil: (dalam bayanganku waktu melewati badai pasir dia merapatkan tubuhnya pada leher kuda)

    IMO sepertinya kata2 yang di bold kurang sense akrobatik nya kk (memangnya sirkus? :hihi:). IMO kata "melompat turun" cenderung memberi kesan ishtar melompat ke sisi kiri or kanan or belakang kuda, tapi disini kesannya kudanya tersungkur n ishtar terlempar (lalu berguling-guling :hihi:) ke depan kan? :unyil:

    n satu lagi, cerita ini menggunakan point of view orang serba tahu ya? or berubah ubah? :???: soalnya sesekali dikatakan "jendral Ishtar", n di lain waktu dikatakan "ishtar" (tentu yang aq maksud adalah yang di luar dialog or pemikiran langsung.

    but, ceritanya benar2 keren kk!! :top: :top: :top:
    sastranya benar2 mudah dicerna, karakter2 dan gambaran lingkungannya mudah dikenal dan dibayangkan, yang paling menyenangkan aliran ceritanya stabil n santai. selain itu sejauh ini gambaran seorang jendral cukup keren di deskripsikan di sini, bebannya, n kesigapannya terhadap masalah. yang paling terkesan waktu dia memanfaatkan pedangnya untuk memanggil tentara kadal :)hihi:) untuk mendatangi lokasinya, so dia ga perlu capek2 jalan di padang pasir yang super hot :top:

    mana sambungannya :minta:
     
  18. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Sudut pandang yang di pakai adalah orang ke 3 yang agak mengarah ke orang pertama (Nah lo bingung kan)
    Kalo biasanya disebut pangkatnya terus akhir2 engga. Itu sebenernya cuma karena males nambahin aja :XD:

    Soal tata kata dan lain-lain gw mah yang penting pembaca bisa menangkap dengan jelas aja. Sisanya saya serahkan pada imajinasi pembaca.

    Oh well, karena udah di baca. Gw bakal update chapter2 selanjutnya. :D
     
  19. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Chapter III: Before The Storm


    Sophie memandangi surat di hadapannya. Tangannya gemetar karena tulisan yang ada di surat tersebut. Dengan jantung yang berdegup kencang ia membaca isi surat tersebut.

    Rencana telah dibuat dan perintah telah diturunkan, mereka akan segera melawan balik tirani yang telah menekan mereka selama ini. Seluruh raja-raja selatan ditambah raja Aesyr dan Oceanor telah membuat pakta untuk menyerang Kekaisaran Zar’goza.

    Tiba-tiba Sophie teringat akan satu hal yang penting. Sophie bangkit dari kursi atasannya dengan tiba-tiba. Penyerangan tidak dapat dilakukan kalau Jendral Ishtar tidak ada. Di dalam kepanikannya sendiri Sophie berjalan mondar-mandir sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.

    “Uh Jendral, dimana kau sekarang? Kenapa kau selalu menghilang di saat yang genting?”

    Tepat sebelum Sophie membenturkan kepalanya ke dinding karena beban pikiran selama lima hari terakhir, terdengar suara langkah kaki yang terseret-seret. Mungkinkah itu. . . Sophie segera berlari dan membuka pintu ruang kerja.

    Dengan mata berbinar-binar ia melihat atasannya yang berdiri di depan pintu, “Jendral Ish-!”

    Sayangnya sebelum ia bisa berkata-kata, Ishtar langsung jatuh lemas dan menggunakan dirinya sebagai sandaran. Sophie perlu seluruh kekuatan tubuhnya agar ia tidak terjatuh ketika menerima beban tambahan.

    “Sophie tolonglah, aku sedang sangat lelah.”

    “Jen-jendral, apa yang terjadi?” kata Sophie dengan terbata-bata.

    “Diamlah, dan tolong bawa aku ke kamarku.” kata Ishtar lemah.

    “Ba-baiklah.” ucap Sophie sambil terus menahan berat tubuh Ishtar.

    Untung saja aku selalu rajin dalam latihan fisik, kalau tidak pasti aku juga sudah roboh sekarang. Ngomong-ngomong kenapa tubuh Jendral berat sekali. Memang benar ia tinggi, tapi Jendral mempunyai postur tubuh yang ramping. Sophie berpikir sambil menyeret Jendral Ishtar yang sudah mengalungkan lengannya di leher Sophie.

    Sophie berusaha menjaga keseimbangannya sambil terus mempertahankan kekuatan tubuhhnya ketika ia memapah Jendral Ishtar. Perjalanan yang sebenarnya hanya sepuluh meter itu seakan memakan waktu sangat lama.

    Begitu Sophie berhasil membawa Jendral Ishtar ke kamarnya yang terletak di samping ruang kerja, Ishtar langsung roboh di atas ranjangnya. Sementara itu Sophie hanya bisa bersandar di tiang ranjang sambil mencoba mengambil napas dengan susah payah. Ia melirik atasannya yang terbaring lemas di ranjang.

    Sepertinya Jendral Ishtar baru saja melalui perjalanan yang keras. Pakaiannya tampak lusuh dan robek di beberapa tempat. Sophie menyadari banyak pasir yang menyangkut di rambut Jendral Ishtar. Ia hanya bisa bertanya-tanya dalam hati kemana sebenarnya atasannya pergi.

    “Sungguh sangat melelahkan rasanya, seperti baru saja dideportasi.” ucap Ishtar tidak jelas.

    “Er. . . Maaf, apa yang mau anda sampaikan Jendral?” balas Sophie bingung.

    “Tidak usah pedulikan diriku. Aku hanya sembarangan berbicara.” kata Jendral Ishtar sambil membuang napas panjang.

    “. . .”

    “Sophie?” panggil Jendral Ishtar tiba-tiba.

    “Ya?”

    “Kautahu, mungkin aku sudah terlalu terikat dengan kehidupan di sini. . .”

    Sekali lagi Sophie tidak dapat menangkap maksud atasannya. Begitu ia mau bertanya mengenai kepergian sang Jendral, Ishtar sudah mengeluarkan suara dengkur pelan.

    ***​

    “Kenapa kau tidak memberitahuku hal sepenting ini!” Ishtar tampak membentak Sophie. Ia baru saja melihat surat pertintah dari Raja.

    “Tapi kau sedang lelah dan a-aku tidak berani mengganggu.” Sophie berusaha membela dirinya.

    “Menyerang masuk Zar’goza! Ini sebuah bencana! Konflik ini masih bisa dihindari. Bila kau memberitahuku lebih awal, mungkin aku masih bisa meyakinkan raja untuk menahan operasi ini. “

    Sophie tiba-tiba merasa kesal dengan jawaban atasannya. Bukan hanya ia disalahkan karena hal yang sepele, tapi Sophie merasa Ishtar mulai menghindar dari kewajibannya.

    “Kau seharusnya tidak perlu memusingkan hal tersebut. Jalankan saja sesuai perintah dan semuanya akan baik-baik saja.”

    Tiba-tiba Ishtar bangkit dari tempat duduknya, tanpa peringatan tangannya melayang dan mendarat dengan keras di pipi Sophie. Tamparan tersebut membuat Sophie sedikit terhuyung.

    “Kau tidak seharusnya berbicara balik pada padaku.” ucap Ishtar dengan dingin. Sorot matanya tampak tidak bersahabat.

    Sophie merasa wajahnya panas, seakan Ishtar baru saja mempermalukan dirinya. Matanya hanya menatap lantai dengan kosong.Walaupun ia ingin melawan, ia tidak cukup berani untuk melihat atasannya.

    Ia bisa merasakan tatapan tajam Jendral Ishtar menembus tubuhnya dan menusuk-nusuk tulangnya. Perasaan ini membuat ia ingin melawan balik atasannya. Jendral Ishtar tidak seharusnya marah karena hal seperti ini. Bukankah ini adalah harapan semua orang. Bukankah ini memang sudah tugasnya untuk menaati perintah Raja, tugasnya untuk memerangi tirani dan melindungi rakyat.

    Mengingat ia hanya akan menemukan sepasang mata merah yang penuh amarah bila ia melawan atasannya, ia mengurungkan niatnya dan memilih untuk tetap memandangi lantai.

    Terdengar suara menghela napas panjang.

    “Sudahlah, hal ini memang tidak dapat dicegah bagaimanapun.” suara Ishtar terdengar pasrah.

    Ini memang sudah seharusnya terjadi. Sophie membatin, hatinya sedang bergejolak saat ini. Dan kau seharusnya menerimanya sesuai dengan peranmu. Kenapa kau harus melawannya, kukira kau mengerti diriku. Setelah sekian lama kita bersama, kukira kau tahu bahwa aku hanya menginginkan pembalasan. Kau-

    “Maafkan aku, Sophie.” ucap Ishtar lembut sambil mendekap Sophie dalam pelukannya.

    Sophie sama sekali tidak menyangka hal itu, ia hanya bisa tenggelam dalam pelukan Ishtar. Pikirannya menjadi kacau. Ka-kau selalu memikirkan semua orang, tetapi kenapa kau begitu takut untuk melakukan hal yang benar. Semua menginginkan penjahat mendapat hukuman yang setimpal.

    “Maaf, ini bukan salahmu. Aku hanya terbawa emosi.” Ishtar mulai mengusap-usap rambut Sophie. Semakin Sophie makin tenggelam dalam pelukannya, semakin hatinya bergejolak. Kau dasar bodoh kenapa kau tidak dapat mengerti. . . Kau adalah orang terdekat yang bisa kusebut keluarga. Tapi kenapa kau tidak dapat mengerti.

    “Kau tidak marah padaku kan?” ucap Ishtar lembut.

    Sophie berusaha menolak perasaan yang diberikan Ishtar. Tapi ia sama sekali tidak bisa menghindar dari kehangatan ini. Sophie dapat merasakan kehangatan dalam pelukan Ishtar. Entah mengapa di dalam bekapannya ia merasa aman dan terlindungi. Sophie membenamkan wajahnya ke dalam buah dada Ishtar.

    Ishtar tersenyum kecil, “Maaf, aku terlalu kasar padamu. Aku hanya sedikit terbawa emosi.

    Tiba-tiba Ishtar merasa sedikit aneh, ia merasakan dadanya sedikit lembab.

    “Sophie. . . Kau menangis?”

    Dengan mata yang berkaca-kaca Sophie menggelengkan kepalanya.

    “Mungkin aku memang terlalu keras tadi.” ucap Ishtar dengan bingung.

    ***​

    Sementara itu, kerajaan-kerajaan lainnya sudah mulai membuat gerakan. Pasukan-pasukan Oceanor dan Aesyr sudah datang dari seberang lautan untuk mendukung kerajaan-kerajaan selatan.

    Pasukan-pasukan kerajaan selatan mulai berbaris memasuki padang pasir Zar’goza yang luas layaknya kawanan locust yang mengelilingi ladang.

    Mereka tidak tahu, mata Penguasa Timur melihat segalanya.


    Segera setelah insiden kecil mereka, Ishtar bergegas untuk menemui Raja Alphonse sambil ditemani letnannya, Sophie.

    “Err. . . Sophie kau yakin, kau baik-baik saja?” tanya Jendral Ishtar.

    Sophie tampaknya tidak mendengar dirinya. Ia hanya berjalan dengan pandangan kosong. Ini membuat Ishtar merasa tidak nyaman. Sepertinya Sophie sedikit kehilangan dirinya. . . Apa aku benar-benar keterlaluan tadi. . . Atau ini hanya masanya, seperti masa di mana seseorang menjadi lebih dewasa. . . bukan?

    “Sophie?” panggil Ishtar sekali lagi.

    Sekarang tampaknya Sophie baru mendengar panggilan Ishtar. Ia terlihat terguncang sedikit dan menoleh ke Ishtar walau tidak mengucapkan sepatah katapun. Pandangan Sophie tampak tidak fokus, hal ini malah membuat Ishtar makin khawatir.

    “Kau baik-baik saja?” tanya Ishtar, mata merahnya menyorotkan rasa prihatin.

    Sophie hanya mengangguk lemah, pikirannya sepertinya sudah melayang lagi. Ishtar menghela napas, sepertinya ia membayar harga yang cukup untuk kehilangan kendali dirinya.

    Ketika Ishtar sibuk memikirkan cara untuk mengembalikan Sophie ke dirinya yang biasa, mereka berdua sudah ada di depan ruang takhta Raja.

    “Tetap di sisiku, Sophie.” ucap Ishtar ketika ia melihat tentara-tentara yang menjaga pintu ruang takhta.

    Tentara dengan seragam merah ala militer Kerajaan Cavaliar tersebut langsung mengenali Ishtar dan membukakan pintu untuk mereka berdua.

    Ishtar langsung memasuki ruang tersebut sementara Sophie mengikuti dibelakangnya. Suara langkah kakinya bergema di seluruh ruangan begitu ia melangkahi lantai marmer ruangan.

    Cahaya matahari sore merayap masuk melalui jendela-jendela ornamen di sisi langit-langit ruangan. Menyinari bendera-bendera Kerajaan Cavaliar yang berkibar dengan gagah di langit-langit ruangan. Lukisan benteng dengan sebuah simpul tali tambang diatasnya terpampang di setiap bendera.

    Ishtar melihat ke sekeliling, tapi ia sama sekali tidak melihat Raja Alphonse.

    “Jendral Ishtar!” tiba-tiba terdengar suara memanggilnya.

    “Benevito, apa yang kau lakukan di sini?” Ishtar menyapa sang ahli taktik Kerajaan Cavaliar tersebut.

    Ishtar memperhatikan pria tersebut. Dia sedikit lebih pendek dari dirinya, mungkin tingginya sekitar enam kaki kurang sedikit. Dia memiliki sosok yang jangkung, tapi sayang tidak didukung tubuh yang ideal. Benevito mungkin merupakan pria terkurus yang bekerja di Kerajaan Cavaliar.

    “Semestinya aku yang bicara begitu. Apa yang kau lakukan di sini sekarang? Kau mestinya ada di sini dua hari lalu!” katanya sambil tersenyum meledek.

    “. . .” Ishtar hanya menatap Benevito dengan pandangan bosan.

    Benevito menurunkan senyumnya, “. . . Baiklah. Langsung ke inti permasalahan. Aku sedang menunggu dirimu, aku memperkirakan kau akan ke ruang takhta jadi aku menunggumu di sini.”

    “Ada urusan apa sehingga kau perlu menemuiku? Tolong jangan berikan lawakan murahanmu, aku sedang buru-buru, Benevito.” kata Ishtar tidak sabar.

    “Sepertinya kau belum tahu detail tentang kampanye ke Zar’goza, eh?”

    Ishtar hanya menggeleng tulus.

    “Aku akan menjadi ahli taktikmu. Aku akan bersamamu selama kampanye ini, jadi mohon bantuannya. Jangan biarkan para kirzka memakanku dalam kampanye ini.” katanya sambil tersenyum menyebalkan.

    “Aku yakin mereka lebih memilih menjadikanmu tusuk gigi daripada makanan, Benevito.” balas Ishtar dingin.

    Entah kenapa ia bisa menebak Benevito akan menjadi tanggungan dirinya. Sebenarnya ia tidak punya masalah dengan hal ini, Benevito merupakan ahli taktik yang bagus. Ia hanya membayangkan bagaimana nasib Benevito di dalam padang pasir Zar’goza yang kejam. Pria malang tersebut dapat dicabik-cabik burung pemakan bangkai sebelum ia sendiri menjadi bangkai.



    “Kau sungguh kejam. Aku tidak sekurus itu hingga layak dijadikan tusuk gigi.” balas Benevito.

    “Percayalah itu adal-“

    Sebelum Ishtar menyelesaikan kalimatnya Benevito sudah memotong, “Oh ya! Kita harus berangkat secepat mungkin, bagaimana aku bisa lupa hal ini. Jendral Roland dan Jendral Riva sudah memulai perjalanan kemarin!”

    “Ayo cepat kita harus bergegas!” Benevito meraih tangan Ishtar dan berlari ke arah pintu keluar. Tapi sayangnya Ishtar sama sekali tidak punya niat untuk meninggalkan ruangan, dengan mudah ia menarik tangannya (dan Benevito bersamanya).

    Benevito langsung terjatuh di lantai, entah karena tubuhnya yang terlalu ringan atau Ishtar yang terlalu kuat.

    “Aaauuu. . . Ada apa?” kata Benevito sambil terbaring di lantai.

    “Di mana raja sekarang?”

    “Dia sedang bertemu utusan dari Aesyr. . . Selama kau pergi Raja Alphonse sering melakukan rapat dengan mereka. Entah apa yang dibicarakan, dia tidak pernah memberitahu kami. Mestinya ia menjadikan mereka penasihat pribadi mengingat banyaknya waktu yang ia habiskan bersama mereka.” jawab Benevito panjang lebar dari lantai.

    Dengan sebuah hentakan Ishtar menarik Benevito hingga dia kembali berdiri.

    “Di mana pasukanku menunggu?” tanya Ishtar.

    “Di lapangan. Ada Sepuluh ribu orang dari seluruh daerah. Terbilang sedikit di banding pasukan Jendral Roland dan Riva. Mereka menda-“

    “Benevito, tutup mulutmu, siapkan barang bawaanmu, dan tunggu aku di lapangan. Mengerti?” jawab Ishtar dengan cepat sambil berjalan keluar dari ruangan.

    “Baiklah.” balas Benevito.

    ***​
     
  20. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Ishtar memperhatikan pantulan dirinya sendiri di cermin. Ia memiliki figur yang tinggi dengan bentuk tubuh yang indah. Entah ia harus bangga atau tidak dengan hal ini. Banyak wanita bangsawan yang tampaknya iri pada dirinya.


    Sekarang pandangannya jatuh pada rambut peraknya yang tergerai hingga melewati pinggulnya. Ia menggenggam rambutnya sendiri dan memainkannya dalam genggaman tangannya. Ia tersenyum kecil.


    Ia menemukan sepasang mata merah memandangnya dari dalam cermin. Ishtar hanya tersenyum sambil menghela napas. Ia teringat bagaimana warna mata dan rambutnya telah membuat ia terlibat banyak masalah di masa lampau.


    Melihat bayangan dalam cermin selalu membangkitkan kenangan lama dirinya sendiri. Sudah berapa tahun berlalu sejak kehidupan lamaku yang tidak menentu. . . Dan sekarang. Seorang Jendral, bahkan aku sendiri tidak pernah mengira semua akan berjalan seperti ini.

    Sophie. . . Dia juga tidak jauh berbeda dariku. Merasakan dinginnya dunia ini di usia belia. . . Ishtar menghela napas panjang, entah kenapa ia jadi selalu teringat insidennya dengan Sophie. Dasar sial, kenapa ketika aku kehilangan kendali diri, Sophie lah yang menjadi korbannya. Sophie selalu bergantung padaku sejak ia masuk ke dalam ketentaraan. Dan. . . yang kulakukan memang keterlaluan.

    Tiba-tiba Ishtar mendengar suara ketukan, “Jendral Ishtar.”


    Ishtar langsung mengenali suara Sophie.


    “Masuklah Sophie.” balasnya.


    Terdengar suara mekanik kenop pintu diikuti suara langkah Sophie yang melangkah masuk. Sophie tampak sudah siap, dia telah mengenakan seragam formalnya dengan lengkap.


    “Jendral Ishtar, Benevito dan seluruh kapten sudah siap di lapangan untuk berangkat.” kata Sophie datar.


    “Baiklah, aku akan segera ke sana.”


    Sophie mengangguk pelan dan hendak meninggalkan ruangan.


    “Sophie, tunggu sebentar. . . Aku ingin berbicara padamu.” Ishtar langsung menghentikan Sophie. Sophie hanya memandang Ishtar dengan tatapan datar.

    “Sophie. . . Kau baik-baik saja? Aku sedikit khawatir denganmu.”


    “Aku tidak apa-apa” jawab Sophie dengan cepat.

    “Kau tampak sedikit. . . Berubah.”


    Ishtar menyaksikan letnannya yang terdiam sebentar akibat pertanyaannya, “. . . Entahlah. Aku hanya merasa sedikit. . . terganjal, akhir-akhir ini.” Sophie akhirnya menjawab sambil memalingkan wajahnya.


    Mendengar hal itu Ishtar tersenyum lemah dan berjalan mendekati Sophie. Ia menjawab dengan jujur, masih ada kesempatan untuk memperbaiki hubunganku dengan Sophie . Dengan lembut ia menggenggam tangan Sophie.


    “Apa itu karena aku sempat . . . menamparmu. Maafkan aku, aku sedang kehilangan kendali diriku saat itu.”

    Sophie menunduk dan menggeleng kecil.

    “Bicaralah padaku Sophie, aku bukan sekedar atasanmu. Aku selalu menganggapmu sebagai seorang teman. . . Dan jujur saja, akhir-akhir ini aku merasa kau semakin menjauh dariku.”


    Tiba-tiba Ishtar dapat merasakan Sophie membalas genggaman tangannya dan meremas balik tangannya dengan lembut.

    “Kau tidak salah. . . Tadi memang salahku. Aku . . . memang sedikit keterlaluan.” Sophie menjawab sambil memalingkan wajahnya dari Ishtar, tapi setidaknya jawabannya tulus.


    “Katakanlah padaku apa yang mengganggu hatimu. Mungkin aku dapat meringankannya.” balas Ishtar dengan penuh kepedulian.

    Untuk sejenak Sophie tampak terdiam, seakan-akan ia tengah mengumpulkan keberanian. Dengan sabar Ishtar menunggu Sophie memberikan jawabannya.

    “. . . Aku. . . Sebenarnya. . .” Sophie tampak menjawab walaupun ragu-ragu.

    Ishtar mencoba untuk mendengarkan perkataan Sophie yang terpatah-patah dengan sungguh-sungguh. Tapi tiba-tiba mereka berdua dikejutkan oleh suara gedoran di pintu.


    “Ishtar! Cepatlah! Aku lelah menunggu terus di lapangan!” terdengar suara Benevito dari balik pintu.


    Ishtar hanya bisa menundukkan kepalanya kemudian menggeram kecil. Kau selalu datang tepat waktu, Benevito. Aku mungkin perlu mempertimbangkan untuk benar-benar mencincangmu hingga menjadi tusuk gigi.

    “Ishtar kau didalam? Aku tahu kau pasti di dalam! Ishtar!” Benevito tampaknya tidak berhenti berteriak dari sisi lain pintu.


    Ishtar hanya bisa melempar senyum pasrah pada Sophie kemudian mengacak-acak rambut coklat letnannya.


    “Kau tidak perlu berteriak, Benevito. Aku bisa mendengarmu dengan jelas.” Ishtar akhirnya membalas.


    “Dia akan benar-benar menyesali sikapnya begitu perjalanan dimulai.” bisik Ishtar sambil tersenyum licik.

    ***​

    Suara tenang sungai Serpent’s Tear yang mengalir membuat para tentara sedikit lebih hidup. Setelah perjalanan berat pasukan Cavaliar selama dua minggu mengarungi gurun, akhirnya mereka mencapai sungai tersebut.


    Hampir semua tentara langsung berlari ke arah sungai begitu melihat air yang mengalir. Reaksi yang sangat normal mengingat mereka tidak pernah melihat air dalam jumlah banyak selama dua minggu.


    Dari atas kudanya Ishtar menikmati pemandangan ini. Ia hanya tersenyum melihat pasukannya yang sekarang tampak jauh lebih hidup. Ia ingat dengan sangat baik ketika mereka harus mengarungi gurun pasir dan pasukannya terlihat tidak lebih dari bayangan gurun.


    “Jendral Ishtar.” tiba-tiba sebuah suara membuyarkan pikirannya.


    Ia melihat Sophie sedang menyodorkan sebuah kantung air kulit padanya. Sebenarnya itu belum pasti Sophie. Badai pasir ringan yang terus menghadang mereka membuat semua anggota rombongan mengikatkan kain di sekeliling kepala mereka seperti turban. Ia hanya dapat menyimpulkan orang tersebut adalah Sophie melalui rambut coklat sebahu yang menyembul dari balik turbannya.

    “Terima kasih Sophie.” katanya sambil membuka turbannya sendiri.


    Ia mengambil kantung air tersebut dan langsung menegak isinya.


    “Bagaimana keadaan orang-orang?” tanya Ishtar sambil mengelap mulutnya dengan punggung tangannya.


    “Mereka kelelahan, tapi baik-baik saja.” balas Sophie sambil berusaha melepaskan ikatan kain di kepalanya.


    Ishtar kembali memandang ke sungai Serpent’s Tear. Hatinya terasa lebih tenang ketika ia mendengar suara sungai yang mengalir. Rumput alang-alang di sekitar sungai tampak menari pelan ketika angin berhembus. Ia menghirup napas dalam-dalam. Udara di sini terasa lebih bersahabat dari pada di gurun.




    “Ishtar!” terdengar sebuah suara yang menghancurkan ketenangan.


    “Kita perlu bergerak dengan cepat! Aku memperkirakan salah satu rombongan tentara Aesyr berada tiga hari didepan kita!” Benevito berseru sambil berjalan mendekati Ishtar. Tampaknya air sungai telah membuatnya kembali bersemangat.


    Ishtar hanya memandang Benevito dengan kasihan. Dari semua orang hanya kau yang masih tampak seperti bayang-bayang gurun.

    “Sophie, tolong edarkan perintah untuk membangun kamp di sini. Kita akan bermalam di sini.” kata Ishtar dengan lembut.


    Sophie memandangi Ishtar dan Benevito secara bergantian sampai ia akhinya berkata, “Baiklah.”


    “Tapi kita perlu mengejar ketinggalan kita!” raung Benevito seperti anak kecil yang memprotes ketika dimarahi ibunya.


    Ishtar melompat turun dari kudanya.


    “Benevito, kita semua lelah. Aku yakin kau juga lelah. . . dan lapar.”


    “Tapi- oh, ya kau sedikit benar tentang bagian lapar.”


    Ishtar membungkuk dan memetik sebuah bunga gurun yang terletak di dekatnya.


    “Tujuan kita sekarang adalah menyusul pasukan Aesyr yang ditugaskan untuk menguasai benteng Cataract yang terletak di sungai ini, bukan?”


    Benevito mengangguk pelan kemudian hendak mengacungkan jarinya ke arah bunga yang dipetik Ishtar, “Untuk apa i-“


    Ishtar mengabaikan Benevito, “Setelah kita berhasil menyusul mereka. Aku dan pasukanku akan memberikan pasukan Aesyr bantuan. Dan jika ternyata benteng Cataract telah dikuasai Aesyr, aku akan melanjutkan kampanya dan berkumpul dengan pasukan lainnya untuk menyerang benteng Zargon.”


    Benevito mengangguk lagi, “Ya, tapi apa ini ada hubungannya dengan bunga itu.”


    “Sebenarnya tidak ada.” jawab Ishtar tulus.


    “Kau tahu, sebenarnya bunga ini dapat dimakan.” lanjut Ishtar.


    Benevito menaikkan alisnya sedikit. Ia melihat bunga putih tersebut dengan sedikit curiga.


    “Cobalah, cukup untuk mengganjal perutmu sebelum makan malam dimulai.” Ishtar menyodorkan bunga tersebut.


    “Kau yakin?” tanya Benevito ragu-ragu sambil mengambil bunga tersebut.


    “Ya. Tenanglah, aku mengetahui hal ini dari pengalamanku di lapangan.”
    Benevito hendak memasukan bunga tersebut ke mulutnya. Ia berhenti dan memandang Ishtar, seakan meminta kepastian. Ishtar membalasnya dengan tersenyum ramah dan mengangguk.


    Walaupun ragu-ragu Benevito memasukkan bunga tersebut ke mulutnya dan mulai mengunyah.


    “. . . Rasanya sedikit aneh. . . Agak manis. . . Tapi. . . rasa apa ini. . . in-“


    Tiba-tiba Benevito seperti tercekat dan tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi. Ia kelihatan panik dan mulai memandang Ishtar seperti meminta penjelasan.


    “Oh, maaf. Apa aku belum bilang kalau bunga tersebut punya efek samping?”


    Benevito kelihatan marah, tapi tidak ada sedikitpun kata-kata yang keluar dari mulutnya.


    “Pemakan bunga tersebut akan kesulitan berbicara untuk beberapa hari.” kata Ishtar sambil tersenyum.



    “Maaf, tapi aku harus mengawasi pasukanku sekarang.” Ishtar langsung undur diri dan meninggalkan Benevito yang sedang berguling-guling di tanah. Diam-diam ia tersenyum puas.

    ***​
    Malam itu bintang tampak bertebaran di langit. Sama seperti tenda-tenda pasukan Cavaliar yang bertebaran di sisi sungai.


    Sophie berjalan mengelilingi perkemahan yang sudah sunyi itu. Sebagian besar tentara sudah tertidur lelap di tendanya. Hanya ada beberapa tentara yang masih duduk-duduk mengelilingi api unggun sambil menunggu giliran jaga mereka selesai. Sepertinya semua aman.


    Setelah perjalanan panjang, mungkin aku bisa sedikit bersantai. Pikirnya.


    Sophie pun berjalan ke arah sungai, melewati barisan-barisan tenda berwarna merah. Hingga akhirnya ia dapat mendengar suara air mengalir dengan jelas. Tapi ada suara lain selain suara air sungai. Sebuah suara yang terdengar merdu dan memberikan ketenangan.


    Di antara ilalang sungai, Sophie melihat Jendral Ishtar. Ia sedang duduk di tepi sungai sambil bersenandung. Untuk kesekian kalinya ia mengagumi sosok atasannya.


    Saat ini Ishtar tidak sedang mengenakan seragam militernya, ia hanya memakai sebuah kemeja putih dengan rok panjang coklat. Rambutnya yang berwarna perak seakan tampak lebih terang di bawah sinar bulan. Sementara itu, Ishtar terus bersenandung dengan merdu sambil menutup matanya.


    Sophie berjalan dengan pelan mendekati Ishtar. Ia merasa ditarik oleh keanggunan wanita itu.


    Tiba-tiba Ishtar berhenti bersenandung dan tampaknya menyadari keberadaan Sophie.


    “Siapa di sana?” tanya Ishtar.


    “Ini aku, Sophie.” jawabnya dengan pelan.


    Ishtar langsung menengok dan tersenyum melihat dirinya, “Oh, Sophie. Kesinilah, temani aku sebentar.”


    Sophie menurut dan duduk di samping Ishtar. Entah kenapa ia merasa sangat tenang tiba-tiba. Ishtar kembali bersenandung dan memajamkan matanya. Wajahnya tampak cerah dan sangat damai.


    Tanpa sadar Sophie bersandar pada Jendral Ishtar. Ishtar tampak sedikit terkejut hingga ia menghentikan senandungnya.


    “Ma-maaf. Aku hanya-“ Sophie langsung bangkit.


    Jendral Ishtar hanya tersenyum dan tanpa ia duga, Ishtar menarik Sophie dengan lembut sehingga sekarang Sophie mengistirahatkan kepalanya di pangkuan Ishtar. Sophie berusaha memberontak, tapi Ishtar hanya memberi isyarat pada Sophie untuk tenang.


    Untuk sesaat Sophie harus mengakui bahwa ia menikmati keadaan ini. Ia memejamkan matanya dan mendengarkan suara malam. Waktu seakan berhenti dalam kedamaian ini. Sophie hanya bisa bertanya, seperti inikah yang dinamakan kehangatan keluarga?

    Ishtar menghela napas tiba-tiba. Sophie membuka matanya dan dapat melihat sorot sedih bercampur khawatir dalam pandangan mata Ishtar.


    “Sophie, sungai ini merupakan tempat yang indah. . . Aku memiliki kenangan di tempat ini. Dulu sekali, sebelum aku masuk dalam Kerajaan Cavaliar.” Ishtar tiba-tiba bercerita, “Bagiku itu merupakan saat yang damai. . . Tapi waktu berubah.”


    Sophie hanya dapat memandangi wajah Jendralnya yang sedih.


    Ishtar menatap dirinya dengan senyum lemah, “Sophie, berjanjilah kau akan menjaga dirimu sendiri. Aku ingin suatu saat kau bisa menikmati saat yang damai itu. Dimana hatimu sama sekali tidak terbebani oleh masa lalu. Dan luka di masa lampau tinggal kenangan belaka.”


    Ishtar sekarang memandang ke kejauhan, “Dalam waktu singkat kita akan menghadapi pertempuran pertama kita. Benteng Cataract merupakan salah satu titik penting di Kekaisaran. Walaupun Kekaisaran Zar’goza disibukkan dengan serangan dari segala arah, mereka tidak akan menelantarkan lokasi strategis mereka.”


    “Jendral Ishtar. . . Tenanglah, kita akan melewati semuanya bersama. . . Aku berjanji.” Sophie berusaha menghibur Ishtar.


    Ishtar hanya tersenyum kemudian membelai kepala Sophie.
     
  21. Lyco Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Nov 3, 2008
    Messages:
    8,648
    Trophy Points:
    221
    Ratings:
    +9,754 / -0
    uhm wa cuma akan bertanya2 tentang ceritanya aja deh. :hehe:

    kesulitan bicara itu maksudnya masih bisa ngomong cuma nggak lancar yah, atau nggak bisa ngomong sama sekali :???:?
    kasihan amat klo dibikin beneran nggak bisa ngomong berhari2, ahli taktik bisu:lol:

    Nanti bakal dijelasin nggak masa lalu Ishtar waktu sebelum jadi tentara bayaran? :???:

    pertanyaan nggak penting :
    beda usia Sophie& Ishtar itu kira2 berapa tahun :hehe:?
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.